Wednesday 11 December 2013

Di Atas Loteng

Seiring berjalannya waktu, penglihatanku semakin kabur, dan pendengaranku tak seperti dulu lagi. Aku tak tahu, apakah harus diobati atau diminimalisir dengan mendatangi dokter, ataukah mendiamkannya saja karena hal-hal seperti ini selalu dialami setiap manusia.

Satu persatu kuangkat lembar pakaian ke atas kawat yang dikaitkan masing-masing ujungnya dengan paku ke permukaan tembok. Tembok tua yang sebagian besar ditumbuhi lumut dan jamur hingga tampak berwarna putih kusam bercampur kehijauan dan sedikit kehitaman, karena setiap saat terguyur hujan dari atap langit, lalu berganti dengan sorotan sinar mentari yang berarti sebuah kesempatan untuk mengeringkan semua cucian. Di sini, di atas loteng dengan bangunan yang tidak sepenuhnya tertutup, selalu kudapatkan kesunyian yang membebaskanku dari hiruk pikuk rutinitas.

Belum selesai menjemur semua pakaian, ada suara gaduh di bawah sana, tepatnya di anak tangga loteng. Kudongakkan kepalaku ke bawah, tak dapat kulihat jelas karena penglihatanku yang kabur ditambah minimnya pencahayaan, apalagi silau setelah berada di bawah terik mentari, yang ada justru semuanya tampak gelap.

Kukerjabkan kedua mataku untuk memastikan benda apa yang terjatuh di bawah sana, dan ketika berusaha membuka kelopak mata selebar-lebarnya, yang terlihat adalah sebuah wajah yang samar dengan bibir merah menyala sedang tersenyum. Wajah siapakah itu? Aku memilih untuk memejamkan mata saja sambil berpegangan pada daun pintu, sementara jantungku berdegup seperti bedug. Saat ini, tidak ada orang lain di rumah ini selain aku dan bayiku. Berapa lama lagi aku harus bertahan dengan memejamkan mata seperti ini, sementara aku tak tahu apakah wajah itu masih terus mengawasiku.

Sayup-sayup kudengar suara tangis bayiku dari lantai bawah. Aku baru menyadari bahwa sudah cukup lama aku berdiam diri di atas loteng ini dipenuhi dengan pikiran-pikiran konyol. Pasti karena aku telah berhalusinasi. Segera aku terobos apapun yang ada di depanku, entah itu bayangan hantu atau penampakan wajah dengan bibir merah. Yang jelas aku harus turun sekarang juga, bayiku sedang mencari. (RD)

Thursday 5 December 2013

Saat Malas Mendera

Ia berusaha melawan rasa malas dan lesu yang merasuk ke persendian tulang. Bahkan desir-desir dalam pembuluh darahnya sudah tak berasa lagi. "Seluruh tubuh yang susah digerakkan semakin lama akan membatu," pikirnya. Lalu ia turun dari ranjang yang selama ini menjadi singgasana. Ia tak ingat kapan terakhir kali turun dari ranjang, apakah tadi pagi, kemaren, kemaren dulu, entahlah. Kecuali untuk urusan buang hajat yang hanya berjarak satu meter dengan pintu toilet, lalu setelah selesai ia hanya akan melangkah satu kali untuk kemudian kembali naik ke atas ranjang.
Mungkin inilah yang dirasakan oleh para pemalas, yang tak pernah melakukan apapun dalam kehidupannya, dalam detik-detik waktu yang dimilikinya, bahkan mereka tak mengisi otakknya dengan ilmu. Mengapa? Karena berpikir adalah pekerjaan yang berat, jauh lebih berat dari pada menonton televisi.
Ups, ia tak dapat berdiri tegak karena pinggangnya sakit. Sudah berapa lama ia tak menggerakkan badan, bahkan untuk melakukan sujud di atas sajadah ia lalai. Pikirannya terlalu ruwet, penuh dengan masalah, seakan-akan hanya dirinyalah orang yang paling patut dikasihani di dunia ini. Sayang sekali, semua orang di sekitarnya sibuk dengan urusan masing-masing. Mereka sibuk memikirkan cara bagaimana untuk survive, dan bekerja keras tanpa banyak mengeluh. Mengeluh? Ya, mengeluh, menangis, menyesali nasib, tanpa action apa-apa. Lalu memandang ke kanan kiri, ia melihat teman-teman dan keluarganya lebih bahagia dari dirinya. "Rumput tetangga selalu tampak lebih hijau," begitu pikirnya. Lalu timbul iri, cemburu dan berburuk sangka.

Suara Tapak Kaki

Begitu suara-suara itu mengganggu tidurku, mataku sudah terbelalak lebar. Tak ada lagi rasa kantuk yang tersisa, setelah suara hentakan kaki itu merasuk dalam mimpiku. Dug..dug..dug.. Tapak kaki sebesar apa yang mampu menghasilkan suara seperti itu. Mungkinkah ada makhluk raksasa yang juga menghuni rumah ini tanpa sepengetahuanku? Bola mataku masih melotot keluar dengan mulut ternganga serta tubuh membatu. Ada sesuatu yang membuatku tak dapat bergerak. Sihir! Ada seseorang atau sesuatu yang telah menyihirku hingga tak dapat bergerak sama sekali, atau mungkin aku hanya berhalusinasi. Mataku masih dapat berkedip, jadi aku memerintahkan ragaku untuk bergerak. Ayo maju! Begitu teriakku dalam hati.
Aku berhasil menggerakkan tubuhku. Dalam sekejab aku berhasil melompat. Buk! Pantatku sakit. Kuelus-elus bagian yang sakit ini akibat terjatuh dari ranjang. Samar-samar kudengar adzan shubuh berkumandang. Rupanya suara bedug sempat masuk dalam alam tidurku dan menjelma menjadi suara tapak kaki. (RD)

Kristal Cinta

Ia membuang muka, lagi. Saat kuceritakan hal yang menarik, setidaknya bagiku. Cerita menarik, yang baginya bukan apa-apa, telah kususun rapi dalam ingatanku, beberapa saat sebelumnya. Kalimat-kalimat yang keluar dari bibirku, adalah hasil perasan otakku, lalu sarinya kutuang dalam cawan istimewa.
Namun ia tak mau menadahnya, dan membiarkan sari pati itu tumpah di dekat tapak kakinya. Aku bersimpuh di dekatnya, menjilat cairan itu agar kembali lagi ke dalam tubuhku.
"Apa yang kau jilat?" tanyamu dengan muka membeku. Sesaat aku terperangah, tak mengerti dengan apa yang kau tanyakan. Sekaligus tak mengerti dengan ketidakmengertianmu.
Kuberanjak menjauh, memecahkan kristal cinta, hingga meluber dalam derasnya air mata.(RD)