Thursday 25 March 2010

Lelaki dalam buliran air mata

Tawanya mengumbar berjuta tanya. Setelah panjang lebar kujabarkan apa arti hidup ini dalam pandangan sempit mataku. Kau tetap tak mengerti dan terus mentertawaiku seraya kaumainkan jemarimu dengan ketukan teratur di atas meja. Seolah menghitung detik demi detik waktu yang kauberikan padaku untuk bicara.

“Apa maksudmu?” celetukmu setelah kau lelah bermain tawa. Sementara aku sibuk mencari jawaban termudah. Semudah kalimat-kalimat yang mungkin bisa dimengerti oleh seorang anak kecil, walau saat ini aku berhadapan dengan seorang yang cukup dewasa, yang seharusnya mampu menalar setiap ungkapan yang kulontarkan.

“Ah, percuma saja bicara denganmu. Hanya membuang-buang waktu saja,” jawabku sambil beranjak dari tempatku duduk. Di hadapanku sedang bersandar seorang lelaki dewasa pada kursi malasnya. Asap rokok yang dimainkan dalam setiap hembusan nafasnya membuatku semakin tidak bisa bernafas.

Sementara waktuku semakin sempit. Aku segera berkemas dan memakai mantel yang cukup tebal. Di luar hujan deras, namun aku tak peduli dengan jarak yang kutempuh nanti. Dua jam perjalanan dengan sebuah bus kelas ekonomi cukup membuatku lelah, apalagi dalam kondisi hamil 2 bulan seperti ini. Aku tak meminta ia bertanggung jawab dengan menikahiku. Aku tak menuntut apa-apa darinya, seorang lelaki yang tidak memiliki hati, apalagi rasa iba. Aku hanya ingin ia tahu bahwa benihnya kini tersimpan di rahimku, agar suatu saat kelak anak ini bisa bertemu dengan ayah kandungnya. Itupun kalau dia menginginkan ayahnya, namun kuharap tidak.

Masih ada banyak jalan menuju Roma, begitu ungkapku. Setelah bayi ini lahir, akupun membesarkannya dengan sepenuh hati. Seorang lelaki yang baik hati dan kini telah menjadi suamiku telah menutup dalam-dalam luka batin yang pernah ada sebelumnya. Keluarga kecilku hidup dalam kebahagiaan dan sikecil tumbuh dengan tanpa kurang suatu apapun, hingga saat yang telah kuduga itupun tiba.

Lelaki yang berasal dari kehidupanku di masa silam saat ini kembali ada di hadapanku. Dalam keadaan tubuh yang ringkih dan penuh dengan tato permanen ia memandangi putraku yang kini berusia 3 tahun. Sikecil menangis ketakutan saat lelaki itu mendekatinya. Ia meronta dalam pelukanku seakan tak kuasa menyaksikan pemandangan menyedihkan di hadapannya. Seorang lelaki yang tubuhnya dipenuhi dengan penyakit mematikan. Seorang lelaki yang dalam tubuhnya bersarang zat beracun. Seorang lelaki yang rela menyakiti diri sendiri dan terjebak dalam lingkaran narkoba.

Ia pun berkata dalam buliran air mata, “Umurku tidak akan lama lagi… aku ingin sekali memeluk putraku untuk yang terakhir kali…”

Tuesday 23 March 2010

terjebak dalam remang

Dalam diammu aku tak sanggup mengumbar kata-kata walau sekecap. Diammu adalah gundahku. Lebih baik kutelan ucapanmu dalam-dalam, agar dirimu tenang. Buanglah segala keluh kesahmu, agar jiwamu tak sengsara. Biar semuanya tertampung dalam ruang hampa di benak ini. Setelah masuk dalam diriku, maka semuanya akan menjadi beku dan membatu. Saat itulah diriku semakin lama menjadi semakin kebal dengan segala ucapan yang menyengsarakan. Karena setiap yang kaumuntahkan, akan kutelan mentah-mentah dan kukunci rapat hingga semuanya tak terasa lagi.

Diri ini hanyalah seorang perempuan yang tidak memiliki kuasa untuk sekedar berkata tidak. Segala yang kaukatakan tidak atau iya, aku ikut saja. Kemanapun kau pergi aku turut. Apapun yang kau ingin, aku amini.

“Pergilah dengan Frans malam ini, daripada kamu di rumah terus. Ia ingin mengajakmu jalan-jalan keliling kota ini,” kata Rio di suatu sore, ketika aku duduk bersebelahan dengannya di teras rumah, sambil memandang jauh bunga-bunga yang sedang bermekaran di halaman depan.

Suasana sore yang sangat menyejukkan, sesejuk hatiku yang kala itu sedang kasmaran terhadap suamiku sendiri, Rio. Kami baru menikah 3 bulan yang lalu. Aku diboyongnya ke Jakarta sehari setelah pesta pernikahan kami yang diadakan sederhana di kampungku. Namun aku masih tak mengerti dengan maksud perkataannya yang menyuruhku pergi dengan Frans, sahabat karibnya yang baru dikenalkannya padaku kemarin sore.

“Kau ikut juga kan mas?” tanyaku manja sambil bergelanyut ke lengan Rio.

“Tidak sayang… aku di rumah saja menyelesaikan tugas-tugas ini untuk meeting besok pagi,” jawabnya sambil mengecup mesra keningku.

Malam itu Rio memilihkan gaun yang akan kukenakan jalan-jalan dengan Frans. Walaupun lelaki, namun Rio sangat pandai dalam memilihkan segala pernak-pernik perempuan seperti gaun pink mini yang kukenakan ini, ditambah dengan kalung dan anting sebagai pemanis yang telah dipasangkannya padaku. Bagiku yang hanya seorang perempuan desa, hal itu sangat menyenangkan. Didandani menjadi perempuan cantik seperti ini menjadi suatu hal yang baru dan sekaligus menyenangkan. Aku berputar-putar di depan cermin.

“Benar kau tak ikut sayang?” aku memastikan sekali lagi.

“Tidak, aku sudah cukup lelah hari ini,” jawabnya singkat dengan senyum simpul kecil.

Tidak lama kemudian bel pintu depan berbunyi. Rio segera membukakan pintu. Sekilas terlihat mereka sedang berbisik. Setelah itu Rio berjalan ke arahku dengan senyum manisnya, diikuti Frans di belakangnya yang saat itu mengenakan kemeja hitam. Wangi aroma tubuh Frans tercium menyengat saat ia dan aku berjalan beriringan memasuki sedan hitam miliknya.

Entah kemana tujuan kami malam itu, yang jelas aku sudah membayangkan tempat-tempat indah yang akan kami kunjungi. Gemerlap kota Jakarta di malam hari sangat menakjubkan dan membuatku semakin ingin berlama-lama dengan Frans di malam itu.

Frans tipe lelaki yang tak banyak bicara, akupun juga begitu. Namun kebaikan Frans mengajakku berkeliling kota besar ini tak membuatku berpikir macam-macam tentang gelagat Frans yang sebenarnya, sampai pada akhirnya ia memaksaku bermalam satu kamar dengannya di sebuah hotel.

Ya… aku sudah terjebak dengan seorang lelaki hidung belang. Malam itu aku tak kuasa
menolak segala keinginan Frans untuk bersetubuh denganku. Entah apa yang ada dipikiranku saat itu. Antara berontak dan bingung, mengapa Rio suamiku sendiri menyerahkan kehormatanku pada lelaki busuk ini?!

Friday 19 March 2010

Aku seorang wanita

Dering telepon itu benar-benar mengganggu tidur siangku. Damai hati dalam indahnya mimpiku yang sesaat telah terhenti dalam sekejab, tatkala ada sesuatu yang hendak kau sampaikan dengan segera. Dengan wajah terkulai dan tangan lemas kuangkat telepon itu dan berucaplah diriku dengan suara berat dan irit.

“Halo…”
“Segera kemasi barang-barangmu Rin! istriku akan segera datang malam ini!” teriaknya dengan nafas tersengal-sengal.

Tiba-tiba dunia serasa runtuh. Teringat sekilas akan kenangan semalam bersamamu di atas ranjang ini. Begitu cepatnya berakhir sedang kau sudah berjanji padaku akan melakukannya sekali lagi denganku malam ini. Bercinta denganmu adalah hal terindah dalam hidupku. Seisi dunia serasa menjadi milikku dan segalanya seakan tiada berarti lagi selain bersamamu. Aku rela mengorbankan apa saja hanya untuk berada di pelukmu walau hanya untuk semalam.

Segera kukemasi barang-barangku. Kubalut tubuhku dengan gaun yang semalam kupakai. Kulihat kemejamu masih tergeletak di atas lantai ini, hingga bau parfummu masih samara-samar tercium. Kulihat jam di dinding masih pukul 9 pagi. Roy saat ini sudah berada di kantornya. Dia pasti tahu aku masih berada di kamar ini.

Sebelum aku meninggalkan kamar itu, sekilas aku menamatkan foto Roy dan Dina yang terpampang dalam sebuah bingkai berbentuk hati di atas meja kerja Roy. Dina sahabat karibku semasa kuliah. Aku yang menyatukan mereka berdua, namun diam-diam aku telah jatuh cinta terhadap Roy. Gayungpun bersambut tatkala beberapa tahun kemudian aku bertemu kembali dengan Roy di kota ini. Kamipun beberapa kali berkencan, namun tak satupun gelagat kami yang tercium.

Dari awal aku sudah tahu Roy tipe lelaki tidak setia, sama tidak setianya aku terhadap suamiku. Akupun telah berselingkuh. Suamiku tinggal jauh di negeri orang. Entahlah, apa bisa rumah tanggaku dipertahankan kalau kami tinggal berjauhan, sedang aku juga tidak tahu apa suamiku juga setia terhadapku.

Keluar dari apartemen Roy aku berpapasan dengan seorang perempuan berkerudung. Bau parfumnya sudah tidak asing bagiku. Dina… mungkinkah itu Dina. Saat itu juga aku langsung menengok ke belakang, aku terperanjat ternyata ia juga melakukan hal yang sama denganku.

“Rani…!” ia tersenyum menghampiriku. Deret gigi putihnya yang rapi mengingatkanku denga wajah lugunya 5 tahun silam. Ya… istri Roy sudah datang. Namun aneh, tak ada rasa bersalah yang menyelimutiku. Tak ada rasa takut atau sikap kikuk dalam diriku ketika berhadapan dengan istri Roy! Dina seorang istri yang suaminya telah bercinta denganku tadi malam!

Kami berpelukan, seperti layaknya bertemu kawan lama ia pun tak sabar ingin berbincang panjang lebar denganku, namun aku sadar aku harus segera menjauh dari perempuan ini sebelum Roy mengetahuinya. Dengan dalih kesibukanku yang super padat akupun menghindar dari Dina, sahabat karibku. Suatu saat ia pasti benar-benar akan membenciku, bahkan mungkin akan membunuhku.

Aku seorang wanita jalang, dalam balutan busana yang sopan namun berhati binal.

Thursday 18 March 2010

konsisten

Buat apa makan kalau toh nanti lapar lagi. Buat apa belajar kalau toh nanti lupa lagi. Buat apa mencuci piring kalau toh nanti kotor lagi. Buat apa membereskan tempat tidur kalau toh nanti berantakan lagi. Buat apa mandi kalau toh nanti dekil lagi.

Hidup ini adalah melakukan perbuatan berulang-ulang dan terus menerus. Kita harus menurut, sebab jika tertinggal sedikit saja maka derajat kita akan turun satu tingkat. Satu saja aktifitas yang kita tinggalkan akan menyisakan penyesalan dan perasaan bersalah. Ketakutan demi ketakutan setelah melalaikan kewajiban akan membentuk suatu karakter yang justru merugikan diri sendiri. Rasa tidak percaya diri dan segala rasa lain yang bisa menjebloskan kita pada suatu kebiasaan buruk lainnya. Semacam jaring laba-laba yang jika diikuti kita akan terbawa, entah itu menuju tempat mulia atau sebaliknya.

Sesuatu yang baik dan dikerjakan berulang-ulang bisa membuat kita semakin kuat. Sembahyang yang dilakukan berulang-ulang akan membuat kita tegar. Belajar yang dilakukan berulang-ulang akan membuat kita semakin pintar. Kesulitan yang dihadapi berulang-ulang dengan ikhlas akan membuat pribadi menjadi lebih dewasa. Kuncinya adalah konsisten dalam kebaikan, maka akan tampaklah hasilnya kelak.

Capek dech

Aku hanya memastikan kalau segala sesuatu berjalan sesuai apa yang semestinya. Berjalan mengikuti jalur. Menata ulang dan mengerjakan ulang apa-apa yang sudah menjadi schedule harian. Dalam setiap langkah yang telah tertempuh, aku merasakan seperti ada penambahan point tak kasat mata yang hanya bisa dirasakan olehku, namun orang lain tak dapat mengetahuinya. Dalam setiap waktu yang telah terlewati ada semacam history yang ketika aku dapat melaluinya dengan kerja keras sesuai aturan dan rencana, ada semacam kebanggaan tersendiri.

Saat itu aku berusaha memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Agar tidak ada waktu yang terbuang, aku mengerjakan segala pekerjaan rumah tangga secepat kilat namun dengan hasil memuaskan, pikirku. Namun ada saja kendala yang datang, saat aku mencuci gelas dengan kecekatan tanganku, tiba-tiba gelas itu tergelincir dan jatuh berkeping-keping. Lantai yang tadinya sudah kubersihkan hingga licin sekarang malah terkotori lagi dengan pecahan gelas. Waktu jadi terbuang, lantai harus dibersihkan sekali lagi dan sebelumnya harus memungut satu demi satu serpihan kaca tadi dari yang terkecil sekalipun.

Setelah itu aku coba curi waktu sejenak dengan menikmati secangkir kopi hangat sambil duduk di depan laptop dan menulis sebuah catatan kecil. Tanpa sengaja cangkir kopi tadi tersenggol tangan lalu tumpah lagi di atas lantai yang sudah kubersihkan. Jadi harus mengepel sekali lagi.

Setelah itu aku pergi ke dapur untuk memasak. Berusaha memanfaatkan waktu yang tersisa, aku menggoreng sambil mengisi air di mesin cuci. Mengerjakan dua pekerjaan dalam sekali waktu, pikirku. Setelah air terisi penuh aku baru ingat kalau tadi juga sedang menggoreng, alhasil semuanya gosong dan terbuang, maka harus menggoreng untuk yang kedua kali.

Hari ini rasanya apes banget…


Wednesday 10 March 2010

Waktu

Ketika lelah mulai bernyanyi, peluh keringatpun menemani. Diiringi suara nafas yang tersengal-sengal, mata inipun mengatup membayangkan angin surga yang segar dan segudang keceriaan tiada henti. Dalam heningpun waktu terus berlari. Seolah tak mengerti akan makna lelah. Tiada ampun bagi yang cuma berdiam diri. Waktu terus mengepakkan sayap kuasanya. Mentertawai singa-singa yang sedang tidur pulas dalam kerajaan hutan rimba. Mengagumi makhluk-makhluk yang sedang bertumbuh tatkala surya telah tenggelam. Melindungi siapa saja yang memohon diberi umur panjang, dan mengutuk sampah-sampah masyarakat yang sudah memenuhi isi dunia.