Thursday 12 June 2014

Si Kecil Suka Pisang

"Indiiii...!!" Mataku melotot saat menemui kulit pisang di lantai dekat tempat tidur. Dengan samar kulihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Perbuatan siapa lagi kalau bukan Indi, si kecil yang gemar makan pisang. Teriakanku tidak bersahut, rupanya ia tidak mendengarku. Maka kedua kakiku berjinjit untuk melihat apa yang sedang ia lakukan. Kulangkahkan kaki menuju dapur, dari jauh kulihat pintu lemari es yang terbuka lebar, sementara sebagian kepalanya menyembul sedikit keluar.

Foto : jangan buang kulit pisang sembarangan (dok.pribadi)

Aku menggeleng dengan perasaan gemas, si Indi, gadis kecilku yang berusia 3 tahun mengulang aksinya dengan berburu pisang. Entah sejak pukul berapa ia bangun pagi lebih dulu, melihat banyak kulit pisang yang berserakan. Tidak hanya di dekat tempat tidur , tapi juga di tiap sudut dapur.

Sesaat setelah aku memerhatikan seluruh isi dapur, tak kusadari bahwa si kecil sudah meringis sambil mendongakkan kepala menatapku, dengan kedua belah tangan memegang pisang beserta kulitnya.

"Indi suka pisang, Bundaaa..." kata Indi dengan ciri khas suaranya yang lembut.

"Boleh, Sayang. Tapi kulitnya jangan lupa dibuang di tempat sampah yaa..." sahutku sambil mengelus-ngelus rambutnya.
(Rd)

Foto : Bundanya cuma disisain 1 pisang aja..*hiks (dok.pribadi)

Dulu dan Sekarang

Dulu, ketika masih remaja, saya mengira bahwa seorang yang keren itu yang berani memberontak dan mendemo guru-guru secara gotong-royong, berteriak lantang di depan wali kelas sebagai dalih menyuarakan hati nurani, lalu merusak fasilitas sekolah dengan membanting meja kursi dan mencorat-coret tembok kelas sebagai bentuk protes.

Dulu, ketika masih SMP-SMA saya mengira bahwa merokok itu keren, ditambah dengan mabuk-mabukan. Cowok dengan rambut gondrong dan nyabu tampak sebagai sesuatu yang wah banget. Walaupun tahu bahwa itu salah, entah mengapa tampak keren di mata saya. Kini, perokok sama sekali tidak keren! Merokok sebagai cerminan bahwa orang tersebut tidak berilmu, karena sudah mengetahui bahaya dari merokok namun tetap tidak bisa mengontrol dirinya. Sebagian berdalih hanya untuk menemani relasi, dalih merasa sungkan karena yang lain merokok sedang dirinya tidak. Menurut saya itu orang tidak keren banget. Justru menunjukkan ciri bahwa dia tidak punya pendirian, ciri bahwa dia pribadi yang tidak tegas.

Dulu, saya anggap keren ketika teman dekat sudah punya gandengan. Cipika-cipiki dengan lawan jenis, boncengan motor dengan sang pacar sambil peluk-pelukan, dan duh malunya pernah mergoki teman sedang kissing di pojok kelas dengan pacarnya setelah kelas sudah kosong. Yang ada sekarang adalah bersyukur, tidak sampai terjerembab dalam gaya hidup yang keliru *jadi khawatir dengan masa depan anak-anak saya.

Dulu, saya mengira orang yang menunjukkan amarahnya itu orang yang keren. Dulu saya mengira bahwa orang yang meledak-ledak itu pemberani, seperti ksatria yang ada di film-film, namun ternyata bukan. Orang yang keren adalah orang yang mampu mengendalikan emosi, mampu menahan kata-kata kotor yang menyeruak dari dalam dirinya.

Menahan diri menunjukkan kedewasaan. Mengendalikan emosi menandakan kemenangan melawan hawa nafsu. Semoga saya bisa menjadi lebih baik. Tulisan ini sekaligus sebagai reminder untuk diri sendiri.
(Rd)

Foto : dokumentasi pribadi
Ngopi dulu aah...

Wednesday 11 June 2014

Gerah

Gerah, itu yang kurasakan saat duduk di kursi salon ini. Ruangan yang tak begitu besar, namun ongkos service-nya cukup terjangkau dengan isi kantongku. Siang yang terik mungkin membuat orang enggan keluar rumah, hingga membuat salon yang biasanya sesak karena tarifnya yang murah meriah, menjadi sepi.

"Bisa dibantu, Mba?"tanya si pemilik salon

"Mau potong rambut, Mba," jawabku sambil melepas jilbab.

Tak ada cowok memang, namun perasaanku tetap awas mengingat beberapa minggu lalu dengan santainya seorang cowok masuk ke dalam salon tanpa ada aba-aba *memangnya salon babe gue? Ya ga salah juga, memang ini salon nerima customer cowok dan cewek. Tapi jarang banget ada cowok, makanya aku memilih salon ini. Dan memang benar, beberapa saat kemudian nongol sosok lelaki.

"Permisi, minta tanda tangan," teriaknya beberapa langkah dari pintu. Memangnya ada artis di sini? Aku celingak-celinguk. Untung tuh orang cuma di luar, dengan sigap asisten salon keluar menanganinya. Ternyata itu si tukang laundry lagi ngantar barang.

Sudah mulai bisa tenang sekarang, rambutku sudah mulai disemprot pakai air, dijepit sana sini biar gampang motongnya, dan.. mak jleb dengan cepatnya rambutku jatuh di sela-sela kakiku. Wih, ngebut amat motongnya si mba ini. Padahal ga ada antrian panjang di tempat ini, dan akulah satu-satunya customer saat ini.

"Dok! Dok! Dok!" Suara pintu digedok mengagetkanku. Tampak bayangan besar dari balik pintu kaca, pasti orangnya juga besar. Lagian ngapain juga pintunya digedok, semua orang bebas keluar masuk salon ini. Di pintu kan sudah terpampang tulisan "push" dan "pull", kenapa ga langsung dibuka aja.

"Ya bentar, mba!" tiba-tiba si mba asisten lari tergesa-gesa untuk membukakan pintu. "Loh kenapa dikunci mba?" tanyaku. Ternyata pintunya sengaja dikunci dari dalam.

"Iya mba, kalau ga gitu pintunya terbuka sendiri kalau kena angin," jawabnya

Oh gitu toh, belum selesai mataku puas memerhatikan pintu yang rusak tuh orang sudah main seruduk aja. Perempuan berperawakan tambun dan gendut mendorong pintu dengan kasar. Langkahnya mengguncangkan jiwaku. Ia mendaratkan pantatnya persis di kursi sebelahku, hingga aku bisa merasakan angin yang timbul saat ia mendaratkan tubuhnya.

Orang itu melihat ke arahku sejenak, lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Suara berisik saat tas plastik dibuka sedikit menggangguku. Beberapa saat kemudia ia mengeluarkan sebatang paha ayam goreng dan memasukkan ke dalam mulutnya. Aku tak menoleh sedikitpun, hanya memerhatikan dari cermin di depanku.

"Kriuk, kriuk, krikuk," suaranya sukses menarik perhatianku, dan hebatnya ia tak memerhatikan sekitar, kedua bola matanya fokus pada paha di hadapannya.

"Mba, mau potong rambut juga?" tanya perempuan yang sedang memotong rambutku, padanya.

Ia berhenti mengunyah sejenak, lalu mengangguk tanpa mengeluarkan suara, untuk kemudian menyantap kembali sebatang paha ayam berikutnya. Kali ini aromanya sampai ke dalam lubang hidungku. Amis banget.

Hah, aku langsung lemas, bertambah gerah. Berharap segera bisa meninggalkan tempat ini.
(Rd)


Foto: dokumentasi pribadi. Kalau lagi gerah trus lihat foto ini, rasanya adem kembali. Air dari sumber mata air

Tuesday 10 June 2014

Mengendap-endap

Ia mengendap keluar, takut ada yang mendengar. Pintu itu berhasil dibuka setelah lebih dari 5 menit ia mencoba. Si gadis kecil berjalan dengan kaki menjinjit, mulutnya meringis.

Wanti, gadis kecil berusia 5 tahun sedang dihukum Bunda karena terlalu banyak menonton televisi. Ia tidak boleh keluar dari kamar sampai film kartun kesayangannya berakhir. Sore itu pukul 5, televisi yang biasanya menyala di ruang keluarga tampak mati. Suasana rumah begitu sunyi. Rumah yang biasanya hingar bingar oleh suara televisi mendadak sepi. Hanya ada Ayah yang baru pulang dari kantor sedang duduk di atas sofa sambil menikmati secangkir teh hangat. Sementara koran sore ada di pangkuannya.

Wanti bersembunyi di balik almari besar, sehingga dari sana ia bisa melihat ayahnya. Ingin rasanya Wanti berlari dan mendarat di pangkuan sang Ayah, namun ia segera ingat bahwa dirinya sedang dihukum. Nyalinya langsung menciut dan tubuhnya kian mengerucut ketika duduk dengan posisi jongkok, tanpa suara.

Beberapa saat kemudian Ayah terlihat mengendus sesuatu, seolah-olah mencium bau tidak sedap. Hidung Ayah bergerak-gerak sambil menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, lalu berjalan mondar-mandir. Ia berbalik lagi dan akhirnya membungkuk di dekat meja seolah-olah sedang tercium bau tidak sedap di bawah meja. Wanti memerhatikan dari balik almari. Kedua bola matanya ikut mencari sesuatu yang kira-kira sedang dicari ayahnya. Beberapa saat kemudian Ayah berjalan menuju ke almari besar, Wanti terperanjat takut akan ketahuan. Hidung Ayah semakin cepat bergerak seperti gerakan hidung seekor marmut. Apa mungkin bau yang tidak sedap itu ada di dekat almari ini, pikir Wanti.

"Waaaa...!!" Teriak Ayah hingga mengagetkan Wanti. Kedua tangannya bersiap-siap seolah akan menangkapnya. Gadis kecil itu berlari dan keduanya tampak berkejar-kejaran.Suasana rumah mendadak menjadi gaduh.

"Ayaaah..!! Kenapa Ayah?" Wanti berteriak geli, sekaligus malu karena tempat persembunyiannya telah ditemukan.

Belum sempat rasa kagetnya hilang, tubuh gadis kecil itu lalu diiangkat ayahnya ke atas, lalu ditimang-timang dengan gemas. "Ternyata bau asemnya dari sini," kata Ayah sambil memeluk Wanti gemas. Sekonyong-konyong Wanti tertawa menyadari dirinya belum mandi.

Beberapa saat kemudian Bunda keluar dari dapur dengan membawa sepiring pisang goreng yang masih hangat, ia tertawa geli melihat tingkah laku keduanya.

"Ayo sini Wanti, Ayah, kita makan pisang goreng dulu. Sore itu mereka habiskan dengan bersenda gurau. Tanpa televisi yang menyala, kebersamaan mereka lebih terasa.
(Rd)

Foto : dokumentasi pribadi

Monday 9 June 2014

Sebuah Ketulusan

Kejadian tempo hari masih belum bisa kulupakan. Bagaimana tidak, ketegaran hati seorang gadis cilik mampu membuatku tersadar. Betapa berharganya arti sebuah ketulusan.

Kulihat ia sedang mengamen di dekat lampu merah. Usianya mungkin 6 atau 7 tahun. Berbalut baju lusuh berwarna putih pudar ia berdiri di bawah terik mentari. Setelah lampu merah menyala ia turun ke jalan dengan berbekal alat musik sederhana. Koin-koin dironce sedemikian rupa hingga menimbulkan suara cukup berisik, menurutku. Didekatinya sebuah sedan hitam, lalu kaca mobilnya terbuka perlahan. Aku memperhatikan dari dalam taxi. Tidak terlalu dekat, jadi tak cukup jelas wajah pengamen maupun pengemudi itu. Dalam sekejab tangan gadis cilik itu menyodorkan sebuah kaleng bekas untuk menadah receh yang ia kira akan meluncur dari tapak tangan si pengemudi.

"Plookkk!!" Suara yang timbul akibat sebuah botol plastik bekas air minum mineral mendarat di jidatnya. Cukup keras hingga setelah mengenai kepala bocah itu, benda itu terpelanting cukup jauh ke atas. Aku tertegun, kaget bukan kepalang namun tak mampu berkata-kata. Dalam sekejab sedan itu berlalu meninggalkannya. Bunyi klakson bersahutan sebagai isyarat bahwa jalanan harus segera dikosongkan dari pejalan kaki termasuk pengamen cilik itu.

Aku yang mengamati dari dalam taxi, ingin rasanya mengumpat. Apalah maksudnya menghantamkan sebuah botol plastik pada kepala seorang bocah kecil. Taxi yang kutumpangi turut berlalu. Aku masih memandang sosok gadis yang semakin menjauh. Masih bisa kutangkap geraknya saat ia berlari turun kembali ke jalan untuk mengambil botol plastik itu dan segera membuangnya ke dalam tong sampah. Mungkin ia tidak mau jalanan tempat ia mengais rejeki menjadi kotor.

Pikiranku masih terpatri di sana. Begitu aku takjub melihat kesabaran hati seorang bocah cilik, dan sebuah ketulusan untuk melakukan kebaikan walaupun ia sendiri telah teraniaya. Subhanallah.(Rd)

Saturday 7 June 2014

Renungan

Ada siang dan malam. Ada matahari dan bulan. Ada suka dan duka. Bukankah semua serba berkebalikan. Bisakah saya lari dari salah satunya. Bisakah saya memilih untuk menghindari sedikit atau semuanya. Sekali-kali adalah tidak. Takdir Allah yang berbicara. Roda dunia berputar, sekarang di atas suatu saat akan di bawah. Sekarang berteriak bangga besok bisa menangis sedih. Hari ini bisa berkata kasar, esok hari sudah tak mampu berkata-kata lagi.

Maka, masihkah ada hati untuk melukai dan meneriaki. Sekarang masih bisa menulis status di facebook, esok sudah ada foto kuburan kita diupload.

Astaghfirullah.

Monday 2 June 2014

Kelinci Putih

Kelinci itu berwarna putih bersih, tergambar rapi di atas cover sebuah majalah anak-anak. Di dekat salah satu telingannya yang tegak berdiri, terselip sebuah pita merah berbentuk kupu-kupu. Mulutnya tersenyum dan kedua matanya berbentuk seperti bulan sabit melengkung ke atas, simbol bahwa mata tersebut sedang memancarkan keceriaan. Semuanya serba menyenangkan.

Namun di sana, di sudut sebuah halaman rumah, seekor kelinci putih dengan bulu yang kotor sedang tergeletak lemah. Ia terkurung dalam sebuah kandang kecil yang terbuat dari kawat. Tak ada yang peduli padanya, hingga tubuhnya terkulai lemah. Panas yang terik dan dingin malam yang menghujam, ditambah hujan deras yang mencekam, semakin menyudutkan keberadaannya.

Tak tama lagi, tinggal menunggu waktu. Tak lama lagi malaikat maut akan segera menghampirinya. Sakaratul maut.
(Rd)