Thursday 21 November 2013

Senja yang Dingin

Aku melihat seorang anak gadis melintasi taman kota yang sedang sepi seorang diri. Suasana yang tidak seperti biasanya. Senja yang dingin, dan sedikit lembab. Bangku taman yang basah sehabis diguyur hujan, begitu pula jalanan aspal yang licin dan bunga-bunga serta dedaunan yang penuh titik-titik air. Usianya mungkin sekitar 7 atau 8 tahun. Sore itu ia terlihat lesu dengan muka ditekuk. Berjalan sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaket coklat yang tebal. Rambut pendeknya dikepang dua, dengan pita merah di kanan kiri.

Mengapa kau tampak sedih?" tanyaku menghampiri. Tak ada jawaban. Aku sedang duduk di bangku taman yang panjang, melamunkan sesuatu yang tak pasti. Mungkin sama seperti gadis itu, ia sedang dirundung kesedihan. Yang pasti tidak seberat beban yang sedang kupikul. Beban orang dewasa, tak bisa dibandingkan dengan beban seorang gadis kecil. Tergelitik hati untuk menanyakan sesuatu padanya. Mukanya yang ayu, sekaligus imut, mengingatkanku pada putriku yang saat ini sedang tidur terlelap di rumah. Rumahku hanya seratus meter dari sini, dan aku menyelinap keluar sejenak sekedar untuk menjernihkan pikiran.

Ia menoleh sejenak padaku, lalu membuang muka, dan mendekat pada tepi kolam yang dikelilingi oleh bunga-bunga. Sungguh segar air di kolam itu, jernih dan yang pasti sangat dingin. Aku menggigil saat angin sepoi-sepoi menerpa, hingga tak menyadari ada bulir-bulir bening jatuh di atas permukaan air yang berasal dari kedua matanya. Tik, tik, tik, mirip air hujan. Kuhampiri ia, lalu kuperhatikan mukanya sebelum akhirnya ia menutup kepalanya dengan topi yang menempel di jaketnya. Rupanya ia mulai terusik dengan keberadaanku, lalu berlari menjauh dariku.

Aku terperanjat, dan hanya mampu memandang sosoknya dari kejauhan. Lama kuberdiri mematung, menyesali sikapku yang terlalu ingin tahu. Seharusnya kubiarkan saja ia menyendiri, untuk mengendapkan segala rasa yang menyesakkan, sama seperti yang tengah kulakukan saat ini.

Tiba-tiba aku merindukan putriku, pasti ia sedang mencariku saat ini. Kedua kakiku melangkah dan menjauh dari taman itu, bergegas menuju rumah yang penuh kehangatan. Inilah saatnya menghadapi realita. (RD)