Wednesday 28 April 2010

Sebuah Pelepasan

Sebuah pelepasan dari lilitan panjang dan membuatmu kaku
Sebuah pelepasan dari permainan tarik ulur yang diciptakan olehku
Sebuah pelepasan dari penutup mata yang hitam pekat dan wajib kau pakaikan pada kedua matamu
Sebuah pelepasan dari tuntunan dan tuntutan olehku
Sebuah pelepasan dari larangan dan perintah untukmu
Sebuah pelepasan dari carut marutnya pikiranku dan campur tanganku
Sebuah pelepasan dari kode etik yang kuciptakan untukmu
Sebuah pelepasan dari rantai berat di kedua kakimu, yang selalu kusimpan mata kuncinya di bawah bantalku
Sebuah pelepasan dari mata-mata hati dan pikiranku
Sebuah pelepasan dari bendungan yang kuciptakan untuk derasnya mata airmu
Sebuah pelepasan dari mimpi buruk yang selalu bergentayangan di alam sadarku
Sebuah pelepasan dari perkataan jangan dan tidak untukmu

Sunday 25 April 2010

Angkuh

konserImage by abacus via Flickr

Ia berdiri dengan sangat angkuh. Dalam balutan busana kebanggaannya, ia mondar mandir di atas karpet merah yang tengah jadi sorotan. Penyanyi yang baru naik daun itu sedang cemas menanti proses check sound yang dilaksanakan mendekati saat pementasan. Karena keteledoran pihak penyelenggara, terpaksa check sound itu dilaksanakan beberapa menit sebelum acara dimulai. Sang artis yang sangat perfeksionis mengkutuk keteledoran pihak panitia, namun tak ada waktu lagi untuk berdebat.

“Apa sudah jadi gaun saya?!” tanya Tasya dengan ketus saat baru saja tiba di butik yang dipercaya olehnya untuk membuat kostum panggung.

“Sudah non, ini silahkan dicoba,” jawab ibu pemilik butik sambil menyodorkan gaun merah menyala dengan bagian atasan berwarna hitam.

Tampak Tasya membolak balik gaun itu lalu cemberut, “Kok begini jadinya? Warnanya ga senada banget!

Ibu itu tampak terkejut dengan respon Tasya, “Bukannya nona sendiri yang minta saya menambahkan kain warna hitam di atasnya?”

“Iya, tapi seharusnya kalau jadinya begini ibu telepon saya dulu ngasih tahu kalau ternyata warnanya ga senada! Masak nurut aja apa yang saya omong tanpa ngasih pendapat sedikitpun!” Tasya tidak terima dengan pembelaan diri si ibu.

Ibu itu diam saja, melihat respon yang diam saja amarah Tasya semakin menjadi-jadi. Sambil menunjuk-nunjuk muka si ibu, Tasya berteriak menggurui, “Sebagai pemilik butik seharusnya punya jiwa seni, pakai dong bu kemampuan ibu!”

Ibu itupun tak tahan dengan perlakuan Tasya dan melelehlah air mata dari kedua matanya yang sudah sedikit keriput.

Malam sebelum pertunjukan, Tasya tidak dapat tidur nyenyak, gaun yang akan ia pakai besok malam tidak sesuai dengan harapannya. Mau tidak mau ia harus memakainya, mengingat sudah banyak biaya yang ia keluarkan untuk membuat kostum itu.

Saat yang telah dinanti banyak orang itupun telah tiba. Kini Tasya berjalan memasuki podium sambil mengumbar senyum yang dipaksakan terhadap penonton. Sorak sorai penggemarnya telah membuat nyalinya semakin ciut. Akankah penampilannya kali ini memuaskan mereka, sedang jantungnya berdegup kencang karena ia merasa ada yang tidak beres dengan persiapan pihak penyelenggara.

Benar saja firasatnya, di tengah-tengah lagu yang sedang dibawakannya, tiba-tiba mikrofonnya mati. Jantung Tasya berdegup kencang. Keringat dingin bercucuran dari keningnya. Ia pun panik dan bersumpah dalam hati akan menuntut pihak panitia. Saat itu juga nafasnya seolah terhenti. Tak percaya dengan apa yang sedang menimpa dirinya, Tasya pun jatuh pingsan.

Reblog this post [with Zemanta]

Tuesday 20 April 2010

Berusaha terjaga

The Praying Monk Lightning StrikeImage by striking_photography via Flickr

Aku bernafas tenang, dan berusaha tetap terjaga. Mataku sayu dan rasa kantuk ini begitu berat untuk kulawan, walau berkali-kali kubelalakkan kelopak mata ini sampai bola mataku hampir saja keluar.

Secepatnya kutepis semua kekhawatiran ini dengan mengambil sikap duduk tenang di atas sajadah, dan kubersujud...


Reblog this post [with Zemanta]

Thursday 8 April 2010

Angkuh

Josie Sings Come Away With MeImage by Josie*~*Anderton via Flickr

Ia berdiri dengan sangat angkuh. Dalam balutan busana kebanggaannya, ia mondar mandir di atas karpet merah yang tengah jadi sorotan. Penyanyi yang baru naik daun itu sedang cemas menanti proses check sound yang dilaksanakan mendekati saat pementasan. Karena keteledoran pihak penyelenggara, terpaksa check sound itu dilaksanakan beberapa menit sebelum acara dimulai. Sang artis yang sangat perfeksionis mengkutuk keteledoran pihak panitia, namun tak ada waktu lagi untuk berdebat.

“Apa sudah jadi gaun saya?!” tanya Tasya dengan ketus saat baru saja tiba di butik yang dipercaya olehnya untuk membuat kostum panggung.

“Sudah non, ini silahkan dicoba,” jawab ibu pemilik butik sambil menyodorkan gaun merah menyala dengan bagian atasan berwarna hitam.

Tampak Tasya membolak balik gaun itu lalu cemberut, “Kok begini jadinya? Warnanya ga senada banget!

Ibu itu tampak terkejut dengan respon Tasya, “Bukannya nona sendiri yang minta saya menambahkan kain warna hitam di atasnya?”

“Iya, tapi seharusnya kalau jadinya begini ibu telepon saya dulu ngasih tahu kalau ternyata warnanya ga senada! Masak nurut aja apa yang saya omong tanpa ngasih pendapat sedikitpun!” Tasya tidak terima dengan pembelaan diri si ibu.

Ibu itu diam saja, melihat respon yang diam saja amarah Tasya semakin menjadi-jadi. Sambil menunjuk-nunjuk muka si ibu, Tasya berteriak menggurui, “Sebagai pemilik butik seharusnya punya jiwa seni, pakai dong bu kemampuan ibu!”

Ibu itupun tak tahan dengan perlakuan Tasya dan melelehlah air mata dari kedua matanya yang sudah sedikit keriput.

Malam sebelum pertunjukan, Tasya tidak dapat tidur nyenyak, gaun yang akan ia pakai besok malam tidak sesuai dengan harapannya. Mau tidak mau ia harus memakainya, mengingat sudah banyak biaya yang ia keluarkan untuk membuat kostum itu.

Saat yang telah dinanti banyak orang itupun telah tiba. Kini Tasya berjalan memasuki podium sambil mengumbar senyum yang dipaksakan terhadap penonton. Sorak sorai penggemarnya telah membuat nyalinya semakin ciut. Akankah penampilannya kali ini memuaskan mereka, sedang jantungnya berdegup kencang karena ia merasa ada yang tidak beres dengan persiapan pihak penyelenggara.

Benar saja firasatnya, di tengah-tengah lagu yang sedang dibawakannya, tiba-tiba mikrofonnya mati. Jantung Tasya berdegup kencang. Keringat dingin bercucuran dari keningnya. Ia pun panik dan bersumpah dalam hati akan menuntut pihak panitia. Saat itu juga nafasnya seolah terhenti. Tak percaya dengan apa yang sedang menimpa dirinya, Tasya pun jatuh pingsan.


Reblog this post [with Zemanta]

Gemerlap dunia

Anillos de Matrimonio, Aros de MatrimonioImage via Wikipedia

“Yah…hujan deras lagi,” keluh Intan tatkala akan mengganti piyamanya dengan gaun malam hitam. Malam ini Intan, 19 tahun, akan menghadiri pesta ulang tahun temannya di sebuah hotel mewah, milik ayah Inge, teman Intan yang tengah berulang tahun itu.

Segera ia menelpon Bram, teman kencan Intan yang biasa mengantarnya kemana saja ke tempat yang Intan suka. Bram seorang pegawai swasta lumayan tajir, yang baru bekerja selama 1 tahun. Sebenarnya bukan Bram sendiri yang bisa dikatakan tajir, kekayaan orang tua Bram lah yang selama ini digunakan untuk memfasilitasi segala keperluannya, terutama dalam urusan cewek.

“Bram, jemput aku pake mobil ya? Hujan deras nich ,” pinta Intan dengan manja. Sesaat kemudian Intan bergegas mengganti pakaian, dan tak kurang dari 30 menit mobil Bram sudah membunyikan klakson begitu tiba di depan rumahnya.

“Uh… kenapa cepat sekali sich sampainya, aku kan belum siap nich…” keluh Intan seraya mempersilahkan Bram masuk ke dalam rumahnya.

“Tenang sayang, aku tidak terburu-buru kok. Santai saja…” jawab Bram sambil tersenyum genit.

Buru-buru Intan ngeloyor masuk ke dalam kamar membenahi riasannya yang belum kelar. “Braaam…! Aku pake gaun warna hitam pantas tidak ya…?” teriak Intan sambil mendongakkan kepalanya keluar dari pintu kamar.

“Kamu pake warna apa aja pantas kok sayang,” jawab Bram sambil melongok kearah jam tangannya. Sudah setengah jam Intan menghabiskan waktunya di dalam kamar, Bram seolah sudah tidak sabar untuk segera menghadiri pesta ulang tahun Inge, anak seorang pengusaha kaya.

Sesampai di hotel mewah tempat digelarnya pesta Inge, Bram sangat takjub dengan kemewahan pesta yang digelar di sana. “Kenalkan, ini Bram, cowokku,” kata Intan saat mengenalkan Bram pada Inge.

Inge yang saat itu mengenakan gaun purple, tampak sangat cantik dan elegan dengan dekorasi kolam renang yang bernuansa gold.

Dari pandangan pertama, Bram sudah jatuh hati pada Inge. Tidak hanya pada penampilan Inge yang malam itu tampak cantik di mata Bram, namun ia juga jatuh hati terhadap kekayaan yang dimiliki keluarga Inge.

Gayungpun bersambut, Inge menerima Bram menjadi cowoknya. Tampang Bram memang ganteng, hingga mampu melumerkan hati Inge. Namun apalah arti seorang Intan yang hanya seorang gadis yang berasal dari keluarga biasa. Memiliki cewek yang orang tuanya setajir Inge adalah incaran Bram dari dulu.

“Apa kamu benar-benar mencintaiku Bram?” tanya Inge di suatu malam saat mereka berdua asyik dalam suasana sendu, di bawah temaram cahaya bulan purnama.

“Iya sayang, aku sangat mencintaimu,” jawan Bram dengan penuh kemesraan.

“Mengapa kau tidak segera melamarku?” sambung Inge dengan penuh antusias.

Sesaat Bram terdiam, lalu menghembuskan nafas sambil memeluk Inge erat, “Ya sayang… mungkin sudah saatnya.”

Tiga bulan kemudian, pesta pernikahan digelar di kediaman orang tua Inge. Sudah bisa diprediksi, banyak tamu undangan yang hadir. Sebagian dari kerabat dan teman kerja ayah Inge, sebagian lagi berasal dari kerabat dan teman kerja ayah Bram. Tamu undangan yang hadir tumpah ruah dalam pesta mewah yang menghabiskan biaya sangat besar.

Setahun kemudian, mereka sudah menimang bayi. Kebahagiaan berturut-turut datang pada keluarga mereka. Sampai suatu ketika, ayah Inge harus masuk ke dalam bui karena kasus penggelapan dana.

Seketika itu juga keluarga Inge bangkrut. Tidak lama kemudian keluarga Bram juga terkena imbasnya. Kasus penggelapan dana itu ternyata juga menyeret usaha milik ayah Bram. Perusahaan milik keluarga Bram telah dirugikan berpuluh-puluh milyar.

Kini keluarga Bram maupun keluarga Inge sama-sama jatuh miskin. Mereka tidak punya apa-apa sama sekali. Tiga bulan kemudian, Bram dan Inge memutuskan untuk berpisah dan menjalani hidup mereka masing-masing.







Reblog this post [with Zemanta]

Monday 5 April 2010

Alam mimpi dan mentari pagi

Coquelicot...Image by Photos de Daniel via Flickr

Write text here...

Mereka yang kini sedang bersembunyi di balik selimut, sedang menghangatkan tubuhnya dan memejamkan mata. Mengirimkan rohnya masing-masing untuk memainkan peran di alam yang beda. Meninggalkan jasad yang sedang beku dan berusaha melupakan sejenak dingin yang melilit tubuh. Menikmati sup hangat dan secangkir kopi dalam sandiwara mimpi.

Kini derasnya air dari langit ketujuh telah berhenti. Mentari pagi telah menghangatkan tubuh mereka kembali. Kuncup bunga telah merekah memamerkan mahkotanya yang indah berseri.

Friday 2 April 2010

Tanaman dalam sangkar

Lady Herbert's Homes and GardenImage by Wolfiewolf via Flickr

"Bunda, aku ingin melihat benih ini tumbuh," kata sikecil tatkala menyaksikan sang bunda sedang menutup sebutir benih di atas sebongkah tanah dalam pot kecil dengan sebuah sangkar burung di atasnya.

"Iya nak, kau akan menyaksikan benih ini tumbuh sedikit demi sedikit seiring dengan bertambahnya usia kamu," jawab sang bunda sambil tersenyum dan membelai halus kening sikecil.

Seminggu kemudian benih mulai menampakkan daunnya. Sikecil selalu memantau perkembangan benih itu. Disiramnya setiap hari, diamatinya bentuknya dan dijaga dengan penuh kasih sayang. Dua minggu kemudian benih mulai memamerkan kuncup bunganya. Tiga minggu kemudian benih mulai menyebarkan wangi dari mekar bunganya yang cantik. Semakin lama tanaman itu tumbuh semakin besar dan lebat daunnya.

Hingga suatu ketika sikecil bertanya pada bundanya,"Bunda, mengapa tanaman ini selalu dikurung dalam sangkar?" Sang bunda tidak menjawab dan hanya tersenyum pada sikecil.

Beberapa hari kemudian, sikecil mendapati tanaman kesayangannya melilit pada setiap ruas jeruji sangkar. Tanaman itu ternyata tumbuh merambat, meliuk mengikuti bentuk sangkar dan tak sedikitpun tangkainya tumbuh keluar dari jeruji sangkar yang telah mengurungnya.

Setahun kemudian tanaman itu mirip seperti bonsai. Ia tumbuh menyesuaikan keadaan. Seperti ada batasan-batasan yang tidak pernah dilanggar. Rupanya hal tersirat ini tersampaikan dalam benak sikecil. Ia tumbuh dengan tingkat adaptasi yang cukup baik, selalu mengikuti aturan dan patuh pada kedua orang tuanya. Anak itu berusaha melakukan hal yang tidak melenceng dari aturan.

Ia telah belajar dari tanaman itu, bagaimana caranya tumbuh dan beradaptasi. Sikecil menerima apa adanya kebersahajaan orangtuanya. Ia telah belajar bagaimana bertahan hidup di dunia yang penuh dengan tantangan dan cobaan.

Lebih baik mengubah cara pandang kita terhadap lingkungan, daripada memaksa lingkungan di luar kita agar mau mengerti apa yang kita pikirkan atau rasakan.






Reblog this post [with Zemanta]

Thursday 1 April 2010

Berhenti

Soleil rouge...!!!Image by Denis Collette...!!! via Flickr

Aku di sini
Terbaring dalam diam
Berhenti dan mengelana dalam cakrawala senja
Berusaha memahami apa saja yang telah kulakukan hari ini
Seperti tiada ujung aku berlari
dan kini ingin kuberhenti
Seperti tanya yang tak berujung jawab
Aku menunggu bahagia menyapa
namun sepertinya sia-sia