Thursday 18 February 2010

Kisah klasik

Sekarang hampir pukul 1 menjelang dini hari. Dia pulang malam lagi. Kali ini tidak hanya bau rokok dari kemejanya, tapi juga bau alkohol yang menyengat. “Dari mana saja kau pulang larut malam begini”, tanyaku sambil menyalakan lampu kamar. Sementara bayi kami tertidur pulas di sampingku. Burhan tak menjawab dan langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa. Ia pun menyalakan televisi dengan volume keras. “Jangan keras-keras, nanti si kecil bangun”, pintaku setengah berbisik. “Cerewet!”,balasnya setengah menghardik. Akupun tak ingin berlama-lama bicara padanya. Dalam hati sebenarnya ingin menangis, tapi aku mencoba tegar. Sikap Burhan akhir-akhir ini sudah di luar kewajaran, berkali-kali aku mengingatkan namun tetap saja. Aku berjanji pada diri sendiri untuk bersabar. Biarlah, seperti bom waktu. Hanya menungu saat yang tepat untuk bertindak dengan tepat. Sementara makan malam yang sudah kusiapkan untuknya beberapa jam yang lalu sudah dingin. Percuma aku menawarkan makan malam padanya, toh perutnya saat ini sudah kenyang dengan alkohol.

Pukul 6 pagi harinya, aku bersiap-siap untuk keluar rumah. Sengaja aku tidak membangunkan Burhan karena dia masih terlelap dalam mimpi indah penuh kepalsuan. Suara mendengkur dari mulutnya membuatku ingin cepat-cepat beranjak pergi meninggalkan rumah ini. Sementara taxi di depan rumah sudah membunyikan klakson, akupun bergegas menggendong bayiku pergi ke suatu tempat. Dalam perjalanan, kubuka sekali lagi isi sms yang kuterima tadi malam tepat setelah Burhan pulang. ”Vit, ada hal penting yang harus kusampaikan padamu. Temui aku secepatnya”. Sms Rani membuatku penasaran. Semalam aku tidak bisa tidur memikirkan ulah apa lagi yang telah dilakukan Burhan. Sebab selama ini Rani telah berbaik hati padaku untuk mengikuti segala gerak-gerik Burhan. Ia selalu memberikan perkembangan terbaru setiap aktivitas Burhan yang kiranya sudah di luar kewajaran.

Rani seorang janda, yang telah disakiti hatinya oleh mantan suaminya yang kini telah menikah lagi. Ia tak ingin hal itu terjadi pada wanita lain, apalagi padaku. Kami bersahabat telah cukup lama, dan keluh kesah yang kami hadapi tidak jauh berbeda, selalu tentang laki-laki. Sesampai di rumah Rani, bayiku menangis. Mungkin ia lapar, segera kususui anakku namun asi yang kumiliki semakin menipis. Bayiku semakin keras menangis, mungkin asiku tidak keluar. Stres yang mendera membuat persediaan asiku sedikit. Rani merasa kasihan padaku, digendonglah si kecil dari pangkuanku lalu ia berusaha menenangkannya. Sementara amplop coklat yang tergeletak di atas meja disodorkannya padaku dan segera kubuka. “Ya Tuhan…”, hanya itu kalimat yang bisa keluar dari bibirku. Sudah kuduga pasti ini akan terjadi juga. Beberapa lembar foto Burhan sedang berpelukan dengan wanita lain terpampang degan jelas. Air mata sudah meleleh diiringi suara tangisan anakku yang semakin lapar.

No comments:

Post a Comment

Senang sekali Anda sudah mau berkunjung. Jika berkenan meninggalkan komentar di sini tempatnya... terima kasih.