Saturday 28 September 2013

Ikan Milik Nana


Pagi itu Nana bangun lebih pagi dari biasanya. Kebetulan sekolah Nana libur, jadi ia bisa lebih santai. Gadis berusia empat tahun itu menghabiskan sarapannya tanpa tergesa-gesa dan bisa mandi lebih siang dari biasanya.
“Ikuuuut… Nana mau ikut Nenek,”teriaknya beberapa saat setelah keluar dari kamar mandi. Dalam keadaan masih berbalut handuk, Nana melesat keluar menghampiri Sang Nenek yang bersiap-siap hendak pergi ke pasar. “Wah, wah, Cucu Nenek kok belum pakai baju…” wanita paruh baya itu tersenyum geli melihatnya. Segera ia menggiring masuk Nana ke dalam kamar untuk memakaikan baju. Lalu mereka berdua pergi ke pasar.
Sesampai di pasar, keduanya tampak larut dalam hiruk pikuk pasar. Sang Nenek sibuk menawar dan membeli beberapa bahan untuk dimasak hari itu. Sementara Nana tampak tidak nyaman dengan suasana yang ramai dan merengek minta pulang, “Nana mau pulang, Nenek… Nana mau pulang.”
“Sabar ya, Sayang. Sebentar lagi kita pulang,” wanita itu berusaha menghibur cucunya. Tampak ia sedikit kerepotan dengan barang belanjaan, ditambah lagi dengan rasa panik akibat cucunya yang mulai rewel di tengah keramaian. Tiba-tiba Nana menghilang, ia tidak ada di samping Nenek. Wanita itu semakin panik dan memanggil nama Nana dengan suara keras. Tampaknya Nana tidak mendengar, ia sedang asyik menikmati kecantikan warna mas yang terpancar dari tubuh mungil ikan-ikan. Ada penjual ikan mas di sana.
Nenek bergegas menghampiri cucunya dengan tergopoh-gopoh. Ia segera memeluk dan menggendongnya. Rupanya Nana tidak menyadari kepanikan Nenek, ia justru merengek kembali, “Ikan Nek… Nana mau ikan…” Nenek menghela nafas, merasa lega cucunya dapat diketemukan. Beberapa saat kemudian keduanya berlalu meninggalkan kerumunan di pasar menuju rumah.
Sesampai di rumah, Nana memamerkan ikan-ikan mas yang ia bawa dalam sebuah plastik berisi air itu pada seisi rumah. Ia memperlihatkan hasil buruannya dari pasar kepada Sang Adik, Bunda dan Kakek. Mereka tampak gembira.
Malam harinya dalam kamar, Nana terpaku menatap ikan-ikan mas dalam sebuah toples transparan di atas meja. Ia duduk di atas kasur dan bersandar pada tembok, dalam balutan selimut ia memperhatikan ikan-ikannya berenang dari kejauhan. Sayup-sayup terdengar suara Nana yang sedang mengajak bicara peliharaan barunya. Beberapa saat kemudian suara itu tak terdengar lagi. Bunda membuka pintu kamar, tampak Nana sudah terlelap dalam tidurnya. Mungkin Nana sedang memimpikan ikan-ikan itu. (RD)

Penantian Icha

   Malam ini Icha belum dapat memejamkan mata, walaupun waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. "Icha mau menunggu Ayah pulang, Bundaaaa..."sambil merengek Icha memegang pergelangan tanganku. Ia sudah bersiap untuk tidur, selimut sudah aku pakaikan ke seluruh tubuhnya. Ia sudah berbaring di sebelahku. Aku menghela nafas,"Ayah tidak pulang malam ini, Icha. Ayah masih kerja," aku berusaha menjelaskan perihal ketidakpulangan ayahnya yang sedang bertugas keluar kota. "

"Ayah kerjanya seperti apa,Bunda?" tanyanya menyidik. Sejenak aku tertegun, lalu berpikir,"Seperti Bunda, Sayang. Ayah kerja di depan laptop seperti Bunda." "Ooh... Ngetik ya?" tanya Icha. Aku mengangguk perlahan. "Ooh... Kalau gitu siapa nanti yang tidur di situ, Bunda?"Icha menunjuk tepi ranjang yang biasa ditiduri oleh ayahnya. Aku tertegun lagi, "Ooh iya..yaa... Nanti yang tidur di situ Bunda dan Icha saja." Sementara waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Icha belum bisa tidur juga...(RD)

Friday 27 September 2013

Dina dan Perpustakaan



 Dina tiba di perpustakaan sekitar pukul sembilan pagi. Hal asing yang sangat jarang ia lakukan adalah mengunjungi perpustakaan. Mulai saat ini ia harus membiasakan diri berkutat di dalamnya untuk kepentingan pembuatan skripsi.
Para mahasiswa sudah mulai berdatangan satu per satu memasuki pintu utama. Dina tampak ragu saat hendak memasukinya. Semua mahasiswa tampak percaya diri seolah-olah ini adalah rumah yang nyaman bagi mereka. Namun bagi Dina, tempat ini adalah bangunan asing yang menakutkan.
Kecemasan lebih banyak dirasakannya saat ia tidak mengetahui di bagian rak buku mana tempat diletakkan buku-buku yang sesuai dengan minatnya. Ia bingung mencari ke sana ke mari karena ini adalah kali pertama ia masuk perpustakaan. “Ah, apalah asyiknya tempat seperti ini, bukunya berdebu, tak ada yang baru dan kondisinya seperti buku loakan. “ Dina bergumam dalam hati. Namun diambilnya juga salah satu buku dan ia memilih bangku di sudut ruangan untuk membacanya.
Sebelum membuka lembaran buku, ia menyebarkan pandangan ke seluruh ruangan. Tampak mahasiswa dan mahasiswi tengah asyik dengan bacaan masing-masing. Mereka seperti  menenggelamkan hidung  ke dalam lembaran buku. “Ya ampun, apa pula asyiknya berada dalam tempat suram seperti ini. Mana panas lagi.” Sekali lagi Dina mengeluh dalam hati. Apalagi seluruh tubuhnya bercucuran keringat akibat terkena pancaran sinar matahari dari balik kaca jendela.
Akhirnya ia tak tahan dan segera bangkit mengambil beberapa buku lagi untuk ia pinjam dan baca di rumah. Buku yang sekiranya berkaitan dengan judul skripsi yang ia pilih. Walaupun buku itu menjijikkan baginya, namun ia bertekad untuk mengalahkan egonya.
Sesampai di rumah hari sudah siang. Dina memilih untuk melepas penat dengan menonton televisi dalam kamar. Lalu sekitar pukul empat sore, Dina pergi ke dapur untuk membuat secangkir teh hangat untuk dirinya sendiri. Setelah itu ia naik ke atas loteng, tempat di mana ia biasa menghabiskan waktu di sore hari sambil menikmati sinar mentari yang hendak turun ke peraduan, tempat favorit Dina yang beratapkan langit walaupun ada beberapa lembar jemuran kering yang melambai-lambai oleh tiupan angin.
Ia meletakkan teh hangat dalam cangkir cantik itu ke atas meja. Dan ia juga meletakkan beberapa buku yang berasal dari perpustakaan tadi pagi. Sejenak mata Dina menerawang dan mengatur irama nafasnya sambil menikmati pemandangan langit di sore hati. Beberapa saat kemudian ia teguk minuman itu. Dan sejurus kemudian, ia mengambil salah satu buku untuk ditaklukkan. Dina geram, akibat suasana yang kurang nyaman tadi pagi di pepustakaan, maka ia tak dapat berkonsentrasi pada isi bacaan. Kini ia berhaap, dengan suasana tenang yang ia pilih di rumahnya sendiri, maka esensi bacaan itu akan mudah didapatkan.
“Uh, apa ini?!” Dina menepok jidatnya. “Aaaiittsshuuu…!!” diiringi bersin setelahnya. Buku itupun terlempar beberapa meter. Dina tiba-tiba bersin pada saat pertama kali membuka cover bukunya, dan Dina merasakan gatal di sekitar mukanya. Segera ia pungut kembali buku itu, tampak sebuah buku tua yang sudah berwarna kuning kertasnya, dan bau ngengat di tiap lembarnya. Apakah banyak kuman bersarang di dalamya sehingga kuman itu menempel di mukanya dan menimbulkan rasa gatal.
Dina menghempaskan diri duduk di kursi kembali. Pandangannya kembali menerawang jauh menikmati cakrawala. Dan beberapa saat kemudian langit menjadi gelap, adzan magrib berkumandang, Dina memutuskan masuk kembali ke dalam rumah walau belum berhasil membaca satu buku pun.(RD)
               

Monday 23 September 2013

Terjebak

"Ayo, lekas tekan tombol keluar!" Prita memberi aba-aba pada Laura, adiknya.

"Tidak bisa, Kak! Susah sekali!" Laura merasa putus asa karena sudah mencoba berkali-kali.

"Apa maksudmu? Cepat lakukan. Jika tidak, kita semua akan mati!" Pekik Prita panik. Mereka terjebak dalam ruang bawah tanah. Ruang yang tidak mereka ketahui sebelumnya. Di bawah rumah tua itu, ternyata bersemayam benda-benda tua bersejarah yang menyimpan magis. Mereka berdua nekad menerobos masuk pintu terlarang itu.

"Ini semua salahmu, Kak! Kau yang telah menggiring kita ke sini." Laura semakin putus asa karena belum berhasil menekan tombol keluar itu.

"Apa maksudmu? Bukankah kau yang telah memaksaku menerobos pintu masuk itu!" Suara Prita meninggi.

Walaupun sudah mencoba berkali-kali, namun tangan Laura tetap tak dapat bergerak. Tiba-tiba saja tubuhnya diam seperti patung. Seakan ada yang mencoba menghalangi dengan sihir magic nya, tubuh Laura membatu. Semakin lama susah untuk digerakkan.

Sedangkan kaki Prita terjerat tali, yang entah darimana datangnya telah mengikat kuat kedua kaki Laura saat hendak menyelamatkan diri.

Kedua kakak beradik itu terjebak dalam ruang bawah tanah rumahnya sendiri. Setelah belasan tahun Kakek dan Nenek berhasil menjauhkan orang-orang terdekatnya dengan membuat pengaman pintu berlapis baja, namun kali ini berhasil ditembus oleh kedua gadis itu. Mereka baru berusia belasan tahun, namun telah berhasil memecahkan misteri rumah tua itu.

Sementara itu suara gemuruh semakin menggelegar. Semua yang ada di sekitarnya berguncang keras. Seakan bangunan yang ada di atasnya mau roboh dan menembus lapisan bawah tanah. Goncangan itu semakin keras dan bertambah paniklah kedua gadis itu.

"Gempa! Gempa! Cepat lakukan sesuatu Laura! Teriak Prita yang tak dapat berbuat apa-apa. Ia masih beberapa meter jauhnya dari pintu keluar. Sedangkan Laura hanya berjarak beberapa inchi dari pintu keluar. Sayang sekali tombol itu tak dapat diraihnya. Tubuhnya masih membatu.

Laura menangis, berteriak dan mengerang. "Toloooong! Toloooong! Adakan seseorang di luar sana?! Tolong bantu kami keluaaaar." Laura terisak putus asa. Air matanya meleleh, tubuhnya semakin mengeras. Ia akhirnya pasrah, kedua bibirnya menjadi kaku dan tak dapat digerakkan. Laura tak dapat lagi berteriak minta pertolongan.

Tiba-tiba terdengar suara dari balik pintu. Sesorang atau mungkin lebih berusaha mendobrak paksa pintu itu. Suaranya terdengar jelas sekali walaupun saling bersahutan dengan suara gemuruh dan benda-benda berjatuhan. Gempa itu langsung lenyap bersamaan dengan jebolnya pintu oleh sebuah buldozer yang dikemudikan oleh seseorang.

Suasana mendadak sunyi, hanya tersisa suara dari sebuah mesin yang dikemudikan oleh lelaki berambut putih. "Kakek! Kakek!" Teriak Laura penuh rasa haru. Air matanya tumpah ruah sambil berlari untuk memeluk Kakek. Lelaki tua itu tersenyum, sementara seseorang menyusul masuk ke dalam. Perempuan cantik yang juga berambut putih itu memeluk dan mengguncang-guncangkan bahu Laura. "Bangun Laura. Bangun Laura," suara Nenek membuat mata Laura terbuka.

"Nenek, Kakek. Kaliankah itu?" Laura membuka kelopak matanya. Tak ada siapa-siapa di sekitarnya. Suasana sunyi senyap. Terik mentari menyembul dari balik tirai yang tersingkap. Laura terjaga dari tidur siangnya. Ia bangkit dari tempat tidur dan berlari keluar kamar mencari Prita kakaknya.

"Kakaaak," tangis Laura meledak sambil memeluk Prita yang sedang menyiapkan makan siang di dapur.

"Kenapa? Mimpi buruk lagi?" Prita tersenyum.
"Kakek... Nenek..." Laura menangis sesenggukan. Beberapa hari ini Laura selalu memimpikan Kakek dan Nenek. Prita menyadari hal itu dan memeluk erat sang adik sambil berkata,"Mari kita berdo'a bersama-sama, agar arwah Kakek dan Nenek dilindungi oleh Allah di akhirat sana."
(RD)

Hari Pertama

Ia melirik perlahan, penuh keraguan. Berjalan tanpa ada senyuman, sambil menggenggam erat tangan seorang wanita. Sedetik kemudian air matanya tak tertahankan, meleleh sedikit tanpa ada seorangpun yang menyadari. Dan ketika genggaman itu terlepas, tiba-tiba tangisnya meledak. Seisi ruangan terhentak, dan semua orang tak ingin melewatkan saat-saat mendebarkan perpisahan mereka.

“Mamaaa…! Mamaaa…! Didin takuuuut…. Huuuu…uuuu…,” teriak lelaki mungil itu sambil berusaha menarik kembali tangan mamanya.

 “Didin harus berani. Didin harus sekolah ya nak…” bujuk sang mama saat hendak melepas buah hatinya masuk kelas.

 “Takut mamaaaa…. Didin minta pulang ajaaa…. Huuuu…uuuu,” tangisnya makin meronta.

Wanita itu tak kuasa melepas begitu saja lelaki yang sangat dicintainya itu. “Baiklah, mama akan temani Didin dalam kelas,” sang mama berusaha menenangkan buah hatinya di hari pertama masuk sekolah playgroup. (RD)

Semut yang Baik Hati


 "Kenapa kamu bersedih?" Tanya seekor semut pada manusia di hadapannya. Ia memperhatikan sosok gadis mungil yang sedang duduk di balik pintu kamarnya. Tentu saja ia tak dapat mendengar sapaan semut, karena ia seorang manusia. Namun rasa iba yang begitu mendalam telah membuatnya enggan untuk beranjak. Ia pandangi terus gadis itu sambil menunggu reaksi selanjutnya. Tiba-tiba ada sebongkah air jatuh mendarat tepat beberapa inchi darinya, sehingga semut berteriak, "Hujan! Hujan!" 

 Semut lari tunggang langgang sambil berteriak mencari pertolongan, namun ia mendengar suara isak tangis. Semut menoleh, dan melihat bulir-bulir air mata berjatuhan ke lantai. Seketika langkahnya terhenti, dan berbalik mendekati gadis itu.

 Semut memberanikan diri mendekatinya dan bertanya, "Hai teman, kenapa kau bersedih?" Gadis itu tak bereaksi, karena tentu saja tak dapat mendengar suara semut. Menyadari bahwa suaranya tak dapat didengar, maka semut memberikan serpihan roti yang baru ia temukan di sudut kamar.

 "Apakah kau lapar?" Tanya semut sambil menyodorkan serpihan roti hasil buruannya. Ia mengamati gadis itu. Perlahan sang gadis melihat ke bawah dan tiba-tiba terperanjat.

 "Aaaarrrgg...! Mamaaa! Mamaaa ada semut jahat, aku takuuut...!" Gadis kecil berlalu meninggalkan semut yang kebingungan. (RD)