Sunday 28 February 2010

Suara hati

“Melepuh…oh kulitku mulai melepuh,” teriakku dengan mata terbelalak di muka cermin, di pagi hari saat baru terbangun dari tidur. Mimpiku semalam menjadi seorang wanita cantik dan diperlakukan bak seorang putri cantik telah luluh bersama cita dan harapanku. Ternyata masa-masa indah beberapa saat yang lalu hanyalah sebuah mimpi. Di umurku yang tidak muda lagi aku mulai dilanda ketakutan akan menjadi tua, berbadan bungkuk memakai tongkat dan rambut beruban.

Oh Tuhan, siapa yang ‘kan mencintai dan memujaku jika kulit di dahi ini sudah menampakkan kerut-kerut yang menakutkan. Siapa yang ‘kan meneriakkan dan mengelu-elukan namaku di lubuk sanubari jika rambut putih mulai menguasai kulit kepala ini.

“Siapa kamu? Mengapa kau sangat mirip denganku?” tanyaku pada sesosok bayangan di dalam cermin, lalu bayangan itu menatapku.

“Aku adalah dirimu dua puluh tahun mendatang. Lihatlah aku dengan seksama,” jawab bayangan itu dengan senyuman. Rambutnya putih beruban, sedang kulit mukanya keriput. Mirip denganku, hanya wajahnya kelihatan sedih dan lesu. “Apa yang sedang kaurisaukan?” tanya bayangan itu.

Sejenak kukesampingkan, segala yang mencegahku bersuka cita. Hanya diam dan mencegah rasa ini keluar dari hati yang beku, yang ‘kan akibatkan hati di luar sana bergejolak tak tentram. Jikalau tidak, ia akan menerbangkan gelas kaca hingga hancur lebur di tempat kaki ini berpijak. Hingga pada saat aku melewati keping-keping kaca itu, pikiran yang lalai mengijinkan serpihannya menyobek mata kakiku dan mengucurlah tetesan darah bekuku.

“Aku ingin dicintai sepenuh hati,” jawabku dengan berlinang air mata.

Selalu terulang dan terulang lagi datangnya rasa seperti saat sedang terancam dan dipaksa melakukan sesuatu sedangkan kita tak mau. Ingin rasanya mengemas diri ini menjadi seorang putri yang cantik jelita, hingga semua orang memperlakukanku bagai gelas-gelas kaca. Selalu disayang dan diberi perhatian penuh serta dimanja. Dijaga luar dalam agar tak retak hatinya, dan agar selalu tampak indah luarnya.

“Kalau begitu mulailah dengan mencintai terlebih dulu,” jawab bayangan di cermin itu. Kemudian ia tersenyum dan melanjutkan,”Apabila karena perkataan atau perbuatan yang berasal dari dirimu menyebabkan gelas kaca terbang dan jatuh luluh lantah jadi berkeping-keping, maka tutuplah kupingmu agar tak pecah gendang telingamu, namun jangan kau tutup mata hatimu, karena dengan menutup mata hati sama saja dengan membunuh dirimu sendiri.”

“Aku juga ingin dinomersatukan,” timpalku dengan nada protes.

Sakit yang tertahan hanyalah sekelumit sakit biasa dibanding sikap acuh yang dipamerkan dan sikap menganggapku hanyalah sekedar bayangan yang melintasi hari-harinya.

Lalu bayangan itu kembali tersenyum dan berkata, “Jikalau saat ini kau sedang berada di bawah, maka bersabarlah. Karena roda dunia ini berputar dan tunggulah hingga saatnya tiba, kau berada di atas segala kepentingan yang saat ini sedang memaksamu untuk menunggu.”

Akupun semakin keras menangis, “Mengapa aku harus menunggu? Aku sudah lama menunggu!”

“Jikalau kau tidak menuruti perkataanku ini, maka lihatlah dirimu dua puluh tahun mendatang akan tetap berwajah kusut dan tak bahagia seperti diriku. Lihatlah dirimu sendiri di hadapanmu kali ini. Aku pun tak pernah dapat merasa bahagia jika dirimu tidak bahagia. Maka tolonglah aku, ubahlah dirimu agar menjadi bahagia, saat ini juga…”

Thursday 25 February 2010

Rasa

Kubaringkan diri di atas buaian empuk, sambil menatap langit-langit akupun menerawang membayangkan kilauan tetes-tetes air yang pernah menembus atap ini. Jejaknya masih berbekas membentuk gugusan pulau tanpa nama. Rasa itu datang kembali. Seperti goresan luka yang dibuka kembali, perihnya menyambar sampai ke ubun-ubun. Rasa sakit hati karena penolakan tak berperikemanusiaan itu masih membekas dalam.

Bukan pujian yang diharapkan seseorang dalam berkarya, namun terkadang hanya sedikit penghargaan yang dibutuhkan atas keberadaan dirinya. Sebab baginya, melakukan sesuatu yang positif walaupun sedikit itu lebih bernilai ketimbang diam tanpa berpikir dan tak melakukan apapun.

“Kau telah merendahkan martabatku dengan mencoret namaku dari daftar itu,” protesku dengan berlinang air mata. “Berapa banyak waktu yang kubutuhkan untuk menghasilkan karya yang telah kaupandang sebelah mata ini.”

Protesmu adalah pembatasan
Protesmu adalah pengkerdilan
Protesmu adalah pembunuh rasa

Lalu kukerahkan seluruh kekuatan untuk membela diri. Rasa sakit hati ini menghantui setiap detik waktu yang kumiliki. Kubunuh berjuta rasa itu dengan hawa dingin. Kutunggu mereka sampai tubuhnya membeku, lalu segera kukeluarkan mayat-mayat mereka yang telah kaku. Beribu-ribu molekul keputusasaan telah kuseret keluar. Segelas air dingin telah menghilangkan dahaga di tenggorokan, sekaligus membunuh noktah-noktah kesedihan.

Friday 19 February 2010

Kisah klasik 2

Sepulang dari kantor ia bersiul lagi. Kutanya, “mengapa kau bersiul?” Dia jawab “tidak mengapa, hanya sedang senang saja.”
“Tapi ini kali ketiga kau bersiul sejak pagi tadi, tidak biasanya kau bersiul. Apa yang membuatmu senang suamiku?” tanyaku pelan dan berharap akan sebuah jawaban yang melegakan.
“Tidak ada,” jawabnya datar sambil berlalu meninggalkanku.

Keesokan harinya, sepulang dari kantor suamiku langsung masuk kamar. Kuperhatikan dari jauh, ia tampak senyum-senyum sendiri.
“Apa yang membuatmu senang suamiku? Ada berita baguskah?” tanyaku sambil menghampirinya masuk kamar.
“Tidak ada,” jawabnya datar sambil menatapku dengan sebuah senyuman kecil.

Esok paginya sebelum berangkat ke kantor, ia tampak sedang berdiri lama di depan cermin sambil menyisir rambutnya yang sudah rapi dan licin. Dari jauh kuperhatikan, ia sedang memeriksa deretan giginya yang rapi, memastikan tidak ada sisa makanan yang tertinggal, lalu tersenyum dengan bayangannya sendiri.
“Ada meeting mas?” tanyaku menghampirinya saat ia sedang menyemprotkan parfum andalan ke seluruh tubuhnya. Ia menoleh ke arahku dan tersenyum. “Iya, nanti aku pulang agak telat. Tidak usah menyiapkan makan malam,” jawabnya sambil mengecup keningku dan segera berlalu meninggalkanku.

Hari ini ia memang pulang malam. Sepulang kantor tadi ia langsung terlelap di atas kasur ini. Aku merasa seperti wanita bodoh saja. Sudah tahu ada gejala tak wajar dari sikap suami, namun tidak bergeming sedikitpun dan hanya memendam rasa. Semuanya kulakukan hanya untuk menghindari pertengkaran. Bingung dengan sikap apa yang harus kuperbuat, aku termenung sementara suamiku berbicara sendiri dalam tidurnya. Mulutnya komat-kamit dan bicara tak jelas, namun yang terkhir diucapkan benar-benar bisa kutangkap dengan indera pendengaranku.

“Marni… Marni…” desahnya dengan mata terpejam. Siapa wanita itu…

Thursday 18 February 2010

Kisah klasik

Sekarang hampir pukul 1 menjelang dini hari. Dia pulang malam lagi. Kali ini tidak hanya bau rokok dari kemejanya, tapi juga bau alkohol yang menyengat. “Dari mana saja kau pulang larut malam begini”, tanyaku sambil menyalakan lampu kamar. Sementara bayi kami tertidur pulas di sampingku. Burhan tak menjawab dan langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa. Ia pun menyalakan televisi dengan volume keras. “Jangan keras-keras, nanti si kecil bangun”, pintaku setengah berbisik. “Cerewet!”,balasnya setengah menghardik. Akupun tak ingin berlama-lama bicara padanya. Dalam hati sebenarnya ingin menangis, tapi aku mencoba tegar. Sikap Burhan akhir-akhir ini sudah di luar kewajaran, berkali-kali aku mengingatkan namun tetap saja. Aku berjanji pada diri sendiri untuk bersabar. Biarlah, seperti bom waktu. Hanya menungu saat yang tepat untuk bertindak dengan tepat. Sementara makan malam yang sudah kusiapkan untuknya beberapa jam yang lalu sudah dingin. Percuma aku menawarkan makan malam padanya, toh perutnya saat ini sudah kenyang dengan alkohol.

Pukul 6 pagi harinya, aku bersiap-siap untuk keluar rumah. Sengaja aku tidak membangunkan Burhan karena dia masih terlelap dalam mimpi indah penuh kepalsuan. Suara mendengkur dari mulutnya membuatku ingin cepat-cepat beranjak pergi meninggalkan rumah ini. Sementara taxi di depan rumah sudah membunyikan klakson, akupun bergegas menggendong bayiku pergi ke suatu tempat. Dalam perjalanan, kubuka sekali lagi isi sms yang kuterima tadi malam tepat setelah Burhan pulang. ”Vit, ada hal penting yang harus kusampaikan padamu. Temui aku secepatnya”. Sms Rani membuatku penasaran. Semalam aku tidak bisa tidur memikirkan ulah apa lagi yang telah dilakukan Burhan. Sebab selama ini Rani telah berbaik hati padaku untuk mengikuti segala gerak-gerik Burhan. Ia selalu memberikan perkembangan terbaru setiap aktivitas Burhan yang kiranya sudah di luar kewajaran.

Rani seorang janda, yang telah disakiti hatinya oleh mantan suaminya yang kini telah menikah lagi. Ia tak ingin hal itu terjadi pada wanita lain, apalagi padaku. Kami bersahabat telah cukup lama, dan keluh kesah yang kami hadapi tidak jauh berbeda, selalu tentang laki-laki. Sesampai di rumah Rani, bayiku menangis. Mungkin ia lapar, segera kususui anakku namun asi yang kumiliki semakin menipis. Bayiku semakin keras menangis, mungkin asiku tidak keluar. Stres yang mendera membuat persediaan asiku sedikit. Rani merasa kasihan padaku, digendonglah si kecil dari pangkuanku lalu ia berusaha menenangkannya. Sementara amplop coklat yang tergeletak di atas meja disodorkannya padaku dan segera kubuka. “Ya Tuhan…”, hanya itu kalimat yang bisa keluar dari bibirku. Sudah kuduga pasti ini akan terjadi juga. Beberapa lembar foto Burhan sedang berpelukan dengan wanita lain terpampang degan jelas. Air mata sudah meleleh diiringi suara tangisan anakku yang semakin lapar.

Monday 15 February 2010

Saat hujan turun

Dia menunggu dengan harap-harap cemas. Jaket kulitpun sudah siap menyelimuti tubuhnya dari hembusan angin dingin yang sedang menyapa. Langkahnya mondar mandir kesana kemari sambil sesekali melihat arloji di pergelangan tangannya, lalu mengambil telepon genggam dari saku celananya. Tampak ia tengah berusaha menghubungi seseorang, namun tak jua ia bicara. Dengan kesal dihubunginya kembali seseorang itu, mungkin tak ada jawaban. Ia pun memasukkan kembali telepon genggam itu ke dalam saku celananya dan mulai memakaikan jaket kulit ke tubuhnya. Helm pun sudah siap terpasang di kepalanya namun ia hanya menentengnya sambil berjalan beberapa meter ke arah seberang. Kepalanya mendongak ke atas, tampak langit gelap tertutup awan kelabu. Semakin cemaslah ia, mungkin takut tubuhnya basah terguyur air hujan.

Dari kejauhan nampak sesosok lelaki dengan helm teropongnya yang gelap melajukan motornya kecepatan tinggi. Ia pun tersenyum puas dan lega melihat sosok yang dinantikannya telah datang. Dengan tak sabar ia segera menaikkan tubuhnya ke atas motor, dan merekapun melaju secepat kilat diiringi dengan suara motor yang menderu-deru. Tak lama kemudian terdengarlah suara petir dan halilintar bersahutan dari arah sana dan sini. Terus menerus dan sambung menyambung selama beberapa saat, sampai pada akhirnya hujanpun tak sabar ingin segera turun. Tiba-tiba dari jauh terdengar kembali suara motor meraung-raung. Kali ini lebih keras suaranya dan lajunya lebih kencang. Tampak dua sosok pria itu tergesa-gesa ingin segera sampai ke tempat ini kembali. Mereka basah kuyup dan segera memasuki rumah ini untuk berteduh. Akupun menyuguhkan dua cangkir teh hangat pada dua orang juraganku.

Sang waktu

Rintik-rintik air semakin deras. Membawa kesejukan dan meninabobokan orang-orang sampai terlelap. Sunyi dan damai diriku bertemankan uap kopi dan aromanya. Sedikitpun tak kusentuh cairan hangat itu. Akupun diam berhadapan dengan kertas putih yang begitu bersih. Yang ada di hadapanku hanyalah putih, sedang yang ada di pendengaranku hanya ada suara tetesan air yang mendarat di atas genting, melewati celah-celah atap yang bocor dan sampailah mereka mendarat di lantai putih bersih ini. Begitu terpesonanya aku memperhatikan gerak-gerik si air, sampai tak menyadari airnya sudah meluber kemana-mana. Dengan sigap aku langsung berdiri dan setengah berlari mengambil tindakan. Baru satu langkah, aku langsung terpelanting dan meluncur dengan indahnya. Lalu semua jadi hening, hujanpun berhenti. Aku masih terbaring di atas lantai ini. Seluruh tubuhku basah. Diam dan tak ada suara sedikitpun. Ingin seperti ini seterusnya. Berada dalam kesunyian dan ketenangan. Tak mau ada yang usik. Ketenangan ini bermula, dan mungkin akan berakhir. Sang waktu jualah yang kan mempertemukan. Segala yang tak disuka kan datang menghampiri. Namun tetap kuberharap bisa menguasai sang waktu, atau lari dari semua ini.

Friday 12 February 2010

Tenang

Tenang. Jangan berisik. Mending berbisik
Sunyi. Jangan menghampiri. Kuingin sendiri
Terlalu sempit. Kuingin ruang lapang. Jangan menghalang
Yang kuingin. Tak ada kewajiban. Apalagi paksaan
Bebas. Kuingin lepas. Di alam bebas
Diam. Jangan ada yang goyang. Apalagi mengguncang
Terjadwal. Jangan ada deadline. Kuingin santai

Semuanya serba tiba-tiba

Wajah Michan berkeringat, ia toleh ke kanan kiri. Di bawah mejanya sudah tersedia buku contekan. Suasana kelas sunyi, tak ada yang berani bersuara. Pak Rif sangat ketat menjaga ujian. Michan yang duduk di sebelahku semakin lama semakin gusar, berkali-kali ia melihat jam di dinding. Sekilas kulihat kertas jawabannya sebagian besar masih kosong. Kasihan, ingin aku membantunya walau hanya sedikit, tapi akupun tak kuasa menghadapi penjagaan ketat seorang guru yang sangat galak. Aku hanya menghela nafas saat Pak Rif menoleh kearah Michan dan berjalan menghampiri meja kami di belakang. Kuhitung langkahnya, akupun menunduk. Kurang lima langkah lagi sampailah ia pada tujuan, sedangkan Michan tanpa sadar masih asyik membuka buku di atas pangkuannya. Tiba-tiba ada yang melempar sesuatu ke arahku. Ya Tuhan! Michan melemparkan buku itu di atas pangkuanku! Tak ada waktu lagi, Pak Rif sudah ada tepat di sebelahku. Tiba-tiba ia menunjukku dengan tongkatnya, disini… tepat di depan hidungku, hanya berjarak sekitar 5 cm jika ia tidak berhati-hati maka tertusuklah hidungku. Atau mungkin bisa juga masuk ke mulutku, karena tangannya tidak fokus mengarahkan tongkatnya. Ingin kupatahkan tongkat kecil itu, karena begitu tipisnya kayu itu, dengan kekuatanku yang saat itu sedang naik darah akibat perlakuan tidak senonohnya. Aku diam terpaku, bingung dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Reaksi apa yang harus kuberikan, dan bertanya-tanya apa reaksi dia selanjutnya jika benar-benar kupatahkah kayu itu. Tiba-tiba air mataku meleleh, dan aku menangis sejadia-jadinya. Ternyata nyaliku tidak sebesar seperti yang kukira. Atau mungkin aku terlalu kecil dan tak berdaya menghadapi seorang dewasa yang sedang marah, apalagi seorang guru sekolah dasar.

Mengapa begini, mengapa begitu

Semuanya salah. Bukan begitu caranya bersikap. Biar kuberitahu. Begini cara yang benar. Itu juga salah. Jangan seperti itu, aku beritahu begini cara yang benar. Kenapa tidak berlaku sesuai aturan yang benar. Begini caranya bukan begitu. Semuanya serba salah. Setelah itu masih tetap saja, semuanya kembali mengulang kesalahan. Jadi aku akan diam saja di sini, hanya bisa menghela nafas dan menggeleng-gelengkan kepala.

Tak ada waktu untuk kecewa. Sementara taxi yang kutumpangi berjalan cepat, bahkan tidak mengurangi kecepatan saat melewati jalan berbatu dan polisi tidur. Kulihat dari kaca depan, supir taxi matanya merah dan mukanya lesu. Mungkin baru saja mabuk. Anakku mengoceh di pangkuanku, ia tak peduli dengan guncangan di dalam kendaraan. Ibuku merasa tidak nyaman, berusaha memandu jalan agar supir taxi tak salah haluan.

Sesampai di tempat tujuan, suster jaga menyambut dengan wajah layu, senyumnya kecut. Kusodorkan kartu imunisasi, lalu dicatat. Ia mengintip ke dalam ruang dokter, lalu kami disuruh menunggu.

Kami masuk. Anakku disuntik. Anakku menangis. Dokter berwajah dingin, ia tersenyum tapi sedikit, panjang senyumnya tidak lebih dari 10 cm. Aku sodorkan uang, ditukar dengan kuitansi. Aku sedang sangat malas untuk berkonsultasi, tapi kupaksakan. Baru saja aku akan membuka mulut untuk bicara, tiba-tiba dokter beranjak dari tempat duduknya lalu menuju pintu dan membukakannya untuk kami plus senyum robotnya. Ow… aku tercengang beberapa detik, kalimat yang sudah kususun kutelan kembali masuk ke perut. Belum sempat aku berkonsultasi, tapi dokter ini sedang tidak bersahabat dan tergesa-gesa, akupun sudah tidak mood lagi untuk bicara apalagi protes. Pasrah… kutarik nafas dalam-dalam dan kamipun meninggalkan ruangan. Ingin kuteriak.

Dunia masih berputar pada porosnya, jadi semua masih baik-baik saja. Tak ada yang salah. Bagiku tak mengapa kalian susun skenario hidup seperti mau kalian. Akupun juga berlaku demikian. Kususun duniaku seperti apa inginku. Kuciptakan dunia kecil milikku seorang diri. Akulah navigatornya.

Tuesday 9 February 2010

Istirahat Sejenak

Mata ini sudah layu
Tapi semangat ini masih mengucur
Tak mampu kubendung
Kuharus segera mendayung
Tangan di atas keyboard masih menunggu
Kalimat apa yang kan kutuang namun sepertinya tanggung
Pikiranku sudah linglung
Ragaku ingin mendarat di atas kasur
Namun jiwaku berontak dan ingin tetap berkecimpung
Daripada jalanku nanti tersandung-sandung
Aku memilih untuk diam mematung
Sambil menunggu datangnya inspirasi yang banyak sampai menggunung
Akupun melamun

Fenomena

Dalam kerumunan orang-orang, aku sengaja melewatinya. Setiap hari, setiap pagi aku tak mau berhenti di dekat ia berdiri, walau hanya tuk sekedar melihat-lihat barang dagangannya. Dalam hiruk pikuk pasar, orang itu yang paling menonjol karena tubuhnya yang kekar dan besar, tampangnya sangar dan tak pernah ada senyum. Standnya sepi, hampir tak ada yang mampir untuk membeli. Tiba-tiba timbul rasa untuk menantang keberadaanya. Sengaja aku berhenti sejenak berpura-pura memilih barang dagangannya, hanya untuk mengukur seberapa jauh responnya. Aku tatap matanya, tiba-tiba ia tertunduk, dan sedikit kikuk. Tak kusangka ternyata orangnya pemalu.

Kulanjutkan langkah ini lebih jauh. Akupun melihat fenomena lain, seorang perempuan setengah baya mengemis di antara kerumunan orang-orang. Apa yang ia lakukan, umurnya lebih muda dibanding nenek penjual sayur yang saat ini sedang menyodorkan sebutir koin padanya. Tubuhnya masih cukup kuat untuk bekerja, namun ia lebih suka untuk merendahkan martabatnya sendiri dengan meminta belas kasihan dari orang lain.

Sunday 7 February 2010

Dalam remang cahaya

Aku berdiri terpaku dalam remang-remang cahaya. Ada sinar terang terpancar dari kamar seberang. Perlahan kudekati kamar itu. Pintunya yang sedikit terbuka membuatku lebih jauh ingin mendekat. Di atas ranjang itu ada seorang laki-laki yang tengah terbaring lemah. Kedua kakinya baru saja diamputasi. Kasihan sekali, namun ia tetap bisa tersenyum. Tatapan matanya tertuju pada bayi mungil yang tengah berada dalam dekapan bundanya. Sang ayah sangat terhibur dengan kehadiran si buah hati dan istri tercinta di sampingnya. Mereka tampak bercengkerama dan saling menghibur.

Tiba-tiba lelaki itu berusaha untuk bisa duduk. Dalam keadaan tanpa kedua kaki ia memaksakan diri menggendong si buah hati. Aku tertegun menyaksikan kegigihan lelaki itu. Si buah hati tampak ceria berada dalam pelukan ayahnya. Perempuan itu terharu menyaksikan dua orang terkasihnya, ia pun meneteskan air mata dan segera memeluk keduanya.

Dingin yang mencekam

Tiba-tiba hawa dingin menusuk tubuhku. Angin sepoi-sepoi meniup rambutku. Menggigil aku dalam dekapan kedua belah tanganku sendiri. Keluar aku dari sebuah pintu, entah darimana aku berasal sebelumnya. Yang kutahu, saat ini aku berhadapan dengan hamparan tanah yang luas. Kuberjalan dan terus berjalan dengan tubuh menggigil kedinginan.

Tiba aku pada suatu kolam yang panjang. Mirip seperti sebuah water boom. Air itu meluber dipenuhi anak-anak yang sedang bermain. Teriakan senang memekakkan telingaku. Tertuju pandanganku pada seorang perempuan kecil yang sedang menggendong adiknya yang masih bayi. Apa yang ia perbuat pada bayi itu, tak sadarkan bahwa itu sangat membahayakan keselamatan sang adik.

Tiba-tiba ada sebuah helikopter yang terbang sangat rendah mendekati kerumunan anak-anak itu. Semuanya berteriak ketakutan. Ada yang lari terbirit-birit. Ada yang diam terpaku. Namun sungguh tak kusangka, perempuan kecil itu malah berusaha meraih bagian dasar helikopter itu. Sambil menggendong sang adik yang masih bayi, ia bergelantung di bawah helikopter yang sedang berjalan. Apa-apaan ini. Mereka berdua terbang terbawa benda itu.

Tak lama kemudian, timbul suara seperti ledakan yang sangat keras. Orang-orang menghampiri sumber suara itu. Mereka berkerumun, ada yang berteriak, ada yang menangis. Aku berlari menghampiri mereka. Kulihat perempuan kecil itu menangis tersedu-sedu melihat sang adik bayi tewas dan tergolek lemas tak berdaya.

Thursday 4 February 2010

Putri tidur

Sang putri sedang tidur. Tak ada yang berani bersuara, bergerak maupun sedikit beranjak. Dalam pulas tidurnya ada kedamaian jiwanya. Dalam senyum dan tangisnya, bersemayam keping-keping buah pengalaman hidup. Pengalaman pahit dan manis, beradu dalam mimpi.

Tiba-tiba buaian itu terusik oleh datangnya sesosok monster yang menjelma menjadi liliput. Liliput itu mengajak sang putri pergi meninggalkan peraduannya yang nyaman dan hangat, dan mengajaknya ke suatu tempat yang bernama jembatan keabadian. Tak jauh dari jembatan itu, ada sebuah istana yang berdiri megah. Di sekitarnya ada taman yang ditanami bunga-bunga cantik berwarna-warni. Kupu-kupu beterbangan dari satu bunga ke bunga lain. Aroma bunganya membuat siapa saja ingin mendekat.
Sang putripun segera berlari menuju istana. Berlari sang putri sambil bersuka ria, melewati jembatan keabadian. Tiada yang tahu di bawah jembatan itu terdapat banyak virus mematikan. Ada berpuluh-puluh gundukan sampah yang dipenuhi belatung-belatung dan cacing yang berbau busuk.

Tepat pada saat sang putri berlari di tengah jembatan keabadian, tiba-tiba jembatan itu putus. Sang putri terjatuh sambil berteriak minta tolong. Pada saat itu juga istana megah itu berubah menjadi sebuah gubuk tua yang sudah reyot, dan kupu-kupu cantik itu berubah wujud menjadi burung gagak yang menyeramkan.

Pelajaran yang bisa dipetik dari kisah ini, jangan gegabah dan terburu-buru mempercayai orang lain. Sesuatu yang tak kasat mata susah ditangkap dengan mata biasa. Dalamnya hati siapa yang tahu.

Wednesday 3 February 2010

Semoga

Semoga yang tak diharapkan tidak akan terjadi
Semoga yang kan mengusik tak kan mendatangi
Semoga yang berprasangka telah menyadari
Semoga yang sudah menyakiti telah menginsyafi
Semoga yang telah disepakati tak kan diingkari
Semoga yang bermain kebohongan segera mengoreksi diri
Semoga rencana tersembunyi segera menyibakkan arti
Semoga yang tak kasat mata segera memberikan transparansi
Semoga yang ditinggalkan segera diberi ganti
Semoga semua kebimbangan diberi rasa percaya diri
Semoga yang kelam segera menjadi putih
Semoga yang kotor segera menjadi suci
Amin

Monday 1 February 2010

Saat itu

Tunggu...aku belum selesai bicara. Mengapa kau menghindar. Aku sangat terluka dengan sikapmu.

Air mata meleleh, ponsel dalam genggamanku terjatuh. Lutut lemas dan akupun terjatuh.

Antara sadar dan tidak, aku berjalan sempoyongan di atas trotoar. Kabut malam yang dingin, seakan tak mampu kurasakan lagi. Menggigil dalam suasana seperti ini, rasanya sepi sekali. Tak ada lagi tempat tujuan, tak ada lagi harapan. Akan berlabuh kemana.

Sinar terang membuyarkan lamunanku. Di sini aku berdiri, tepat di hadapanmu dan dia. Detik demi detik aku menyaksikan. Saat kau sematkan cincin putih itu padanya, dan begitupun sebaliknya. Saat itu juga, tak ada alasan lagi berada di kota ini.