Sunday 30 January 2011

Jangan Biarkan Nila Setitik, Rusak Susu Sebelanga

Dengan segenap rasa takjub, Mita menikmati alunan merdu suara Rina, kakak sepupunya. Tak henti-hentinya Mita mengamati setiap gerakan gemulai tubuh dan kedua tangan Rina saat memamerkan kemampuan olah vokalnya di hadapan undangan yang hadir. Dalam acara ulang tahun Rina yang diadakan di rumahnya itu, tak ada yang lebih menarik perhatian Mita selain suara merdu kakak sepupunya.

Setelah acara selesai digelar, Mita mencari celah waktu untuk dapat berbincang sejenak dengan Rina. Bukan perbincangan biasa seperti yang kerap mereka lakukan, karena topik yang ingin Mita bicarakan ini tak boleh ada orang lain yang tahu. Mita anaknya pemalu dan tertutup sekali.

“Kak Rina, boleh aku tanya sesuatu?” Mita mendekati kakaknya saat tak ada orang di sekeliling mereka. Anggota keluarga yang lain sedang berkumpul di teras rumah, jadi hanya ada mereka berdua saat ini di kamar Rina.

“Tanya apa Mit? Tumben pake suara pelan,” jawab Rina dengan senyum menggoda. Mita pun mendekat dan duduk di samping Rina di atas pembaringan. Ada rasa malu dan ragu-ragu saat hendak menanyakan sesuatu, seolah niat itu timbul tenggelam setelah berhadapan dengan kakak sepupunya itu. Mita tak ingin ditertawakan setelah menyampaikan apa yang ada di benaknya, karena selama ini Rina sering menggoda dirinya dan masih menganggapnya sebagai anak ingusan.

“Mmm…begini Kan Rin, gimana sih caranya biar bisa punya suara merdu seperti kakak?” akhirnya Mita memberanikan diri mengungkapkan tanya yang selama ini membelenggu dirinya.

Rina tak segera merespon, ia hanya diam saja seolah tak percaya dengan apa yang ditanyakan adik sepupunya baru saja. Mita semakin heran dengan sikap mematung yang dibuatnya. Tiba-tiba tawa Rina meledak dengan suara keras, hingga mengagetkan siapa saja yang mendengarnya. Sontak Mita merasa seperti terpental beberapa meter ke belakang saat suara menggelegar itu membuat jantungnya hampir saja copot.

Mita pun tak angkat bicara, ia masih tercengang dengan sikap kakanya. Apa yang salah dengan pertanyaannya. Apa ada yang lucu dalam kalimatnya.

Menyadari bahwa adiknya kebingungan dengan tawanya, Rina pun segera mengakhiri rasa senangnya. Melihat muka Mita yang culun dan tak mengerti dengan apa yang membuat dirinya tertawa semakin membuatnya gemas, namun Rina tak ingin membuat adik sepupunya menangis.

“Mita…Mita…itu sudah bakat sejak lahir,” jelas Rina dengan intonasi suara yang dibuat setenang mungkin. Mendengar itu muka Mita kelihatan kaget dan kecewa. Seolah tak puas dengan jawaban Rina, Mita terdiam sambil mengernyitkan dahi seolah masih tak mengerti dengan jawaban Rina bahwa itu sudah bakat sejak lahir.

“Jadi tidak bisa dipelajari tuh Kak Rin? Bakat turunan maksudnya?” tanya Mita masih tak mengerti.

“Yaa… kira-kira seperti itulah. Kenapa Mit?”

“Mita ingin jadi penyanyi kak,” jawab Mita datar dan dengan suara pelan.

Mendengar itu spontan tawa Rina menggelegar untuk kedua kalinya. Mita semakin putus asa dibuatnya. Ia segera berlalu meninggalkan Rina yang masih terpingkal-pingkal dengan pernyataannya baru saja. Pernyataan yang paling jujur yang pernah ia akui di hadapan orang lain selain dirinya sendiri. Kini, Mita merasa sangat malu dan menyesal telah menceritakan obsesi terpendam itu pada orang lain.

Hari demi hari Mita lalui dengan tanpa ada semangat. Keceriaan yang selalu ia rasakan saat mendengarkan dan melantunkan lagu-lagu favoritnya kini tak lagi ada. Rasa putus asa telah mematahkan semangatnya. Seolah dunia berhenti berputar.

Saat Mita duduk lemah terkulai di pojok kamarnya, air matanya meleleh. Ia menangis sesenggukan. Tak ada suara yang keluar, hanya isak tangis yang membuat dadanya terasa sesak. Tiba-tiba seperti ada suara entah darimana datangnya, yang mengatakan bahwa itu semua tidak benar. Semua masalah pasti ada jalan keluar. Mendadak Mita merasa yakin bahwa semua itu bisa diusahakan dan dipelajari. Seperti ada bisikan dalam benaknya bahwa apa yang dikatakan kakak sepupunya itu bohong belaka. Mita merasa ada spirit yang kembali mengalir dalam aliran darahnya. Tangisnya pun berhenti. Hatinya menjadi tenang kembali, lalu segera ia mengusap air mata dari kedua mata dan pipinya.

Hari-hari berikutnya Mita lalui dengan perjuangan keras. Setiap hari ia berlatih menyanyi dan menyanyi. Hingga suatu ketika Mita memberanikan diri mengikuti lomba menyanyi di sekolahnya. Tak disangka, lomba pertama yang ia ikuti dapat memberikan keyakinan pada diri Mita, bahwa segala sesuatu pasti bisa diusahakan. Mita berhasil mendapatkan juara kedua.

Hikmah atau pelajaran yang dapat dipetik adalah, dalam berkarya jangan biarkan sekelumit cercaan atau kata-kata menyakitkan menghalangi kita untuk terus berkarya. Sebaliknya, jadikan cambuk agar kita dapat membuktikan kualitas dan kesungguhan kita. Orang yang sukses selalu harus menapaki tangga dari bawah sebelumnya. Tidak mengapa rasa sakit itu ada, namun tetap harus fokus untuk terus berkarya. Jangan biarkan nila setitik, rusak susu sebelanga. Viva forever…

Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan Cermin Berhikmah di BlogCamp

Sunday 16 January 2011

Manis Gulaku

cangkir kopiImage by dump9x via Flickr

Sudah berapa banyak butir-butir gula melewati kerongkonganku. Telah berapa kwintal gula berkontribusi dalam proses penggemukan tubuhku. Sudah semanis apa ia menyemarakkan hari-hariku kala pahit getir melintas dalam batinku.

Lalu kutuang kau dalam larutan teh kesukaanku. Menghangatkan lambungku, dan membuatku lupa sejenak akan penatku. Manismu semanis rasa yang selalu ingin kurasa. Semakin manis semakin hilanglah gelisah di diriku.

Saat kuseduh dirimu bertemankan secawan teh, sudah tak sabar ingin menuangmu merasuk sampai tulang rusukku.

Enhanced by Zemanta

Saturday 8 January 2011

Tebing Terjal

Kulayangkan pandang saat tubuh ini terbaring. Masih dengan kantuk yang samarkan penglihatanku. Kufokuskan bayangan yang belum jelas itu. Ada sebentuk wajah mungil di hadapanku. Perlahan mendekat kemudian menjauh. Seperti sebuah senyuman tersungging dari bibirnya. Kabut kembali menyelimuti pandanganku. Kekedipkan berkali-kali mata ini lalu kufokuskan kembali pandanganku. Wajah itu telah berubah menjadi sekepal tangan yang siap menonjok mukaku. Tangan siapa ini. Akupun tak sadarkan diri.

Aku merayap di atas tanah yang penuh dengan bongkahan batu. Lalu pandanganku tertuju pada sebongkah batu besar berwarna coklat. Samar-samar terlihat dari jauh batu itu diselimuti kabut dingin. Aku mendekat. Ternyata sebuah tebing terjal berdiri dengan gagahnya di hadapanku. Tak ada jalan lain, aku harus mendaki. Kutapakkan satu demi satu kakiku dengan susah payah. Semakin lama aku semakin tinggi dan hampir mencapai puncak. Tebing itu terasa semakin terjal. Semakin berat kaki ini menapak. Ngeri membayangkan diri ini terjatuh.

Hawa terasa semakin dingin menusuk tulang. Aku tak tahan lagi. Ingin segera mengakhiri petualangan ini. Tebing yang sedang kudaki membalikkan tubuhku hingga aku terjungkal. Tebing itu berubah menjadi ombak besar, yang mendorong tubuhku melayang di udara. Saat aku berada di puncak ketinggian, ombak itu berubah menjadi air bah. Aku terbenam di dalam arusnya.

Enhanced by Zemanta

Friday 7 January 2011

Dampak Sinetron

Sinetron berdurasi 5 jam telah mematikan sendi2 kehidupan. Sinetron yang telah mengubah segalanya termasuk tingkah laku ibu2 rumah tangga. Kebiasaan yang saat ini telah menjadi trend yang ditiru oleh ibu2 lainnya. Setiap jam 7 malam tepat para ibu telah bertengger di sofa masing2 untuk dapat menikmati acara hiburan ini tanpa beranjak sedikitpun dari layar kaca televisi sampai dengan pukul 12 tengah malam, bahkan hanya untuk kepentingan ke kamar kecilpun harus dengan terburu2 karena tak ingin tertinggal sedikitpun setiap tayangannya. Apalagi acara ini telah dikurangi jeda iklannya agar penontonnya lebih betah dan tak perlu menunggu lama untuk dapat menyaksikan kelanjutannya.

Betapa sinetron telah menjadi candu yang kurang positif bagi setiap anggota keluarga, apalagi anak2. Para ibu yang setia di depan televisi selama berjam2 menjadi lalai akan kewajibannya untuk menemani anak2nya belajar di rumah. Bahkan si anak terbawa dengan kebiasaan ibunya, sama2 asyik menonton sinetron dan melupakan kewajiban belajar. Yang lebih tragis lagi, si bapak juga ikut tertular virus sinetron ini.

Menonton acara hiburan sebenarnya diperlukan untuk mengurangi kepenatan akibat aktifitas sehari2 yang monoton, namun tentu ada batasnya. Acara sinetron berdurasi 5 jam ini benar2 telah mematikan aktifitas lainnya yang jauh lebih penting.

Monday 3 January 2011

Belajar Disiplin

Membiasakan diri untuk disiplin dalam segala hal memang berat, apalagi jika kebiasaan menunda2 pekerjaan telah mendarah daging. Tunggu apa lagi sekarang? Segera lakukan saja. Semakin menunda maka semakin merugilah kamu, karena waktu yang kau miliki semakin menipis hingga kau akan kekurangan waktu. Saat kau merasa waktumu semakin sempit, pikiranmu semakin kalut. Hingga kau berubah menjadi seorang yang sensitif. Secepat kilat kau berusaha mengejar ketertinggalan waktu, hingga kau ledakkan emosi pada setiap apa dan siapa yang melintas.

Tengok saja apa yang tengah dialami si Buyung. Ia terbiasa menunda2 tugas dari dosen, hingga menjelang dead line ia harus lembur semalaman. Kamar ditutup rapat, tak boleh ada yang berisik. Bahkan saat bik iyem mengetuk pintu kamar untuk menawarkan makan malam pun dihardiknya.