Friday 23 May 2014

Saling Berbagi Ilmu dan Informasi

Pembodohan manusia bisa dengan cara membuat jawaban yang tidak semestinya pada sebuah pertanyaan. Alasannya bisa berbagai faktor : untuk mengelabui, khawatir diungguli atau malas bicara. Kalau perlakuan seperti ini diterapkan pada seorang anak, bisa jadi di kemudian hari timbul rasa tidak percaya pada pembuat statement palsu, dan tentu saja berkurangnya rasa hormat pada sosok yang dulu selalu dipercayai dan ditiru tingkah lakunya. Jika diterapkan pada pasangan tentu saja akan berkurang rasa percaya satu sama lain, yang berujung pada beralihnya kepercayaan pada orang lain.

Kejujuran dalam memberikan jawaban atas pertanyaan berbobot maupun tidak berbobot, apalagi disertai kesabaran dan rasa maklum atas ketidaktahuan lawan bicara, akan menimbulkan apresiasi sehingga berpengaruh pada hubungan satu sama lain, entah itu dalam lingkungan keluarga maupun instansi.

Seseorang yang merasa memiliki derajat lebih tinggi sehingga meremehkan orang lain dengan cara memberikan jawaban yang tidak mengena, malas bicara dan enggan menjelaskan hingga berlarut-larut akan membuat kerdil orang lain. Orang yang bertanya sedang berada dalam kondisi haus akan informasi. Jika orang yang ditanya memiliki informasi yang dibutuhkan namun pada saat ditanya enggan menjelaskan, sama saja dengan pelit ilmu. Jangan sampai kita menjadi pelit informasi dengan orang-orang yang kita sayangi. Dalam sebuah keluarga sang anak haus informasi pada orang tuanya, istri yang stay at home mendapatkan informasi di luar melalui suami, suami yang bekerja di luar membutuhkan informasi melalui istri tentang perkembangan si anak, dll. Semua saling bergantung, tidak boleh ada yang merasa lebih tinggi dan sok pintar satu sama lain. Roda dunia berputar, suatu saat kelak ayah bunda akan berusia lanjut dan stay at home, si anak akan menjadi dewasa dan lebih banyak di luar rumah untuk sekolah atau bekerja. Kalau ada yang menyembunyikan ilmu saat ditanya, sungguh telah melewatkan satu perbuatan baik.
(Rd)

Wednesday 21 May 2014

Butuh Proses

Butuh waktu, butuh proses, kesan itulah yang saya tangkap dari hasil sekejab saja menikmati hasil goresan tangan anak saya. Sebuah gambar apik yang terlahir dari jemari mungil seorang anak berusia 5 tahun.
Awalnya saya menggerutu melihat beberapa lembar kertas gambar yang berserakan. Seperti biasa saya bertanya, "Icha, kenapa buku gambarnya disobek-sobek gitu..?" Sambil memperhatikan ekspresi wajahnya yang tiba-tiba ditekuk, saya membereskan dan menata kertas-kertas itu. Ada rasa kesal melihat kamar yang awalnya tertata rapi mendadak dipenuhi kertas-kertas berserakan. Saya pun berlalu keluar kamar meninggalkan putri saya yang kembali asyik dengan buku gambarnya.


Beberapa saat kemudian setelah pekerjaan di dapur selesai, kembali saya menengok Icha yang ternyata telah terlelap di samping buku gambarnya. Crayon dan pensil warna ada di mana-mana tak beraturan. Setelah membetulkan posisi tidur Icha di atas bantal, lalu saya bereskan semuanya. Terlihat sebuah gambar yang baru saja diselesaikannya, cantik sekali. Saya tersenyum dan kagum melihatnya. Ada sebuah mobil merah yang sedang berhenti di dekat lampu merah. Sempurna sekali hasil gambarnya bagi anak seusianya. Imajinasi yang luar biasa. Tanpa mencontoh gambar manapun ia berhasil menuangkan obyek yang pernah dilihatnya di dunia nyata menjadi obyek di atas kertas gambar. Ada beberapa kertas yang berisi sketsa gambar yang tak jadi, lalu saya perhatikan. Ternyata ia berusaha menggambar mobil itu dengan sekuat tenaga... ada proses dan tahapan hingga ia berhasil menggambarnya...tanpa bantuan siapapun, tanpa ada contoh objek yang ada di hadapannya. Dengan hanya berbekal imajinasi dalam otaknya dan walau telah beberapa kali gagal, lahirlah sebuah mahakarya tak ternilai bagi bundanya.


Saya terhenyak, tersadar walaupun sebenarnya sudah tahu bahwa semua butuh proses dan waktu. Sebagai seorang anak kecil, tentu hal tersebut menjadi perjuangan besar dan tak akan menambah rasa percaya diri jika sebagai orang tua saya tak memberi apresiasi. Sebagai seorang dewasa yang tidak sepenuhnya memahami isi hati si kecil, hanya kesabaran yang perlu diperjuangkan dalam menghadapi tingkah lakunya. Ah, saya tertampar dengan kalimat sendiri. Tidak mengapa, tulisan ini menjadi semacam media introspeksi bagi diri sendiri. Pasti ada tujuan yang tak pernah kita tahu dari seorang anak berkaitan dengan sikapnya yang tidak kita mengerti.


Sekian dulu saya akhiri. Tidak usah terlalu banyak saya menuliskan ini karena khawatir berkesan menggurui, saya masih belajar menjadi orang tua. Teruskan semangatmu anakku. Tetap berjuang.