Sunday 31 August 2014

Waktu dan Rutinitas

Rasanya baru beberapa saat yang lalu saya melihat jam dinding. Ternyata sekarang sudah 1 jam berlalu. Tak terasa, sungguh waktu berlalu begitu cepat. Ia tak mau menunggu tanpa peduli kita diam atau bergerak. Sejak beberapa hari yang lalu saya berusaha menghargai waktu. Karena sesuatu hal, saya memutuskan untuk lebih mendisiplinkan diri dalam hal apa saja. Rasanya sungguh luar biasa, ngos-ngosan seperti lari maraton. Ada beberapa target yg saya buat sendiri agar selesai dalam kurun waktu tertentu setiap harinya. Berat, sungguh berat bagi saya membuat peraturan yang harus saya patuhi sendiri.

Dulu, saya pikir orang yang sudah berusia kepala 3 sudah tua, sudah jadi om atau tante. Sekarang saya telah berusia kepala 3 namun rasanya masih belum dewasa. Masih hanyak kekurangan yang perlu dibenahi dan belum pantas rasanya menyandang predikat yang dituakan di kalangan adik atau saudara lain yang lebih muda. Ini berarti apakah saya yang kurang tahu diri karena menganggap diri belum tua.

Baru kemaren rasanya saya masuk sekolah taman kanak-kanak, lalu SD-SMP-SMU, sekarang saya telah berumah tangga dengan dua orang anak yang masih kecil-kecil. Saya pernah merasa jenuh dan capek sekolah, berharap agar sekolah segera usai. Waktu di SMU, saya mengalami kejenuhan yang luar biasa dengan sekolah. Masa-masa kelulusan sangat saya nantikan. Setelah lulus rasanya bahagia sekali, namun itu hanya sementara karena kebahagiaan setelah lulus SMU harus berganti dengan kekhawatiran baru akan masa-masa kuliah di universitas.

Setelah lulus kuliah, yang itupun harus dengan sekuat tenaga agar bisa lulus akhirnya saya bisa bernafas lega. Masa-masa setelah lulus membuat saya tenang karena sudah menyandang gelar sarjana. Namun itu pun hanya sementara, karena jikalau terlalu lama belum mendapatkan pekerjaan akan ada beban mental dengan predikat sebagai pengangguran. Maka saya pun segera bangkit untuk melamar pekerjaan ke sana sini.

Saya pun mendapatkan pekerjaan. Dalam hal pekerjaan pun ada tanggung jawab dan pressure yang menghiasi hari-hari saya. Pikiran dan tenaga dipacu untuk mendapatkan hasil terbaik. Ingin istirahat tapi tidak bisa seenaknya karena justru jam kerja saya ditambah. Tiap hari harus pulang malam untuk lembur.

Ketika akan menikah saya harus resign, dan kini rutinitas saya berganti dengan kesibukan sebagai ibu rumah tangga. Rutinitas yang berbeda namun tetap saja penuh dengan tanggung jawab mengemban segala amanah yang harus dilakukan karena selain menjalankan tugas sebagai istri juga merangkap sebagai ibu dari anak-anak, yang artinya harus mengasuh dan mendidik generasi berikutnya dengan sungguh-sungguh dan penuh kasih sayang.



Lalu kapankah waktu istirahat itu tiba? Pandangan saya langsung tertuju pada langit-langit sambil memutar-mutar kedua bola mata. Adakah hari libur bagi seorang ibu rumah tangga? Saya jawab sendiri ya, tidak akan pernah ada waktu istirahat. Untuk mendapatkan kesendirian penuh atau yang biasa dikenal sebagai "me time" pun sangat terbatas. Kita tidak akan pernah berhenti menghadapi apapun. Lepas dari satu urusan, akan ada urusan lain yang menanti. Begitu seterusnya. Setelah kehidupan berakhir, akan ada alam akhirat yang kekal dan abadi.

Kesimpulannya, selama hidup kita harus bergerak. Bekerja... dan bekerja, memanfaatkan waktu sebaik mungkin, menghadapi apapun dengan sekuat-kuatnya, tak boleh berhenti dan tak boleh menyerah.

(Rd)

Saturday 30 August 2014

Pensil dalam Kotak

Ada dua penggaris, yang satu pendek dan yang satu panjang. Berulang kali ia berusaha memasukkan penggaris panjang ke dalam kotak plastik bertingkat, yang menurut saya lebih cocok sebagai tempat penyimpanan benda-benda kecil semacam perhiasan atau pernak-pernik lain. Namun si kakak berusaha memasukkan seluruh pensil warna dan penggaris yang biasa digunakan untuk menggambar ke dalamnya. Kotak itupun ia comot dari tantenya yang baru pulang membeli perlengkapan plastik beberapa saat yang lalu.

“Bunda, gimana kalau penggarisnya ini dipotong aja biar bisa masuk?” tanya Icha sambil menyodorkan penggaris yang tidak juga mau masuk. Saya langsung melongo, lalu cekikikan mendengar idenya. Sekarang giliran Icha yang melongo melihat saya tertawa.

Setelah beberapa menit gagal memasukkan semua bendanya, pensil-pensil warnapun ia posisikan sedemikian rupa, ada yang melintang dan ada yang lurus. Belum bisa masuk semua, lalu kotak itupun digoyang-goyang dan dikocok-kocok dengan maksud agar pensil-pensilnya berubah posisi.


Bahkan saya sempat melihat ia berusaha mematahkan ujung pensil terlebih dulu agar bisa muat seluruhnya dari ujung sampai pangkal. Hehehe… mungkin yang ada dalam pikirannya saat itu, bagaimana agar semua barangnya bisa tersimpan rapi dalam kotak plastik baru, tanpa memikirkan bagaimana nasib benda-benda itu sendiri apakah masih utuh atau tidak.

Hmm, lama juga prosesnya kurang lebih setengah jam setelah itu ia menyerah dan tepar. Saya sengaja tidak membantunya agar kemampuan motoriknya terasah, sekaligus melatihnya dalam kemampuan menyelesaikan masalah. Saya perhatikan ia kelelahan dan merebahkan diri di kasur sambil memandang kotak itu. Sadar bahwa saya sedang memerhatikannya, ia pun bertanya, “Bunda, gimana kalau kotak ini dijadikan aquarium aja? Kalau Icha mau kasih makan ikannya, tinggal dibuka aja lacinya.” Lalu ia pun berlalu.

*menatap nanar kotak perhiasan yang kini kosong tanpa ada yang memedulikan

(Rd)

Tuesday 19 August 2014

Tangan di Atas Lebih Baik daripada Tangan di Bawah

Saya semakin mengerti petuah yang selalu terngiang-ngiang, bahwa semakin banyak memberi semakin banyak menerima dan sebaliknya semakin banyak meminta Allah akan semakin menghinakan nasib kita. Awalnya saya abaikan karena sepertinya kalimat tersebut sudah berulangkali saya dengar atau baca dari berbagai sumber, namun menjadi semakin mengerti setelah berusaha menerapkan dengan sepenuh hati.

Berawal dari fenomena dan ketidakmengertian saya, bahwa masih banyak kemiskinan yang selalu identik dengan kemalasan. Kalau biasanya anak-anak dari keluarga miskin rata-rata berprestasi, hal tersebut sudah menjadi sebuah kewajaran dikarenakan tempaan hidup yang membentuk karakter kuat seorang manusia.

Namun ini sebaliknya, kemiskinan justru dijadikan alasan atas ketidakmauan berusaha. Mereka yang berasal dari golongan ini selalu memiliki alasan bahwa ketidakmampuan orang tua dalam membiayai sekolah adalah faktor utama, orang tua juga tidak mampu membiayai skill yang ingin diraih, dan berprinsip bahwa kesuksesan hanya bisa diraih dengan uang. Bukankah Allah akan memberikan ujian pada tiap hambanya entah itu berupa sakit, takut atau miskin. Dan terlebih lagi, Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum tersebut berusaha mengubahnya.

Ada sebuah keluarga miskin yang sepanjang pengamatan saya, waktu kesehariannya dihabiskan hanya dengan melamun, tidur dan bermalas-malasan. Mereka benar-benar nol aktivitas. Secara tidak sengaja saya melihat dan mengamati sendiri bagaimana keseharian mereka, tidak ada aktivitas berarti yang menurut saya bisa mendorong semangat ataupun meningkatan kemampuan dalam hal tertentu. Mereka pasif, dan hampir sebagian besar perbincangan digunakan sebagai sarana untuk mengeluh.

Sepanjang hari yang saya habiskan bersama mereka, yang keluar dari bibir mereka hanyalah keluhan dan keluhan, dan selalu memandang rumput tetangga lebih hijau daripada miliknya. Tidak ada pernyataan optimis maupun hal baik yang bisa ditangkap dari setiap kalimat yang mereka lontarkan. Hidup mereka tidak bersemangat, tidak ada gairah untuk berjuang dan semacamnya. Dalam sekejab saya bisa menangkap bahwa penyebab keterpurukan mereka adalah sikap yang keliru dalam memandang kehidupan.

Namun saya bukan berniat menghakimi, menceramahi atau merasa benar. Saya hanya merasa ada yang mengganjal di hati, sesuatu yang sedikit keliru dalam cara pandang, dan mungkin jika bisa diluruskan insyaAllah bisa memberi sedikit perubahan.

Saya pernah membaca, bahwa jika seseorang kerap kali meminta-minta di usia mudanya maka Allah akan menghinakan dirinya dengan terus meminta-minta sampai di usia tua. Bukankah tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Menunaikan shadaqah tidak perlu menunggu kaya, apapun yang bisa kau berikan lekaslah berikan. Kira-kira seperti itu yang kemaren saya baca.

(Rd)

Friday 15 August 2014

Masa Lalu

Aku terdiam, hingga lupa untuk mengedipkan bola mata. Kupandangi sosok wanita yang sedang menangis itu beberapa saat setelah terlepas dari dekapan seorang lelaki, di area sebuah stasiun. Mereka sempat berpelukan sesaat lalu sang lelaki membisikkan sesuatu yang membuat si wanita menangis. Adegan dramatis dan romatis itu sempat menarik perhatian beberapa orang yang melintas. Sepertinya mereka tidak lagi memerhatikan orang-orang sekitar, seakan berada dalam dunianya sendiri.

Si wanita berlinang air mata, sedang si lelaki berusaha menenangkannya. Tebakanku mungkin tidak salah, mereka adalah sepasang kekasih yang hendak dipisahkan oleh jarak. Hal yang biasa terjadi namun menjadi tidak biasa ketika adegan sebuah perpisahan yang romantis menjadi pemandangan nyata dan bisa dilihat banyak orang. Aku tertegun.

“Apa yang sedang Anda lihat, Bu?” tanya temanku. Aku hampir lupa bahwa aku sedang bersama rekan kerjaku. Kami sedang menjemput salah seorang rekanan yang datang dari luar kota. Aku masih tertegun dan kelihatan seperti orang melamun walaupun kedua sejoli yang sempat menjadi perhatian tersebut sudah tak nampak lagi. Aku hanya tersenyum. “Saya jadi ingat masa lalu, Bu,” jawabku. Teman kerjaku itu nampak tak paham, namun sepertinya ia tak ingin mempertanyakan lebih jauh lagi karena beberapa saat kemudian kereta yang kami nantikan telah datang.

Kamipun tiba di kantor sedikit terlambat karena harus menjamu tamu Boss untuk makan siang di luar. Baru saja akan melanjutkan pekerjaan di depan laptop, tiba-tiba dari ruang sebelah terdengar suara orang yang sedang berdebat. Pak Boss dan tamu yang baru kami jemput di stasiun tadi sedang berdebat. Mereka membuat kami semua yang berada di ruang kerja sebelah panik. Perseteruan mereka tidak dapat kami dengar jelas. Namun meski samar, kata terakhir yang keras terdengar adalah, “B*ngs*t kau!”

Jantungku berdetak cepat, tak habis pikir mengapa bisa mereka berseteru hebat. Tiba-tiba terdengar suara pintu yang dibanting. Tamu rekanan tadi keluar dari ruangan Si Boss sambil setengah berlari menenteng koper yang lumayan berat. Mukanya merah padam, keringatnya bercucuran dan jas yang dipakainya tampak kusut. Tanpa menoleh pada siapapun ia berlalu meninggalkan kantor kami.

Astaghfirullah. Aku tak dapat berbuat apa-apa. Lemas rasanya raga ini, otakku tak mampu berpikir jernih alias shock. Beberapa teman kerjaku tampak berbisik-bisik tanpa ada yang berani masuk atau menanyakan ke dalam ruangan si Boss, atau sekedar melihat keadaannya saat ini. Sedang aku duduk terpaku di depan laptop yang sedang menyala. Ingatanku mengembara dan berkelana ke beberapa tahun silam. Masa lalu, masa lalu dan masa lalu.

Dulu, aku juga begitu, sosok wanita yang tak mampu mengendalikan emosi, selalu berteriak lantang dengan kata-kata kotor di kala murka. Astaghfirullah, sangat merasa berdosa dengan masa lalu walaupun itu sudah bertahun-tahun yang lalu.

Semoga saja aku bisa terus berbenah, bisa terus memperbaiki segala sikap dan lisanku, terutama dalam menghadapi situasi yang menyulut emosi. Amin.

(Rd)
*seperti yang pernah dituturkan oleh salah seorang sahabat

Wednesday 13 August 2014

Manusia Ajaib

Terkadang memilih diam itu lebih baik, saat kita tahu sedang berhadapan dengan "manusia ajaib". Apalagi yang dijadikan bahan perdebatan masih seputar urusan dapur, dan manusia ajaib tersebut adalah makhluk yang bernama lelaki hehehe...

Kebanyakan wanita tidak mau dipersalahkan dalam urusan yang masih bernaung di sekitar dapur. Urusan kadar bumbu masak, api kompor yang kebesaran atau kekecilan, dan cara memasak yang benar adalah sepenuhnya urusan wanita sebagai koki rumah, walaupun tidak semua perempuan bisa memasak, dan tidak semua lelaki gemar memasak... *nah loh. Yang saya maksud di sini jika si perempuan yang biasanya memasak di rumah dan memegang kendali dalam urusan kunci pintu dapur. Lelaki boleh ikut campur sebatas menyumbangkan tenaga, di luar itu haram hukumnya, hehehe galak banget...*pintu dapurnya selalu dikunci

Mama sedang mengiris buah pepaya, lalu papa mencomot salah satu irisan pepaya sambil nyeletuk, "Ada pepaya yang lebih enak, namanya pepaya thailand."

Mama tersenyum mendengarnya, "Ini yang dimakan papa ya pepaya thailand."

"Bukaaaan, thailand bukan model begini," timpal papa sambil mengernyitkan dahi, masih sambil menyunyah potongan pepaya dan mengamati teksturnya di hadapanku.

"Ini jenis thailand papaa... yg lokal sudah jarang ada di pasar," Mama menahan emosi.
"Bukaaaaan... kamu belum tahu sich, Ma," Papa berlalu masih sambil menyunyah pepaya. Mama terdiam sambil menahan air mata yang hendak menyembul keluar.
"Huuuaaaaaaa Papaaa....!!!"

(Rd)

Tuesday 12 August 2014

Suroboyo Carnival Night Market (SCNM)

Dari awal persiapan menuju ke wahana mainan baru di Surabaya ini hati sudah setengah, maksudnya setengah hati :-) Rencana berangkat pukul 4 sore jadi molor sehabis magrib. Maklum, moment tersebut bertepatan dengan libur hari raya idul fitri, jadi walaupun libur tapi jadwal masih padat.

Suroboyo Carnival Night Market (SCNM) ini soft opening pada tanggal 28 Juli 2014 bertepatan dengan Idul Fitri, mulai pukul 16.00 sampai 24.00 setiap harinya. Jadi masih ada waktu untuk istirahat sejenak di rumah setelah seharian berkeliling ke rumah saudara. Tidak seperti waktu mau berangkat ke mall yang rata-rata tutup pada pukul 21.00, harus setengah tergesa-gesa agar bisa sampai lebih awal, kalau di Suroboyo Carnival waktunya lebih panjang :-)

Badan yang lagi tidak bersahabat membuat semangat semakin redup. Ditambah anak-anak yang masih pulas tidur siang, membuat emaknya jadi tak tega membangunkan. Ayahnya juga masih terlelap. Cukup alasan sebenarnya untuk membatalkan rencana sore ini. Jam dinding yang berdetak, "tik tok tik tok" tak memberi kesempatan raga ini untuk sedikit bermalas-malasan lebih lama lagi.

Sehabis sholat magrib kami semua sudah siap. Jadi terbayang-bayang bagaimana ramainya suasana di sana, karena sehari sebelumnya sempat menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana antrian kendaraan mobil dan sepeda motor menuju tempat parkir, padahal kemaren itu langit masih terang, masih pukul 4 sore. Apalagi sekarang, selepas maghrib antrian pasti sudah lebih panjang.



Beberapa meter sebelum menuju lokasi, sudah tepat sesuai prediksi. Antri bok.. tempat parkir sudah full. Kami dialihkan menuju tempat parkir alternatif yang letaknya lebih jauh, harus putar balik menuju ke seberang jalan. Lahan di samping Stie Mahardhika menjadi tempat parkir kedua. Saya tidak tahu apakah itu hanya sementara atau seterusnya, karena saya perhatikan proses pengerjaan SCNM ada yang belum selesai, sepertinya sedang membangun trotoar dan tempat parkir lagi di sekitar lokasi.

Setelah memarkir mobil, kami masih harus berjalan menuju ke pinggir jalan tepatnya di depan Stie Mahardhika untuk menunggu bus, karena di sana disediakan bus penjemput menuju ke tempat carnival. Akses jalan di tempat parkir samping kampus masih gelap jadi kami harus lebih berhati-hati menuntun para krucil menuju ke tempat pemberhentian bus. Di dalam bus, semua berdesakan banyak yang tidak kebagian tempat duduk. Tapi tak mengapa toh hanya jarak dekat. Saya perhatikan anak-anak cukup menikmati suasana, jadi saya tidak resah.


Turun dari bus perjuangan masih panjang. Untuk membeli tiket masuk saja harus berdesakan. Wow, fantastis memang. Besar sekali antusiasme masyarakat untuk mengunjugi tempat ini. Tidak hanya masyarakat Surabaya, namun juga yang berasal dari luar kota, ini jika diamati dari banyaknya plat kendaraan selain L (Surabaya).

Tiket masuk per orang Rp.20.000 untuk yang biasa, tiket yang terusan Rp.150.000 per orang. Malam itu tiap-tiap wahana punya antrian panjang seperti ular. Bisa-bisa waktu habis hanya untuk antri di satu wahana saja hehehe. Maklum, wahana permainan ini masih baru, soft openingnya bertepatan dengan libur hari raya jadi langsung diserbu masyarakat. Oh ya, harga tiket masuk tiap-tiap wahana permainan berkisar Rp.15.000-25.000. Sedangkan total keseluruhan ada 50 wahana permainan. Ada juga tiket khusus Kids Kingdom bandrolnya 75rb.



Untuk berjalanpun harus melalui perjuangan. Berdesak-desakan membuat atasan yang saya pakai jadi basah oleh keringat. Ditambah dengan kaki lecet karena sepatu. Padahal sepatu yang saya pakai flat banget, nyesel juga kenapa tidak memakai sandal santai saja.

Tempatnya bagus, sangat menarik. Sayang sekali tidak semuanya bisa saya abadikan karena untuk berjalan saja masih berdesakan hehehe. Maybe next time :-)
(Rd)






Thursday 7 August 2014

Tahun Ajaran Baru

Takut, nangis dan berteriak histeris, pemandangan yang kerap kali ditemui di masa-masa tahun ajaran baru, khususnya dalam tingkatan PAUD. Hal wajar dan tak perlu diperparah dengan paksaan orang tua agar anaknya mau masuk kelas bersama dengan teman-teman dan guru baru. Bagi beberapa anak hal tersebut merupakan momok, karena ia diharuskan tunduk dalam peraturan dan lingkungan baru nan asing.


Kemampuan beradaptasi tiap anak berbeda, bagi anak yang terbiasa tinggal dalam lingkungan keluarga yang friendly, humoris dan meminimalisir unsur pemaksaan dalam pola asuh, akan lebih mudah beradaptasi. Adanya pemaksaan dan kekerasan dalam mendidik anak berdampak pada pengendapan emosi dalam jiwa anak yang tidak terluapkan. Anak-anak usia dini cenderung mengendapkan rasa takut akibat pemaksaan yg dilakukan orang dewasa, hingga kapasitasnya semakin bertambah tanpa disadari para orang tua. Pengedapan emosi yang tidak terluapkan dari diri si anak akan meledak pada saat mencapai titik tertentu, karena dalam kondisi tersebut si anak sudah tidak mampu membendungnya.


Anak-anak yang terbiasa bebas berekspresi dan bebas menentukan sikap dalam lingkungan keluarganya, biasanya cenderung survive. Bahkan mereka bisa menikmati masa-masa peralihan tersebut. Bertemu dengan teman-teman baru, guru baru maupun kelas baru bisa menjadi kesenangan tersendiri.


Perhatian saya tertuju pada seorang anak yang menangis karena tidak mau masuk kelas. Awalnya sang bunda hanya menghela nafas sambil sesekali membujuknya. Beberapa saat kemudian si anak tetap tidak mau masuk kelas dan memilih bergelanyut di pundak sang bunda. Namun sang bunda sudah habis kesabaran dan memaksa si anak dengan mendorongnya masuk ke dalam kelas. Spontan si anak kembali menangis, kali ini dengan tangisan yang lebih keras disertai amukan. Sang bunda tidak mau kalah, ia membentak anaknya sambil sesekali mencubit kakinya.


Pemandangan yang menyesakkan, memilukan dan menimbulkan rasa iba. Rasa iba terhadap si anak yang tidak mendapatkan arahan dan bantuan dari orang dewasa dalam menghadapi dunia baru, sebaliknya rasa takutnya bertambah dengan hadirnya pemaksaan dari orang tua.


Ironis, keesokan harinya kejadian yang sama kembali terulang. Kali ini si anak sudah kehabisan tenaga. Ia memilih pasrah dengan kemauan orang-orang dewasa untuk masuk kelas, namun memilih duduk sendirian di pojok kelas tepat di balik pintu. Ia berada dalam dunianya sendiri karena tak mengerti untuk apa ia berada dalam kelas tersebut.


Sudahlah bunda, biarlah ia beradaptasi dengan caranya sendiri. Atau jika ada yg berbaik hati untuk menunjukkan bagaimana caranya, mungkin ia akan lebih rileks. Tidak ada yang menuntun bagaimana cara bersikap, yang saya perhatikan ia harus begini dan begitu tanpa tahu untuk apa ia melakukannya.


Anak membutuhkan komunikasi yang tak terputus dari orang tuanya. Anak membutuhkan pengetahuan dan pembelajaran yang tidak memaksa namun mengena. Anak membutuhkan rasa ikhlas agar ia mau belajar, untuk itu orang tua perlu menuntun dan menjelaskan untuk apa kita perlu begini dan begitu. Anak bukan robot yang bisa diperlakukan semau kita, ia punya perasaan dan ingin disayang. Mungkin ia belum siap, atau membutuhkan waktu untuk beradaptasi lebih lama dibanding yang lain. Jangan samakan mereka.
(Rd)