Wednesday 23 October 2013

Bimo si Pemalas

Alkisah, seorang anak pemalas bernama Bimo. Usianya 10 tahun, duduk di bangku Sekolah Dasar kelas IV. Suatu hari ia mimpi bertemu malaikat yang sedang membawa cambuk panjang. Bimo sangat ketakutan, lalu bertekuk lutut di hadapan makhluk serba putih itu sebelum tahu kesalahannya.

"Apa salahku, wahai malaikat?"
"Kau terlalu malas."
"Aku tahu itu, semua orang juga bilang begitu. Kumohon ampuni aku."

Dengan lutut gemetar, Bimo memohon.
"Please...?"
"Oke lah kalau begitu. Asalkan kau mau memukul pantatmu dengan cambuk ajaib ini, setiap kali kamu malas," jawab malaikat sambil menyerahkan cambuk dalam genggamannya

Beberapa saat kemudian Bimo membuka mata, dilihatnya jam dinding sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Ia terlambat sekolah lagi, namun masih mematung dalam balutan selimut kumal, bau dan penuh corak pulau-pulau.

Emak membuka pintu kamar, mendongakkan kepalanya sambil berteriak, "Bimo! Ayo lekas mandi!"

Telinga Bimo terusik, seakan menerima sinyal-sinyal mengganggu. "Maaak, tolong pukul pantat Bimo, Maaak.."

Emak mengernyitkan dahi, "Apa? Apa maksudmu?"
"Iya, Mak. Sesuai perintah malaikat, pukul pakai cambuk ajaib itu." Bimo menunjuk sebuah ikat pinggang yang tergantung di dinding kamarnya. Penglihatannya agak kabur, belum on 100% alias ngantuk berat.

"Ooh, ini maksudmu?" tanya emak keheranan sambil menyodorkan ikat pinggang tersebut, sekedar memastikan bahwa benda yang ada di genggamannya tidak salah.

Bimo mengangguk pelan tanpa membuka mata sedikitpun. Emak tersenyum lebar, dengan penuh semangat disingkapnya selimut pembungkus itu, ditarik hingga bocah itu terlempar dari kepompongnya, dan lalu... Buk! Buk! Buk!

"Ampun, Emaaaaaak..!!"

*Efek ngelindur. Don't try this at home

(Rd)

Sunday 6 October 2013

Ranti dan Rizki

"Rasanya seperti terbakar," desis Ranti. Ia duduk di atas kursi malas milik ayahnya.

 "Maksudmu apa?"sahut Rizki tanpa menoleh sedikitpun pada gadis berambut pendek itu, ia asyik membaca majalah otomotif milik Ayah Ranti.

Ada jeda panjang, tiba-tiba sunyi. Keduanya asyik tenggelam dalam dunia masing-masing. Ranti sibuk menerawangkan pandangan pada tembok putih di depannya, sedangkan Rizki tak bergerak sedikitpun kecuali mulutnya yang komat-kamit menghabiskan setoples kacang.

 "Hey, kau makan semua?!"sentak Ranti menyadari camilannya lenyap. Ia ambil toples yang hanya tersisa seperempatnya itu dengan sebal lalu menyalakan televisi. Rizki berhenti mengunyah, bibirnya cemberut dan segera bangkit dari duduknya. "Yah, aku pulang saja," cowok itu melirik arloji di pergelangan tangan kanannya. Sudah hampir pukul 4 sore.

 "Rantiii... Kecilin dikit volumenya..! teriak ibu Ranti dari dalam dapur.

 "Iya, Bu..!"sahutnya. Ia mengambil remot tv dan mengatur volume, tak memperhatikan temannya berjalan menuju pintu keluar. Saat mendengar suara pintu, ia menoleh dan terperanjat, gadis itu bergegas menuju kamarnya untuk mengambil sesuatu, lalu menghampiri temannya.

 "Nih, buat kamu,"Ranti menyodorkan sebungkus besar kacang yang masih bersegel. Rizki tersenyum lebar, matanya mendadak berubah hijau melihat sebungkus kacang berukuran jumbo, segera ia mengambil bungkusan itu dari genggaman Ranti, tiba-tiba gadis itu menepis tangannya, "eiit, ada syaratnya." Rizki mengernyitkan dahi, senyumnya kembali pudar.

 "Apaan?!

 "Dengerin aku dulu donk,"sahut Ranti sambil melempar bungkusan itu ke dada Rizki, cowok itu menangkap dengan sigap.

 Ranti kembali duduk di atas kursi malas, sedangkan Rizki duduk di lantai sambil mengunyah camilannya, di sekitarnya masih berserakan majalah-majalah otomotif. Ada suara berisik yang keluar dari mulut cowok yang sedang mengunyah. "Berisik tauuu...! Jangan makan mulu donk," teriak Ranti.

 Rizki terdiam, mematung, tak berani bergerak, walau untuk menelan sekalipun, kwatir cewek itu akan mengambil kembali makanannya. Ia berusaha menjadi pendengar yang baik.

 "Terbakar cemburu..?"tiba-tiba Rizki nyeletuk, ternyata ia mendengar semua curhatnya. Ranti terperanjat, ia telah salah sangka, lalu menghela nafas panjang sambil duduk dan tertunduk lesu,"Iyaaaa... Aku tak rela ia bersama gadis itu."

 Rizki terkikik. Ranti merasa tersinggung lalu melempar sebuah majalah ke arahnya,"Ga lucu ah. Ini seriuuuusss."

 Cowok itu terdiam, lalu memasang tampang serius,"Gimana mau noleh sama kamu, kamunya tomboy gitu..." Cowok itu kembali mengunyah.

 Ranti tersadar, ia ingin menentang pernyataan Rizki namun hanya terdiam. Hati kecilnya membenarkan,"Benarkah...?" Kali ini suaranya melemah.

 "Iya, galak lagi.."Sahut Rizki.

 Gadis itu terperanjat, namun tak mampu berkata apa-apa lagi. "Lagi-lagi Rizki benar," batinnya. Hatinya berkecamuk, berusaha melawan rasa kecewa, diiringi lantunan lagu Geisha di televisi,"Lumpuhkanlah ingatankuuuu...uuuu."
 (RD)

Friday 4 October 2013

Monster Kecil

"Oh, tidak, tidak," bathinku saat melihat apa yang digenggam bocah batita itu. "Oh, no, no,"pekikku kembali dalam hati. Bibirku terkunci, tak mampu berekspresi. Kedua bola mataku sibuk mengamati sebuah ruang kerja yang berantakan, dan aku berdiri di tengah-tengahnya.

Satu persatu barang-barang milik kantor melayang kesana kemari. Aku hanya mampu terdiam menyaksikannya, sambil menahan nafas dan memekik tertahan, lalu kembali mengumbar senyum saat istri si big bos melongok ke dalam ruanganku untuk memastikan bahwa putranya baik-baik saja. Sementara anak kecil itu melempar setiap barang yang ada didekatnya.

"Jangaaan..!!" Akhirnya suaraku berontak keluar dari bibirku yang beku. Tampak olehku sebuah botol lotion yang terbuat dari kaca seukuran kepalan tangan melayang dengan indahnya melewatiku. Lotion milik siapakah itu? "Oh milikku!" Aku memekik. Tak habis pikir bagaimana caranya ia bisa mengeluarkan benda itu dari dalam tasku. Terperangah diriku, dan dalam sekejab spontan tangan kananku menangkap benda itu sebelum dalam hitungan detik menciderai layar monitor di depanku. Wusss, dalam adegan lambat dapat kutelaah kembali dengan detail bagaimana aksi pahlawanku itu. Sepertinya layak diikutkan dalam adegan sebuah film kungfu.

Oh, sepertinya aku butuh penyegar ruangan untuk kuhirup dalam-dalam. Atau bau melati untuk menenangkan hati. Tolong, di sini ada monster kecil... (RD)

Gina oh Gina

"Perfect." Begitu yang terlintas dalam benaknya. Gadis berpostur tinggi itu sedang mengamati bayangan diri sendiri di pantulan cermin. Suasana yang ramai di sebuah pusat perbelanjaan membuat Gina gerah dan tak percaya diri. Keringat bercucuran menetes sedikit demi sedikit di bagian punggung dan pelipis. Sudah yang keberapa tangga eskalator telah ia lewati, entahlah. Yang ada dibenaknya saat itu bahwa dalam sekejab ia harus menemui sang kekasih di food court lantai atas.

Siang yang penat, siang yang kacau. Gina tak dapat memejamkan mata sejak semalam, berbaring di atas ranjang memikirkan sesuatu yang tak kunjung mendapatkan penyelesaian. Malam itu Gina begadang, dan berakhir ketika tanpa sengaja matanya terpejam. Ia tertidur. Mungkin satu atau dua jam, mungkin juga lebih. Terakhir melihat arloji beberapa saat yang lalu, saat sinar mentari menerobos kaca jendela kamarnya di siang bolong. Ia terhentak, dan segera berganti pakaian tanpa mandi atau mencuci muka sekalipun.

Beberapa saat kemudian telah sampailah ia di salah satu mall, tempat ia dan kekasihnya akan bertemu untuk makan siang. Hati yang gamang kembali menghentikan langkah Gina. Sesekali ia menatap cermin yang terpantul di dinding counter-counter fashion. Semakin mendekati lantai atas, semakin ia tak percaya diri. Sesampainya di lantai paling atas, hatinya semakin berdebar. Sang kekasih tampak melambai-lambaikan tangan dari kejauhan, Gina tersenyum lebar. Seketika langkahnya terhenti oleh sebuah cermin jumbo yang baru dilewatinya. Oh My God.. Gina lupa memakai gigi palsu, beberapa deret giginya terlihat ompong. Belum sikat gigi pula. Secepat kilat Gina berlari pulang saat sang kekasih berusaha menghampiri dirinya. (RD)______

Thursday 3 October 2013

Gedhe Rumongso

Belajar dari sebuah istilah "Ge Er= Gedhe Rumongso", bahwa kadang ekspresi seseorang yang kita tunggu ternyata tidak sesuai dengan bayangan atau keinginan kita, disitulah timbul rasa kecewa. 

*** 
     Ani menyeka keringat. Ia mengambil tissue kertas dari dalam tasnya, lalu menyeka seluruh mukanya. Aku memperhatikan dari jauh lalu mendekat. Oh... ternyata ia sedang menangis, berkali-kali menyeka air mata, namun pipinya tetap basah karena tak bisa berhenti menangis. "Aku kecewa dengan orang tuaku," katanya sambil tetap mengusap mata, dan berkali-kali pula ia mengambil lembaran tissue.
     Tak perlu kubertanya apa sebab ia menangis, karena dengan sukarela ia mencurahkan isi hatinya. "Aku tak pernah minta bantuan siapapun, termasuk mama papa, tapi mengapa saat aku benar-benar membutuhkan bantuan, sikap mereka mengecewakan?"protes Ani kepadaku, seolah-olah aku memiliki jawabannya. "Bantuan seperti apa yang kauharapkan?"tanyaku perlahan, namun semakin deras saja air matanya mengalir. "Sebetulnya aku bisa melakukannya sendiri, namun kali ini aku ingin melibatkan mereka. Aku ingin berbagi beban, tidak banyak," Ani mulai tenang, namun matanya sembab dan merah. "Aku hanya ingin ditemaniii...! Aku ingin pergi kesana dengan mama papa, agar ia mengerti bagaimana keseharianku selama ini!"lanjutnya, kali ini dengan nada meninggi. Emosi kembali menghinggapinya. "Sabar Ani, mungkin mereka sangat sibuk,"hiburku. "Tidak, mereka menganggapku mampu dan mandiri, karena selama ini aku tak pernah melibatkan mereka. Tak pernah.." Suara Ani melemah, diiringi nafas panjang saat angin sepoi-sepoi berhembus di sela-sela dedaunan pohon rindang tempat kami berteduh saat ini. 

 *** 
Note : Maka, untuk memetik pelajaran dari yang pernah dialami, tidaklah pantas menggantungkan kebahagiaan pada orang lain. Diri kita berhak bahagia tanpa menunggu ekspresi baik orang lain yang kita dambakan. Sudah.. Sudah.. Gantungkanlah harapan pada yang maha kuasa saja... Supaya diri menjadi tenang. (RD)

Wednesday 2 October 2013

Oh, Kueku

"Tiba-tiba gelap, aku berteriak kencang dari dalam kamar mandi, "Siapa yang mematikan lampu?!" Lalu seseorang menyahut dari kejauhan, "Memang mati listriknya," Oh itu suara Ayah. Waduh, tiba-tiba aku teringat kueku yang masih terpanggang dalam oven. "Kueku..!" masih setengah matang dalam oven. Bagaimana nasibnya kini.

"Kenapa juga peralatan listrik lainnya belum dimatikan?!" Ibu bertanya pada seisi rumah. Aku langsung merasa bersalah, karena lupa mematikan AC, TV dan pompa air. Tegangan listrik di rumah kami memang tidak terlalu besar, maka dari itu harus mematikan beberapa peralatan listrik lainnya saat menyalakan oven listrik. Beberapa saat kemudian setelah listrik berhasil dinyalakn kembali, aku lihat bagaimana keadaan kueku yang masih nangkring dalam oven. Alhamdulillah sudah matang. Kupikir kali ini akan gagal lagi. (RD)