Thursday 27 November 2014

Konsentrasi

Kadar pemahaman seseorang tidaklah sama. Dalam membaca buku misalnya, ada yang sekali teguk sudah menyelesaikan beberapa lembar halaman. Ia sudah mengerti isi bacaan dalam beberapa detik. Namun ada pula yang sampai berulang-ulang membaca baru bisa menangkap inti bacaan.

Konsentrasi dalam beraktivitas sangat menentukan. Bagi yang terbiasa melamun dan membuang waktu tanpa aktivitas biasanya merasa kesulitan dalam memulai konsentrasi. Hanya butuh niat dan tekad sebenarnya. Lalu bersedia mengorbankan energi untuk menyerap ilmu dalam bacaan. Biasanya kita akan menarik nafas panjang setelah beberapa menit tenggelam dalam aktivitas membaca. Tiba-tiba perut terasa lapar dan tenggorokan kering. Itulah tanda bahwa energy telah meluap. Sangat disayangkan bila tidak ada esensi apapun yang bisa ditangkap setelah waktu berlari dan energi menguap.

Konsentrasi, menjadi awal pembuka yang menentukan apakah aktivitas yang kita lakukan membuahkah hasil sesuai yang diharapkan atau tidak. Untuk mendapatkan sesuatu diperlukan pengorbanan. Tidaklah mungkin hanya dengan berleha-leha maka kita bisa memahami isi buku tertentu. Hanya dengan mengedipkan mata lalu pemahaman itu bisa masuk ke dalam otak.

Haha. Saya jadi teringat masa-masa dulu waktu masih anak-anak. Ada teman yang menyarankan agar menuliskan rumus yang kita ingin hafal ke dalam secarik kertas. Lalu tenggelamkan kertas tersebut ke dalam segelas air, dan saya disuruh meminum airnya. Apa yang terjadi? Tentu saja saya masih tidak bisa mengingat rumus itu.

(Rd)

Tuesday 21 October 2014

Bun, Ini Foto Siapa

Beberapa foto itupun tercecer, setelah sebuah album foto lawas terjatuh dari rak buku. Gadis kecil 3 tahun itu sedang ingin mengobrak-abrik buku-buku yang sudah lama tak tersentuh. Rak buku nomer 3 dari bawah berhasil menarik perhatiannya, tingginya hampir sama dengan dirinya. Ia mengambil beberapa buku, lalu menarik semuanya hingga berjatuhan.

"Bun, ini foto siapa?" tanyanya sambil memungut beberapa lembar foto. Aku yang masih tenggelam dalam dunia fiksi hanya menoleh sejenak lalu membenamkankan muka dalam halaman buku. Kulirik sejenak apa yang tercecer itu, rasa ingin tahuku memuncak. Kuhampiri sang bocah.

Aku terhenyak sesaat, saat foto-foto itu tercecer. Tubuhku membungkuk perlahan sambil berusaha menangkap setiap wajah dalam lembaran usang itu. Tak membutuhkan waktu lama, aku segera mengingatnya. Kedua ujung bibirku terangkat, senyumku mengembang. Seketika memori ini terlempar jauh ke masa 17 tahun silam, saat dimana usiaku tepat 17 tahun.

"Bunda..! Ini siapaaa...?!" Si kecil masih memegang erat beberapa sisa foto, dan aku segera bangkit dari lamunan. Ia menyodorkan beberapa wajah familiar, yang selalu membuat jantung ini berdegup kencang.

Kembali ingatan itu membayang, saat dimana aku dengan susah payah menyorotkan kamera kodak langsung dari arena konser. Saat dimana aku terjepit di antara lautan ABG yang sedang mabuk kepayang. Remaja-remaja yang sedang terhipnotis dengan ketampanan dan kharisma 5 lelaki tertampan dari Irlandia. Wow, tak peduli tubuhku tergencet dan bermandikan keringat, kamera itu kuarahkan pada mereka, dengan kedua tangan terangkat dan kaki menjinjit.

Berulang kali tubuh ini limbung terdorong ke depan dan belakang. Bahkan berulangkali terbawa arus ke sana kemari sampai tergencet dan sesak nafas, kedua tangan ini masih mempertahankan sebuah kamera jadul hanya untuk mengabadikan keberadaan mereka di atas panggung.

Kedua mataku mengembun, jeda, tanpa suara.

"Bun...bun...ini foto siapa?"

(Rd)


foto dari sini

Saturday 11 October 2014

Aksi Membuat Kue

Bangun tidur pagi tadi sudah terpikir untuk baking. Meneruskan baking sebelumnya yang menurut saya masih jauh dari sempurna. Memang tidak ada yang sempurna, namun setidaknya mendekati penampakan seperti yang ada di majalah-majalah itu loh...hihi. Kalau soal rasa sih dijamin sudah top markotop, karena saya menggunakan bahan-bahan yang berkualitas. Tapi soal bentuk, masih perlu banyak belajar.

Kali ini saya akan membuat kue sus. Dulu, pertama kali membuat kue ini hasilnya sangat mengecewakan, tidak mengembang sempurna alias bantat. Kecewa? Tidak juga... karena saya sudah memperkirakan hal tersebut sedikit banyak pasti akan saya alami. Soal rasa, hemm...tetap enyaaakk.. Ludes juga kue bantat dimakan anak-anak hihi...

Berikutnya mencoba lagi, hasilnya sukses masih bantat haha... Makin penasaran aja dibuatnya sampai tidak bisa tidur 7 hari 7 malam, halaah... Berikutnya lagi sudah bisa mengembang walau tanpa pengembang buatan. Horeeee! Tapi kuenya lengket di loyang, tidak bisa diambil, alamaaaak... jadinya bolong-bolong deh waktu diangkat. *nangis bombay

Berikutnya, untuk yang kesekian kali saya mulai berdamai dengan keadaan. Ada satu resep jitu yang mempengaruhi proses baking, harus dilakukan dengan hati riang! Wow... jadi kalau lagi bad mood atau capek setengah hidup, mending jauh-jauh deh dari oven.. *hush. Ternyata oh ternyata, berhasil saudara-saudari... Ini ada beberapa foto yang sempat saya abadikan dari pawon RD.



(Rd)

Thursday 9 October 2014

Antara Perolehan dan Usaha

Memang ya, sepanjang pengamatan saya tentang perolehan dan seberapa besar usaha untuk mendapatkan sesuatu berbanding lurus. Sebesar apa yang kita usahakan maka akan sebesar itu pula hasil yang kita dapatkan. Jika ada cara-cara curang untuk mendapatkan hasil yang besar dengan usaha yang kecil mungkin pernah ada, namun tidak akan bertahan lama.

Gambar dari sini

Lihat saja orang-orang yang mendapatkan pekerjaan tidak dengan hasil usahanya sendiri, ada unsur nepotisme atau kecurangan lain untuk mendapatkan sesuatu. Kehidupan orang-orang seperti ini biasanya dipenuhi konflik. Cepat atau lambat pekerjaan tersebut akan hilang dari kehidupannya, entah karena tidak adanya ketenangan hidup, hingga membuatnya tidak betah lalu akhirnya mundur. Bisa juga adanya permasalahan intern dengan rekan kerja atau konflik dalam rumah tangga yang disebabkan tidak barokahnya pendapatan untuk menghidupi keluarga, dsb. Saya percaya ada suatu ketidakberkahan dalam rejeki yang ia hasilkan dari sesuatu hal yang didapatkan tidak sebagaimana mestinya.

Manusia diberikan rejeki oleh Tuhan sesuai dengan jerih payahnya. Jadi segala apa yang tidak sesuai dengan besarnya usaha dan ternyata bisa diperoleh dengan cara curang bukanlah sesuatu yang patut untuk dipertahankan.

(Rd)

Thursday 25 September 2014

Hati-hati dengan Keselamatan Anak Kita

Baru beberapa minggu lalu saya mendapat broadcast BBM yang isinya tentang penculikan anak di kota lain. Pagi ini sewaktu mengantar anak sekolah, wali murid sedang heboh memperbincangkan usaha penculikan anak yang terjadi di lingkungan sekolah. Beruntung anak tersebut selamat karena meronta dan berontak, dan si penculik berhasil kabur ke arah jalanan yang sepi.

foto dari sini

Kalau sudah begitu, siaga 1 siap dijalankan, bukan siaga 2 apalagi 3. Langsung saja tancap gas dengan memberikan perlindungan pada buah hati. Yang perlu diperhatikan oleh orang tua atau siapa saja yang diberi amanah untuk mengantar jemput anak adalah :
• jangan biarkan anak yang masih kecil berangkat dan pulang sendirian terutama yang duduk di kelas PAUD
• jangan sampai telat menjemput begitu jam pelajaran sekolah berakhir
• beri pengertian pada anak agar tidak mudah percaya dengan bujuk rayu orang yang tak dikenal. Biasanya penculik membujuk korban dengan permen atau makanan kesukaan anak-anak. Yakinkan anak untuk tidak dengan mudah menerima ajakan orang asing untuk diantar pulang ke rumah
• bila ada kemungkinan telat menjemput dikarenakan suatu hal lebih baik menelepon pihak sekolah atau bapak/ibu guru agar menjaganya sejenak sampai orang tua tiba di sekolah

Sudah banyak kejadian di sekitar kita, entah itu berita abal-abal ataupun memang benar pernah terjadi. Namun tidak ada salahnya bersikap preventif, sebab mencegah jauh lebih baik daripada menyesal di kemudian hati, hati-hati dengan keselamatan anak kita.

(Rd)

Thursday 11 September 2014

Tegar atau Cengeng

Karakter orang itu bermacam-macam. Ada yang tegar, ceria, gigih dalam berusaha, selalu terlihat bersemangat dan percaya diri, dan ada juga yang sebaliknya, sering tampak murung, mudah bersedih, mudah nangis, mudah marah, mudah meledak-ledak dsb.

Tergantung dari bagaimana cara seseorang memandang suatu persoalan, apakah ia menilai sesuatu sebagai masalah, sebagai tantangan atau hal sepele. Dari cara memandang sesuatu tersebut maka tindakan atau reaksi yang timbul dari masing-masing orang juga beragam. Ada yang merasa tersinggung, ada yang marah, ada yang mencoba untuk bersabar, ada yang berusaha bertahan, ada yang nangis, ada yang bahkan yang justru tertawa dan bersikap santai. Semua tergantung dari kemampuan diri menghadapi permasalahan, dan kemampuan tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh pengalaman di masa lalu. Pengalaman di masa lalu bisa terbentuk dari pola asuh orang tua, cara guru mendidik, maupun reaksi teman atau keluarga yang lain.

Seseorang yang hidup dalam suasana tertekan, seperti misalnya orang tua yang terlalu memaksakan kehendak dan menerapkan pola asuh yang keras biasanya akan memunculkan pribadi yang keras pada anak. Reaksi tiap anggota keluarga ketika dihadapkan pada suatu masalah akan turut berpengaruh satu sama lain. Orang tua yang mudah marah dan mengucapkan kata kasar tentu sedikit banyak akan ditiru oleh anak, hingga seiring berjalannya waktu si anak akan menjadi pribadi pemberontak dan mudah sekali mengucapkan kata-kata kotor, demikian sebaliknya. Orang tua yang selalu bersabar dalam menghadapi persoalan akan menjadi contoh yang baik. Demikian kira-kira teori dan fenomena yang sudah kita ketahui bersama.


Sebagian orang begitu mudahnya mengumbar emosi di depan umum, entah itu berupa amarah atau tangisan. Bicara tentang tangisan, bagaimana bisa seseorang menjadi begitu mudah menangis di depan umum. Biasanya yang mudah menangis adalah wanita ketimbang pria. Ada sebagian wanita yang kerap kali menitikkan air mata setiap kali bersinggungan dengan hal yang peka baginya, namun menjadi hal yang biasa saja bagi sebagian wanita yang lain.

Kemampuan wanita dalam menghadapi permasalahan pastilah berbeda tergantung pengalaman di masa lalu seperti yang dibahas sebelumnya, dalam hal ini adalah faktor eksternal. Ada juga pengaruh kepribadian wanita itu sendiri, dalam hal ini adalah faktor internal. Wanita yang mudah sekali menangis di depan orang lain sekilas tampak rapuh dan cengeng. Ada yang memandang kasihan sehingga muncul naluri untuk menolong.

Di sisi lain ada sebagian orang yang memanfaatkan air mata untuk menarik simpati lawan jenis. Beberapa wanita memanfaatkan air mata sebagai senjata untuk memenangkan hati lelaki, dan kebetulan sebagian lelaki ada yang tidak tahan melihat air mata wanita meleleh hingga berusaha untuk meredakannya dengan berbagai cara. Tentu saja tidak semua wanita seperti ini, hanya segelintir orang saja.

Wanita yang tegar juga banyak. Biasanya golongan wanita yang seperti ini memiliki cara khusus dalam melampiaskan emosi. Selain dari faktor-faktor luar yang mempengaruhi pribadi seseorang, juga ada faktor internal yang dibentuk hanya oleh pribadi tersebut. Tekad dan semangat yang kuat atau lemah sangat berpengaruh. Misalnya ada kejadian yang membuat terpuruk pada dirinya, ia memilih untuk tidak bersedih terlalu lama. Ia memiliki tekad yang kuat untuk bangkit dan tidak mau terbawa suasana. Kegigihan dalam memperkecil masalah hingga ia mampu meneruskan kehidupan inilah yang kadarnya tidak sama pada masing-masing orang. Ada yang memilih kalah dan menyerah pada keadaan, ada yang sudah berusaha namun setengah-setengah yang pada akhirnya akan menyerah juga, namun ada yang tak mau berhenti berusaha dalam jangka waktu tertentu atau bahkan lebih lama dari yang orang lain mampu. Usaha yang terus menerus inilah yang pada akhirnya akan menggiring seseorang menuju kemenangan.

Beberapa wanita memilih untuk tidak mengumbar tangisan di depan orang lain. Mereka hanya diam dan meluapkan apa yang dirasa dengan cara lain, tentu saja selain menangis di depan orang lain misalnya menulis, curhat dan berdo’a. Menulis, biasanya menjadi cara mujarab untuk melegakan perasaan. Berbicara dengan orang yang bisa dipercaya layaknya sahabat sehingga beban terasa lebih ringan. Mengadu pada Tuhan, menjadi cara paling ampuh daripada berkeluh kesah pada orang lain.

Bukan berarti menangis di hadapan orang lain itu salah. Justru menangis bisa menjadi obat mujarab dari pelampiasan emosi, dan menangis bisa menyehatkan. Wanita yang tegar itu bukannya tidak pernah menangis. Mereka pasti ingin menangis, hanya saja memilih cara tersendiri untuk meluapkan kesedihan hingga tangisannya tidak diketahui orang lain. Tergantung bagaimana pribadi seseorang tersebut, mau bersikap yang bagaimana dalam menghadapi persoalan. Ingin menjadi tegar atau sebaliknya, kembali pada pribadi masing-masing.

(Rd)


Sunday 31 August 2014

Waktu dan Rutinitas

Rasanya baru beberapa saat yang lalu saya melihat jam dinding. Ternyata sekarang sudah 1 jam berlalu. Tak terasa, sungguh waktu berlalu begitu cepat. Ia tak mau menunggu tanpa peduli kita diam atau bergerak. Sejak beberapa hari yang lalu saya berusaha menghargai waktu. Karena sesuatu hal, saya memutuskan untuk lebih mendisiplinkan diri dalam hal apa saja. Rasanya sungguh luar biasa, ngos-ngosan seperti lari maraton. Ada beberapa target yg saya buat sendiri agar selesai dalam kurun waktu tertentu setiap harinya. Berat, sungguh berat bagi saya membuat peraturan yang harus saya patuhi sendiri.

Dulu, saya pikir orang yang sudah berusia kepala 3 sudah tua, sudah jadi om atau tante. Sekarang saya telah berusia kepala 3 namun rasanya masih belum dewasa. Masih hanyak kekurangan yang perlu dibenahi dan belum pantas rasanya menyandang predikat yang dituakan di kalangan adik atau saudara lain yang lebih muda. Ini berarti apakah saya yang kurang tahu diri karena menganggap diri belum tua.

Baru kemaren rasanya saya masuk sekolah taman kanak-kanak, lalu SD-SMP-SMU, sekarang saya telah berumah tangga dengan dua orang anak yang masih kecil-kecil. Saya pernah merasa jenuh dan capek sekolah, berharap agar sekolah segera usai. Waktu di SMU, saya mengalami kejenuhan yang luar biasa dengan sekolah. Masa-masa kelulusan sangat saya nantikan. Setelah lulus rasanya bahagia sekali, namun itu hanya sementara karena kebahagiaan setelah lulus SMU harus berganti dengan kekhawatiran baru akan masa-masa kuliah di universitas.

Setelah lulus kuliah, yang itupun harus dengan sekuat tenaga agar bisa lulus akhirnya saya bisa bernafas lega. Masa-masa setelah lulus membuat saya tenang karena sudah menyandang gelar sarjana. Namun itu pun hanya sementara, karena jikalau terlalu lama belum mendapatkan pekerjaan akan ada beban mental dengan predikat sebagai pengangguran. Maka saya pun segera bangkit untuk melamar pekerjaan ke sana sini.

Saya pun mendapatkan pekerjaan. Dalam hal pekerjaan pun ada tanggung jawab dan pressure yang menghiasi hari-hari saya. Pikiran dan tenaga dipacu untuk mendapatkan hasil terbaik. Ingin istirahat tapi tidak bisa seenaknya karena justru jam kerja saya ditambah. Tiap hari harus pulang malam untuk lembur.

Ketika akan menikah saya harus resign, dan kini rutinitas saya berganti dengan kesibukan sebagai ibu rumah tangga. Rutinitas yang berbeda namun tetap saja penuh dengan tanggung jawab mengemban segala amanah yang harus dilakukan karena selain menjalankan tugas sebagai istri juga merangkap sebagai ibu dari anak-anak, yang artinya harus mengasuh dan mendidik generasi berikutnya dengan sungguh-sungguh dan penuh kasih sayang.



Lalu kapankah waktu istirahat itu tiba? Pandangan saya langsung tertuju pada langit-langit sambil memutar-mutar kedua bola mata. Adakah hari libur bagi seorang ibu rumah tangga? Saya jawab sendiri ya, tidak akan pernah ada waktu istirahat. Untuk mendapatkan kesendirian penuh atau yang biasa dikenal sebagai "me time" pun sangat terbatas. Kita tidak akan pernah berhenti menghadapi apapun. Lepas dari satu urusan, akan ada urusan lain yang menanti. Begitu seterusnya. Setelah kehidupan berakhir, akan ada alam akhirat yang kekal dan abadi.

Kesimpulannya, selama hidup kita harus bergerak. Bekerja... dan bekerja, memanfaatkan waktu sebaik mungkin, menghadapi apapun dengan sekuat-kuatnya, tak boleh berhenti dan tak boleh menyerah.

(Rd)

Saturday 30 August 2014

Pensil dalam Kotak

Ada dua penggaris, yang satu pendek dan yang satu panjang. Berulang kali ia berusaha memasukkan penggaris panjang ke dalam kotak plastik bertingkat, yang menurut saya lebih cocok sebagai tempat penyimpanan benda-benda kecil semacam perhiasan atau pernak-pernik lain. Namun si kakak berusaha memasukkan seluruh pensil warna dan penggaris yang biasa digunakan untuk menggambar ke dalamnya. Kotak itupun ia comot dari tantenya yang baru pulang membeli perlengkapan plastik beberapa saat yang lalu.

“Bunda, gimana kalau penggarisnya ini dipotong aja biar bisa masuk?” tanya Icha sambil menyodorkan penggaris yang tidak juga mau masuk. Saya langsung melongo, lalu cekikikan mendengar idenya. Sekarang giliran Icha yang melongo melihat saya tertawa.

Setelah beberapa menit gagal memasukkan semua bendanya, pensil-pensil warnapun ia posisikan sedemikian rupa, ada yang melintang dan ada yang lurus. Belum bisa masuk semua, lalu kotak itupun digoyang-goyang dan dikocok-kocok dengan maksud agar pensil-pensilnya berubah posisi.


Bahkan saya sempat melihat ia berusaha mematahkan ujung pensil terlebih dulu agar bisa muat seluruhnya dari ujung sampai pangkal. Hehehe… mungkin yang ada dalam pikirannya saat itu, bagaimana agar semua barangnya bisa tersimpan rapi dalam kotak plastik baru, tanpa memikirkan bagaimana nasib benda-benda itu sendiri apakah masih utuh atau tidak.

Hmm, lama juga prosesnya kurang lebih setengah jam setelah itu ia menyerah dan tepar. Saya sengaja tidak membantunya agar kemampuan motoriknya terasah, sekaligus melatihnya dalam kemampuan menyelesaikan masalah. Saya perhatikan ia kelelahan dan merebahkan diri di kasur sambil memandang kotak itu. Sadar bahwa saya sedang memerhatikannya, ia pun bertanya, “Bunda, gimana kalau kotak ini dijadikan aquarium aja? Kalau Icha mau kasih makan ikannya, tinggal dibuka aja lacinya.” Lalu ia pun berlalu.

*menatap nanar kotak perhiasan yang kini kosong tanpa ada yang memedulikan

(Rd)

Tuesday 19 August 2014

Tangan di Atas Lebih Baik daripada Tangan di Bawah

Saya semakin mengerti petuah yang selalu terngiang-ngiang, bahwa semakin banyak memberi semakin banyak menerima dan sebaliknya semakin banyak meminta Allah akan semakin menghinakan nasib kita. Awalnya saya abaikan karena sepertinya kalimat tersebut sudah berulangkali saya dengar atau baca dari berbagai sumber, namun menjadi semakin mengerti setelah berusaha menerapkan dengan sepenuh hati.

Berawal dari fenomena dan ketidakmengertian saya, bahwa masih banyak kemiskinan yang selalu identik dengan kemalasan. Kalau biasanya anak-anak dari keluarga miskin rata-rata berprestasi, hal tersebut sudah menjadi sebuah kewajaran dikarenakan tempaan hidup yang membentuk karakter kuat seorang manusia.

Namun ini sebaliknya, kemiskinan justru dijadikan alasan atas ketidakmauan berusaha. Mereka yang berasal dari golongan ini selalu memiliki alasan bahwa ketidakmampuan orang tua dalam membiayai sekolah adalah faktor utama, orang tua juga tidak mampu membiayai skill yang ingin diraih, dan berprinsip bahwa kesuksesan hanya bisa diraih dengan uang. Bukankah Allah akan memberikan ujian pada tiap hambanya entah itu berupa sakit, takut atau miskin. Dan terlebih lagi, Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum tersebut berusaha mengubahnya.

Ada sebuah keluarga miskin yang sepanjang pengamatan saya, waktu kesehariannya dihabiskan hanya dengan melamun, tidur dan bermalas-malasan. Mereka benar-benar nol aktivitas. Secara tidak sengaja saya melihat dan mengamati sendiri bagaimana keseharian mereka, tidak ada aktivitas berarti yang menurut saya bisa mendorong semangat ataupun meningkatan kemampuan dalam hal tertentu. Mereka pasif, dan hampir sebagian besar perbincangan digunakan sebagai sarana untuk mengeluh.

Sepanjang hari yang saya habiskan bersama mereka, yang keluar dari bibir mereka hanyalah keluhan dan keluhan, dan selalu memandang rumput tetangga lebih hijau daripada miliknya. Tidak ada pernyataan optimis maupun hal baik yang bisa ditangkap dari setiap kalimat yang mereka lontarkan. Hidup mereka tidak bersemangat, tidak ada gairah untuk berjuang dan semacamnya. Dalam sekejab saya bisa menangkap bahwa penyebab keterpurukan mereka adalah sikap yang keliru dalam memandang kehidupan.

Namun saya bukan berniat menghakimi, menceramahi atau merasa benar. Saya hanya merasa ada yang mengganjal di hati, sesuatu yang sedikit keliru dalam cara pandang, dan mungkin jika bisa diluruskan insyaAllah bisa memberi sedikit perubahan.

Saya pernah membaca, bahwa jika seseorang kerap kali meminta-minta di usia mudanya maka Allah akan menghinakan dirinya dengan terus meminta-minta sampai di usia tua. Bukankah tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Menunaikan shadaqah tidak perlu menunggu kaya, apapun yang bisa kau berikan lekaslah berikan. Kira-kira seperti itu yang kemaren saya baca.

(Rd)

Friday 15 August 2014

Masa Lalu

Aku terdiam, hingga lupa untuk mengedipkan bola mata. Kupandangi sosok wanita yang sedang menangis itu beberapa saat setelah terlepas dari dekapan seorang lelaki, di area sebuah stasiun. Mereka sempat berpelukan sesaat lalu sang lelaki membisikkan sesuatu yang membuat si wanita menangis. Adegan dramatis dan romatis itu sempat menarik perhatian beberapa orang yang melintas. Sepertinya mereka tidak lagi memerhatikan orang-orang sekitar, seakan berada dalam dunianya sendiri.

Si wanita berlinang air mata, sedang si lelaki berusaha menenangkannya. Tebakanku mungkin tidak salah, mereka adalah sepasang kekasih yang hendak dipisahkan oleh jarak. Hal yang biasa terjadi namun menjadi tidak biasa ketika adegan sebuah perpisahan yang romantis menjadi pemandangan nyata dan bisa dilihat banyak orang. Aku tertegun.

“Apa yang sedang Anda lihat, Bu?” tanya temanku. Aku hampir lupa bahwa aku sedang bersama rekan kerjaku. Kami sedang menjemput salah seorang rekanan yang datang dari luar kota. Aku masih tertegun dan kelihatan seperti orang melamun walaupun kedua sejoli yang sempat menjadi perhatian tersebut sudah tak nampak lagi. Aku hanya tersenyum. “Saya jadi ingat masa lalu, Bu,” jawabku. Teman kerjaku itu nampak tak paham, namun sepertinya ia tak ingin mempertanyakan lebih jauh lagi karena beberapa saat kemudian kereta yang kami nantikan telah datang.

Kamipun tiba di kantor sedikit terlambat karena harus menjamu tamu Boss untuk makan siang di luar. Baru saja akan melanjutkan pekerjaan di depan laptop, tiba-tiba dari ruang sebelah terdengar suara orang yang sedang berdebat. Pak Boss dan tamu yang baru kami jemput di stasiun tadi sedang berdebat. Mereka membuat kami semua yang berada di ruang kerja sebelah panik. Perseteruan mereka tidak dapat kami dengar jelas. Namun meski samar, kata terakhir yang keras terdengar adalah, “B*ngs*t kau!”

Jantungku berdetak cepat, tak habis pikir mengapa bisa mereka berseteru hebat. Tiba-tiba terdengar suara pintu yang dibanting. Tamu rekanan tadi keluar dari ruangan Si Boss sambil setengah berlari menenteng koper yang lumayan berat. Mukanya merah padam, keringatnya bercucuran dan jas yang dipakainya tampak kusut. Tanpa menoleh pada siapapun ia berlalu meninggalkan kantor kami.

Astaghfirullah. Aku tak dapat berbuat apa-apa. Lemas rasanya raga ini, otakku tak mampu berpikir jernih alias shock. Beberapa teman kerjaku tampak berbisik-bisik tanpa ada yang berani masuk atau menanyakan ke dalam ruangan si Boss, atau sekedar melihat keadaannya saat ini. Sedang aku duduk terpaku di depan laptop yang sedang menyala. Ingatanku mengembara dan berkelana ke beberapa tahun silam. Masa lalu, masa lalu dan masa lalu.

Dulu, aku juga begitu, sosok wanita yang tak mampu mengendalikan emosi, selalu berteriak lantang dengan kata-kata kotor di kala murka. Astaghfirullah, sangat merasa berdosa dengan masa lalu walaupun itu sudah bertahun-tahun yang lalu.

Semoga saja aku bisa terus berbenah, bisa terus memperbaiki segala sikap dan lisanku, terutama dalam menghadapi situasi yang menyulut emosi. Amin.

(Rd)
*seperti yang pernah dituturkan oleh salah seorang sahabat

Wednesday 13 August 2014

Manusia Ajaib

Terkadang memilih diam itu lebih baik, saat kita tahu sedang berhadapan dengan "manusia ajaib". Apalagi yang dijadikan bahan perdebatan masih seputar urusan dapur, dan manusia ajaib tersebut adalah makhluk yang bernama lelaki hehehe...

Kebanyakan wanita tidak mau dipersalahkan dalam urusan yang masih bernaung di sekitar dapur. Urusan kadar bumbu masak, api kompor yang kebesaran atau kekecilan, dan cara memasak yang benar adalah sepenuhnya urusan wanita sebagai koki rumah, walaupun tidak semua perempuan bisa memasak, dan tidak semua lelaki gemar memasak... *nah loh. Yang saya maksud di sini jika si perempuan yang biasanya memasak di rumah dan memegang kendali dalam urusan kunci pintu dapur. Lelaki boleh ikut campur sebatas menyumbangkan tenaga, di luar itu haram hukumnya, hehehe galak banget...*pintu dapurnya selalu dikunci

Mama sedang mengiris buah pepaya, lalu papa mencomot salah satu irisan pepaya sambil nyeletuk, "Ada pepaya yang lebih enak, namanya pepaya thailand."

Mama tersenyum mendengarnya, "Ini yang dimakan papa ya pepaya thailand."

"Bukaaaan, thailand bukan model begini," timpal papa sambil mengernyitkan dahi, masih sambil menyunyah potongan pepaya dan mengamati teksturnya di hadapanku.

"Ini jenis thailand papaa... yg lokal sudah jarang ada di pasar," Mama menahan emosi.
"Bukaaaaan... kamu belum tahu sich, Ma," Papa berlalu masih sambil menyunyah pepaya. Mama terdiam sambil menahan air mata yang hendak menyembul keluar.
"Huuuaaaaaaa Papaaa....!!!"

(Rd)

Tuesday 12 August 2014

Suroboyo Carnival Night Market (SCNM)

Dari awal persiapan menuju ke wahana mainan baru di Surabaya ini hati sudah setengah, maksudnya setengah hati :-) Rencana berangkat pukul 4 sore jadi molor sehabis magrib. Maklum, moment tersebut bertepatan dengan libur hari raya idul fitri, jadi walaupun libur tapi jadwal masih padat.

Suroboyo Carnival Night Market (SCNM) ini soft opening pada tanggal 28 Juli 2014 bertepatan dengan Idul Fitri, mulai pukul 16.00 sampai 24.00 setiap harinya. Jadi masih ada waktu untuk istirahat sejenak di rumah setelah seharian berkeliling ke rumah saudara. Tidak seperti waktu mau berangkat ke mall yang rata-rata tutup pada pukul 21.00, harus setengah tergesa-gesa agar bisa sampai lebih awal, kalau di Suroboyo Carnival waktunya lebih panjang :-)

Badan yang lagi tidak bersahabat membuat semangat semakin redup. Ditambah anak-anak yang masih pulas tidur siang, membuat emaknya jadi tak tega membangunkan. Ayahnya juga masih terlelap. Cukup alasan sebenarnya untuk membatalkan rencana sore ini. Jam dinding yang berdetak, "tik tok tik tok" tak memberi kesempatan raga ini untuk sedikit bermalas-malasan lebih lama lagi.

Sehabis sholat magrib kami semua sudah siap. Jadi terbayang-bayang bagaimana ramainya suasana di sana, karena sehari sebelumnya sempat menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana antrian kendaraan mobil dan sepeda motor menuju tempat parkir, padahal kemaren itu langit masih terang, masih pukul 4 sore. Apalagi sekarang, selepas maghrib antrian pasti sudah lebih panjang.



Beberapa meter sebelum menuju lokasi, sudah tepat sesuai prediksi. Antri bok.. tempat parkir sudah full. Kami dialihkan menuju tempat parkir alternatif yang letaknya lebih jauh, harus putar balik menuju ke seberang jalan. Lahan di samping Stie Mahardhika menjadi tempat parkir kedua. Saya tidak tahu apakah itu hanya sementara atau seterusnya, karena saya perhatikan proses pengerjaan SCNM ada yang belum selesai, sepertinya sedang membangun trotoar dan tempat parkir lagi di sekitar lokasi.

Setelah memarkir mobil, kami masih harus berjalan menuju ke pinggir jalan tepatnya di depan Stie Mahardhika untuk menunggu bus, karena di sana disediakan bus penjemput menuju ke tempat carnival. Akses jalan di tempat parkir samping kampus masih gelap jadi kami harus lebih berhati-hati menuntun para krucil menuju ke tempat pemberhentian bus. Di dalam bus, semua berdesakan banyak yang tidak kebagian tempat duduk. Tapi tak mengapa toh hanya jarak dekat. Saya perhatikan anak-anak cukup menikmati suasana, jadi saya tidak resah.


Turun dari bus perjuangan masih panjang. Untuk membeli tiket masuk saja harus berdesakan. Wow, fantastis memang. Besar sekali antusiasme masyarakat untuk mengunjugi tempat ini. Tidak hanya masyarakat Surabaya, namun juga yang berasal dari luar kota, ini jika diamati dari banyaknya plat kendaraan selain L (Surabaya).

Tiket masuk per orang Rp.20.000 untuk yang biasa, tiket yang terusan Rp.150.000 per orang. Malam itu tiap-tiap wahana punya antrian panjang seperti ular. Bisa-bisa waktu habis hanya untuk antri di satu wahana saja hehehe. Maklum, wahana permainan ini masih baru, soft openingnya bertepatan dengan libur hari raya jadi langsung diserbu masyarakat. Oh ya, harga tiket masuk tiap-tiap wahana permainan berkisar Rp.15.000-25.000. Sedangkan total keseluruhan ada 50 wahana permainan. Ada juga tiket khusus Kids Kingdom bandrolnya 75rb.



Untuk berjalanpun harus melalui perjuangan. Berdesak-desakan membuat atasan yang saya pakai jadi basah oleh keringat. Ditambah dengan kaki lecet karena sepatu. Padahal sepatu yang saya pakai flat banget, nyesel juga kenapa tidak memakai sandal santai saja.

Tempatnya bagus, sangat menarik. Sayang sekali tidak semuanya bisa saya abadikan karena untuk berjalan saja masih berdesakan hehehe. Maybe next time :-)
(Rd)






Thursday 7 August 2014

Tahun Ajaran Baru

Takut, nangis dan berteriak histeris, pemandangan yang kerap kali ditemui di masa-masa tahun ajaran baru, khususnya dalam tingkatan PAUD. Hal wajar dan tak perlu diperparah dengan paksaan orang tua agar anaknya mau masuk kelas bersama dengan teman-teman dan guru baru. Bagi beberapa anak hal tersebut merupakan momok, karena ia diharuskan tunduk dalam peraturan dan lingkungan baru nan asing.


Kemampuan beradaptasi tiap anak berbeda, bagi anak yang terbiasa tinggal dalam lingkungan keluarga yang friendly, humoris dan meminimalisir unsur pemaksaan dalam pola asuh, akan lebih mudah beradaptasi. Adanya pemaksaan dan kekerasan dalam mendidik anak berdampak pada pengendapan emosi dalam jiwa anak yang tidak terluapkan. Anak-anak usia dini cenderung mengendapkan rasa takut akibat pemaksaan yg dilakukan orang dewasa, hingga kapasitasnya semakin bertambah tanpa disadari para orang tua. Pengedapan emosi yang tidak terluapkan dari diri si anak akan meledak pada saat mencapai titik tertentu, karena dalam kondisi tersebut si anak sudah tidak mampu membendungnya.


Anak-anak yang terbiasa bebas berekspresi dan bebas menentukan sikap dalam lingkungan keluarganya, biasanya cenderung survive. Bahkan mereka bisa menikmati masa-masa peralihan tersebut. Bertemu dengan teman-teman baru, guru baru maupun kelas baru bisa menjadi kesenangan tersendiri.


Perhatian saya tertuju pada seorang anak yang menangis karena tidak mau masuk kelas. Awalnya sang bunda hanya menghela nafas sambil sesekali membujuknya. Beberapa saat kemudian si anak tetap tidak mau masuk kelas dan memilih bergelanyut di pundak sang bunda. Namun sang bunda sudah habis kesabaran dan memaksa si anak dengan mendorongnya masuk ke dalam kelas. Spontan si anak kembali menangis, kali ini dengan tangisan yang lebih keras disertai amukan. Sang bunda tidak mau kalah, ia membentak anaknya sambil sesekali mencubit kakinya.


Pemandangan yang menyesakkan, memilukan dan menimbulkan rasa iba. Rasa iba terhadap si anak yang tidak mendapatkan arahan dan bantuan dari orang dewasa dalam menghadapi dunia baru, sebaliknya rasa takutnya bertambah dengan hadirnya pemaksaan dari orang tua.


Ironis, keesokan harinya kejadian yang sama kembali terulang. Kali ini si anak sudah kehabisan tenaga. Ia memilih pasrah dengan kemauan orang-orang dewasa untuk masuk kelas, namun memilih duduk sendirian di pojok kelas tepat di balik pintu. Ia berada dalam dunianya sendiri karena tak mengerti untuk apa ia berada dalam kelas tersebut.


Sudahlah bunda, biarlah ia beradaptasi dengan caranya sendiri. Atau jika ada yg berbaik hati untuk menunjukkan bagaimana caranya, mungkin ia akan lebih rileks. Tidak ada yang menuntun bagaimana cara bersikap, yang saya perhatikan ia harus begini dan begitu tanpa tahu untuk apa ia melakukannya.


Anak membutuhkan komunikasi yang tak terputus dari orang tuanya. Anak membutuhkan pengetahuan dan pembelajaran yang tidak memaksa namun mengena. Anak membutuhkan rasa ikhlas agar ia mau belajar, untuk itu orang tua perlu menuntun dan menjelaskan untuk apa kita perlu begini dan begitu. Anak bukan robot yang bisa diperlakukan semau kita, ia punya perasaan dan ingin disayang. Mungkin ia belum siap, atau membutuhkan waktu untuk beradaptasi lebih lama dibanding yang lain. Jangan samakan mereka.
(Rd)

Thursday 12 June 2014

Si Kecil Suka Pisang

"Indiiii...!!" Mataku melotot saat menemui kulit pisang di lantai dekat tempat tidur. Dengan samar kulihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Perbuatan siapa lagi kalau bukan Indi, si kecil yang gemar makan pisang. Teriakanku tidak bersahut, rupanya ia tidak mendengarku. Maka kedua kakiku berjinjit untuk melihat apa yang sedang ia lakukan. Kulangkahkan kaki menuju dapur, dari jauh kulihat pintu lemari es yang terbuka lebar, sementara sebagian kepalanya menyembul sedikit keluar.

Foto : jangan buang kulit pisang sembarangan (dok.pribadi)

Aku menggeleng dengan perasaan gemas, si Indi, gadis kecilku yang berusia 3 tahun mengulang aksinya dengan berburu pisang. Entah sejak pukul berapa ia bangun pagi lebih dulu, melihat banyak kulit pisang yang berserakan. Tidak hanya di dekat tempat tidur , tapi juga di tiap sudut dapur.

Sesaat setelah aku memerhatikan seluruh isi dapur, tak kusadari bahwa si kecil sudah meringis sambil mendongakkan kepala menatapku, dengan kedua belah tangan memegang pisang beserta kulitnya.

"Indi suka pisang, Bundaaa..." kata Indi dengan ciri khas suaranya yang lembut.

"Boleh, Sayang. Tapi kulitnya jangan lupa dibuang di tempat sampah yaa..." sahutku sambil mengelus-ngelus rambutnya.
(Rd)

Foto : Bundanya cuma disisain 1 pisang aja..*hiks (dok.pribadi)

Dulu dan Sekarang

Dulu, ketika masih remaja, saya mengira bahwa seorang yang keren itu yang berani memberontak dan mendemo guru-guru secara gotong-royong, berteriak lantang di depan wali kelas sebagai dalih menyuarakan hati nurani, lalu merusak fasilitas sekolah dengan membanting meja kursi dan mencorat-coret tembok kelas sebagai bentuk protes.

Dulu, ketika masih SMP-SMA saya mengira bahwa merokok itu keren, ditambah dengan mabuk-mabukan. Cowok dengan rambut gondrong dan nyabu tampak sebagai sesuatu yang wah banget. Walaupun tahu bahwa itu salah, entah mengapa tampak keren di mata saya. Kini, perokok sama sekali tidak keren! Merokok sebagai cerminan bahwa orang tersebut tidak berilmu, karena sudah mengetahui bahaya dari merokok namun tetap tidak bisa mengontrol dirinya. Sebagian berdalih hanya untuk menemani relasi, dalih merasa sungkan karena yang lain merokok sedang dirinya tidak. Menurut saya itu orang tidak keren banget. Justru menunjukkan ciri bahwa dia tidak punya pendirian, ciri bahwa dia pribadi yang tidak tegas.

Dulu, saya anggap keren ketika teman dekat sudah punya gandengan. Cipika-cipiki dengan lawan jenis, boncengan motor dengan sang pacar sambil peluk-pelukan, dan duh malunya pernah mergoki teman sedang kissing di pojok kelas dengan pacarnya setelah kelas sudah kosong. Yang ada sekarang adalah bersyukur, tidak sampai terjerembab dalam gaya hidup yang keliru *jadi khawatir dengan masa depan anak-anak saya.

Dulu, saya mengira orang yang menunjukkan amarahnya itu orang yang keren. Dulu saya mengira bahwa orang yang meledak-ledak itu pemberani, seperti ksatria yang ada di film-film, namun ternyata bukan. Orang yang keren adalah orang yang mampu mengendalikan emosi, mampu menahan kata-kata kotor yang menyeruak dari dalam dirinya.

Menahan diri menunjukkan kedewasaan. Mengendalikan emosi menandakan kemenangan melawan hawa nafsu. Semoga saya bisa menjadi lebih baik. Tulisan ini sekaligus sebagai reminder untuk diri sendiri.
(Rd)

Foto : dokumentasi pribadi
Ngopi dulu aah...

Wednesday 11 June 2014

Gerah

Gerah, itu yang kurasakan saat duduk di kursi salon ini. Ruangan yang tak begitu besar, namun ongkos service-nya cukup terjangkau dengan isi kantongku. Siang yang terik mungkin membuat orang enggan keluar rumah, hingga membuat salon yang biasanya sesak karena tarifnya yang murah meriah, menjadi sepi.

"Bisa dibantu, Mba?"tanya si pemilik salon

"Mau potong rambut, Mba," jawabku sambil melepas jilbab.

Tak ada cowok memang, namun perasaanku tetap awas mengingat beberapa minggu lalu dengan santainya seorang cowok masuk ke dalam salon tanpa ada aba-aba *memangnya salon babe gue? Ya ga salah juga, memang ini salon nerima customer cowok dan cewek. Tapi jarang banget ada cowok, makanya aku memilih salon ini. Dan memang benar, beberapa saat kemudian nongol sosok lelaki.

"Permisi, minta tanda tangan," teriaknya beberapa langkah dari pintu. Memangnya ada artis di sini? Aku celingak-celinguk. Untung tuh orang cuma di luar, dengan sigap asisten salon keluar menanganinya. Ternyata itu si tukang laundry lagi ngantar barang.

Sudah mulai bisa tenang sekarang, rambutku sudah mulai disemprot pakai air, dijepit sana sini biar gampang motongnya, dan.. mak jleb dengan cepatnya rambutku jatuh di sela-sela kakiku. Wih, ngebut amat motongnya si mba ini. Padahal ga ada antrian panjang di tempat ini, dan akulah satu-satunya customer saat ini.

"Dok! Dok! Dok!" Suara pintu digedok mengagetkanku. Tampak bayangan besar dari balik pintu kaca, pasti orangnya juga besar. Lagian ngapain juga pintunya digedok, semua orang bebas keluar masuk salon ini. Di pintu kan sudah terpampang tulisan "push" dan "pull", kenapa ga langsung dibuka aja.

"Ya bentar, mba!" tiba-tiba si mba asisten lari tergesa-gesa untuk membukakan pintu. "Loh kenapa dikunci mba?" tanyaku. Ternyata pintunya sengaja dikunci dari dalam.

"Iya mba, kalau ga gitu pintunya terbuka sendiri kalau kena angin," jawabnya

Oh gitu toh, belum selesai mataku puas memerhatikan pintu yang rusak tuh orang sudah main seruduk aja. Perempuan berperawakan tambun dan gendut mendorong pintu dengan kasar. Langkahnya mengguncangkan jiwaku. Ia mendaratkan pantatnya persis di kursi sebelahku, hingga aku bisa merasakan angin yang timbul saat ia mendaratkan tubuhnya.

Orang itu melihat ke arahku sejenak, lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Suara berisik saat tas plastik dibuka sedikit menggangguku. Beberapa saat kemudia ia mengeluarkan sebatang paha ayam goreng dan memasukkan ke dalam mulutnya. Aku tak menoleh sedikitpun, hanya memerhatikan dari cermin di depanku.

"Kriuk, kriuk, krikuk," suaranya sukses menarik perhatianku, dan hebatnya ia tak memerhatikan sekitar, kedua bola matanya fokus pada paha di hadapannya.

"Mba, mau potong rambut juga?" tanya perempuan yang sedang memotong rambutku, padanya.

Ia berhenti mengunyah sejenak, lalu mengangguk tanpa mengeluarkan suara, untuk kemudian menyantap kembali sebatang paha ayam berikutnya. Kali ini aromanya sampai ke dalam lubang hidungku. Amis banget.

Hah, aku langsung lemas, bertambah gerah. Berharap segera bisa meninggalkan tempat ini.
(Rd)


Foto: dokumentasi pribadi. Kalau lagi gerah trus lihat foto ini, rasanya adem kembali. Air dari sumber mata air

Tuesday 10 June 2014

Mengendap-endap

Ia mengendap keluar, takut ada yang mendengar. Pintu itu berhasil dibuka setelah lebih dari 5 menit ia mencoba. Si gadis kecil berjalan dengan kaki menjinjit, mulutnya meringis.

Wanti, gadis kecil berusia 5 tahun sedang dihukum Bunda karena terlalu banyak menonton televisi. Ia tidak boleh keluar dari kamar sampai film kartun kesayangannya berakhir. Sore itu pukul 5, televisi yang biasanya menyala di ruang keluarga tampak mati. Suasana rumah begitu sunyi. Rumah yang biasanya hingar bingar oleh suara televisi mendadak sepi. Hanya ada Ayah yang baru pulang dari kantor sedang duduk di atas sofa sambil menikmati secangkir teh hangat. Sementara koran sore ada di pangkuannya.

Wanti bersembunyi di balik almari besar, sehingga dari sana ia bisa melihat ayahnya. Ingin rasanya Wanti berlari dan mendarat di pangkuan sang Ayah, namun ia segera ingat bahwa dirinya sedang dihukum. Nyalinya langsung menciut dan tubuhnya kian mengerucut ketika duduk dengan posisi jongkok, tanpa suara.

Beberapa saat kemudian Ayah terlihat mengendus sesuatu, seolah-olah mencium bau tidak sedap. Hidung Ayah bergerak-gerak sambil menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, lalu berjalan mondar-mandir. Ia berbalik lagi dan akhirnya membungkuk di dekat meja seolah-olah sedang tercium bau tidak sedap di bawah meja. Wanti memerhatikan dari balik almari. Kedua bola matanya ikut mencari sesuatu yang kira-kira sedang dicari ayahnya. Beberapa saat kemudian Ayah berjalan menuju ke almari besar, Wanti terperanjat takut akan ketahuan. Hidung Ayah semakin cepat bergerak seperti gerakan hidung seekor marmut. Apa mungkin bau yang tidak sedap itu ada di dekat almari ini, pikir Wanti.

"Waaaa...!!" Teriak Ayah hingga mengagetkan Wanti. Kedua tangannya bersiap-siap seolah akan menangkapnya. Gadis kecil itu berlari dan keduanya tampak berkejar-kejaran.Suasana rumah mendadak menjadi gaduh.

"Ayaaah..!! Kenapa Ayah?" Wanti berteriak geli, sekaligus malu karena tempat persembunyiannya telah ditemukan.

Belum sempat rasa kagetnya hilang, tubuh gadis kecil itu lalu diiangkat ayahnya ke atas, lalu ditimang-timang dengan gemas. "Ternyata bau asemnya dari sini," kata Ayah sambil memeluk Wanti gemas. Sekonyong-konyong Wanti tertawa menyadari dirinya belum mandi.

Beberapa saat kemudian Bunda keluar dari dapur dengan membawa sepiring pisang goreng yang masih hangat, ia tertawa geli melihat tingkah laku keduanya.

"Ayo sini Wanti, Ayah, kita makan pisang goreng dulu. Sore itu mereka habiskan dengan bersenda gurau. Tanpa televisi yang menyala, kebersamaan mereka lebih terasa.
(Rd)

Foto : dokumentasi pribadi

Monday 9 June 2014

Sebuah Ketulusan

Kejadian tempo hari masih belum bisa kulupakan. Bagaimana tidak, ketegaran hati seorang gadis cilik mampu membuatku tersadar. Betapa berharganya arti sebuah ketulusan.

Kulihat ia sedang mengamen di dekat lampu merah. Usianya mungkin 6 atau 7 tahun. Berbalut baju lusuh berwarna putih pudar ia berdiri di bawah terik mentari. Setelah lampu merah menyala ia turun ke jalan dengan berbekal alat musik sederhana. Koin-koin dironce sedemikian rupa hingga menimbulkan suara cukup berisik, menurutku. Didekatinya sebuah sedan hitam, lalu kaca mobilnya terbuka perlahan. Aku memperhatikan dari dalam taxi. Tidak terlalu dekat, jadi tak cukup jelas wajah pengamen maupun pengemudi itu. Dalam sekejab tangan gadis cilik itu menyodorkan sebuah kaleng bekas untuk menadah receh yang ia kira akan meluncur dari tapak tangan si pengemudi.

"Plookkk!!" Suara yang timbul akibat sebuah botol plastik bekas air minum mineral mendarat di jidatnya. Cukup keras hingga setelah mengenai kepala bocah itu, benda itu terpelanting cukup jauh ke atas. Aku tertegun, kaget bukan kepalang namun tak mampu berkata-kata. Dalam sekejab sedan itu berlalu meninggalkannya. Bunyi klakson bersahutan sebagai isyarat bahwa jalanan harus segera dikosongkan dari pejalan kaki termasuk pengamen cilik itu.

Aku yang mengamati dari dalam taxi, ingin rasanya mengumpat. Apalah maksudnya menghantamkan sebuah botol plastik pada kepala seorang bocah kecil. Taxi yang kutumpangi turut berlalu. Aku masih memandang sosok gadis yang semakin menjauh. Masih bisa kutangkap geraknya saat ia berlari turun kembali ke jalan untuk mengambil botol plastik itu dan segera membuangnya ke dalam tong sampah. Mungkin ia tidak mau jalanan tempat ia mengais rejeki menjadi kotor.

Pikiranku masih terpatri di sana. Begitu aku takjub melihat kesabaran hati seorang bocah cilik, dan sebuah ketulusan untuk melakukan kebaikan walaupun ia sendiri telah teraniaya. Subhanallah.(Rd)

Saturday 7 June 2014

Renungan

Ada siang dan malam. Ada matahari dan bulan. Ada suka dan duka. Bukankah semua serba berkebalikan. Bisakah saya lari dari salah satunya. Bisakah saya memilih untuk menghindari sedikit atau semuanya. Sekali-kali adalah tidak. Takdir Allah yang berbicara. Roda dunia berputar, sekarang di atas suatu saat akan di bawah. Sekarang berteriak bangga besok bisa menangis sedih. Hari ini bisa berkata kasar, esok hari sudah tak mampu berkata-kata lagi.

Maka, masihkah ada hati untuk melukai dan meneriaki. Sekarang masih bisa menulis status di facebook, esok sudah ada foto kuburan kita diupload.

Astaghfirullah.

Monday 2 June 2014

Kelinci Putih

Kelinci itu berwarna putih bersih, tergambar rapi di atas cover sebuah majalah anak-anak. Di dekat salah satu telingannya yang tegak berdiri, terselip sebuah pita merah berbentuk kupu-kupu. Mulutnya tersenyum dan kedua matanya berbentuk seperti bulan sabit melengkung ke atas, simbol bahwa mata tersebut sedang memancarkan keceriaan. Semuanya serba menyenangkan.

Namun di sana, di sudut sebuah halaman rumah, seekor kelinci putih dengan bulu yang kotor sedang tergeletak lemah. Ia terkurung dalam sebuah kandang kecil yang terbuat dari kawat. Tak ada yang peduli padanya, hingga tubuhnya terkulai lemah. Panas yang terik dan dingin malam yang menghujam, ditambah hujan deras yang mencekam, semakin menyudutkan keberadaannya.

Tak tama lagi, tinggal menunggu waktu. Tak lama lagi malaikat maut akan segera menghampirinya. Sakaratul maut.
(Rd)

Friday 23 May 2014

Saling Berbagi Ilmu dan Informasi

Pembodohan manusia bisa dengan cara membuat jawaban yang tidak semestinya pada sebuah pertanyaan. Alasannya bisa berbagai faktor : untuk mengelabui, khawatir diungguli atau malas bicara. Kalau perlakuan seperti ini diterapkan pada seorang anak, bisa jadi di kemudian hari timbul rasa tidak percaya pada pembuat statement palsu, dan tentu saja berkurangnya rasa hormat pada sosok yang dulu selalu dipercayai dan ditiru tingkah lakunya. Jika diterapkan pada pasangan tentu saja akan berkurang rasa percaya satu sama lain, yang berujung pada beralihnya kepercayaan pada orang lain.

Kejujuran dalam memberikan jawaban atas pertanyaan berbobot maupun tidak berbobot, apalagi disertai kesabaran dan rasa maklum atas ketidaktahuan lawan bicara, akan menimbulkan apresiasi sehingga berpengaruh pada hubungan satu sama lain, entah itu dalam lingkungan keluarga maupun instansi.

Seseorang yang merasa memiliki derajat lebih tinggi sehingga meremehkan orang lain dengan cara memberikan jawaban yang tidak mengena, malas bicara dan enggan menjelaskan hingga berlarut-larut akan membuat kerdil orang lain. Orang yang bertanya sedang berada dalam kondisi haus akan informasi. Jika orang yang ditanya memiliki informasi yang dibutuhkan namun pada saat ditanya enggan menjelaskan, sama saja dengan pelit ilmu. Jangan sampai kita menjadi pelit informasi dengan orang-orang yang kita sayangi. Dalam sebuah keluarga sang anak haus informasi pada orang tuanya, istri yang stay at home mendapatkan informasi di luar melalui suami, suami yang bekerja di luar membutuhkan informasi melalui istri tentang perkembangan si anak, dll. Semua saling bergantung, tidak boleh ada yang merasa lebih tinggi dan sok pintar satu sama lain. Roda dunia berputar, suatu saat kelak ayah bunda akan berusia lanjut dan stay at home, si anak akan menjadi dewasa dan lebih banyak di luar rumah untuk sekolah atau bekerja. Kalau ada yang menyembunyikan ilmu saat ditanya, sungguh telah melewatkan satu perbuatan baik.
(Rd)

Wednesday 21 May 2014

Butuh Proses

Butuh waktu, butuh proses, kesan itulah yang saya tangkap dari hasil sekejab saja menikmati hasil goresan tangan anak saya. Sebuah gambar apik yang terlahir dari jemari mungil seorang anak berusia 5 tahun.
Awalnya saya menggerutu melihat beberapa lembar kertas gambar yang berserakan. Seperti biasa saya bertanya, "Icha, kenapa buku gambarnya disobek-sobek gitu..?" Sambil memperhatikan ekspresi wajahnya yang tiba-tiba ditekuk, saya membereskan dan menata kertas-kertas itu. Ada rasa kesal melihat kamar yang awalnya tertata rapi mendadak dipenuhi kertas-kertas berserakan. Saya pun berlalu keluar kamar meninggalkan putri saya yang kembali asyik dengan buku gambarnya.


Beberapa saat kemudian setelah pekerjaan di dapur selesai, kembali saya menengok Icha yang ternyata telah terlelap di samping buku gambarnya. Crayon dan pensil warna ada di mana-mana tak beraturan. Setelah membetulkan posisi tidur Icha di atas bantal, lalu saya bereskan semuanya. Terlihat sebuah gambar yang baru saja diselesaikannya, cantik sekali. Saya tersenyum dan kagum melihatnya. Ada sebuah mobil merah yang sedang berhenti di dekat lampu merah. Sempurna sekali hasil gambarnya bagi anak seusianya. Imajinasi yang luar biasa. Tanpa mencontoh gambar manapun ia berhasil menuangkan obyek yang pernah dilihatnya di dunia nyata menjadi obyek di atas kertas gambar. Ada beberapa kertas yang berisi sketsa gambar yang tak jadi, lalu saya perhatikan. Ternyata ia berusaha menggambar mobil itu dengan sekuat tenaga... ada proses dan tahapan hingga ia berhasil menggambarnya...tanpa bantuan siapapun, tanpa ada contoh objek yang ada di hadapannya. Dengan hanya berbekal imajinasi dalam otaknya dan walau telah beberapa kali gagal, lahirlah sebuah mahakarya tak ternilai bagi bundanya.


Saya terhenyak, tersadar walaupun sebenarnya sudah tahu bahwa semua butuh proses dan waktu. Sebagai seorang anak kecil, tentu hal tersebut menjadi perjuangan besar dan tak akan menambah rasa percaya diri jika sebagai orang tua saya tak memberi apresiasi. Sebagai seorang dewasa yang tidak sepenuhnya memahami isi hati si kecil, hanya kesabaran yang perlu diperjuangkan dalam menghadapi tingkah lakunya. Ah, saya tertampar dengan kalimat sendiri. Tidak mengapa, tulisan ini menjadi semacam media introspeksi bagi diri sendiri. Pasti ada tujuan yang tak pernah kita tahu dari seorang anak berkaitan dengan sikapnya yang tidak kita mengerti.


Sekian dulu saya akhiri. Tidak usah terlalu banyak saya menuliskan ini karena khawatir berkesan menggurui, saya masih belajar menjadi orang tua. Teruskan semangatmu anakku. Tetap berjuang.

Wednesday 12 February 2014

Shirley Temple

Shirley_Temple
Shirley_Temple (Photo credit: hto2008)




Innalillahiwainnailaihirojiun

Baru tadi pagi saya mendengar berita kematiannya, yang ternyata telah berpulang sejak dua hari yang lalu. Shirley Temple, idolaku semasa kecil telah meninggal dunia karena faktor usia. Ia menutup mata selama-lamanya pada umur 85 tahun. 

Beberapa hari yang lalu, adik saya menunjukkan foto wanita tua yang sedang berdiri di atas panggung pada saat menerima penghargaan. “Tebak siapa ini?” tanya adik saya. Saya dengan mudah menebak bahwa dia adalah Shirley Temple, karena memang ada caption di bagian atas foto tersebut yang bertuliskan namanya. Seketika memory ini kembali ke beberapa puluh tahun silam, dimana saya masih bocah dan mengidolakannya habis-habisan. Mungkin karena faktor kelangkaan. Ya, anak sekecil itu sudah tenar dan pandai bernyanyi maupun berakting, dan itu merupakan hal yang sangat jarang terjadi. Setidaknya hanya segelintir anak yang mampu terekspos media masa kala itu.  Semua orang mengaguminya.
 
Sempat terbersit keinginan untuk menjadi seperti dirinya suatu saat kelak, menjadi tenar dan multi talenta. Setiap kali filmnya tayang, terutama di hari Minggu, dimana jumlah film anak-anak yang masih sangat jarang ditemui di stasiun televisi waktu itu, saya selalu bersorak girang. Seakan tiada hal yang lebih menyenangkan ketimbang menonton film Shirley Temple. Hanya TVRI yang waktu itu menjadi satu-satunya channel televisi, walaupun demikian saya sudah cukup senang. 

Timbul keinginan untuk mengorek kembali kabar tentang dirinya, apa aktivitasnya saat ini dan bagaimana kesehariannya setelah menginjak usia renta. Apakah dia masih hidup? Begitu batin saya. Mengingat film-film yang saya tonton dulu sudah sangat lama dan hampir rusak kualitasnya. Rencananya akan hunting berita-berita tentang dia di internet. Namun belum sempat itu saya lakukan, keburu tersiar berita kematiannya.

Anak ajaib, begitu sebutan saya untuknya. Walaupun usianya sudah tua, saya tetap menyebutnya demikian. Semoga ia diterima di sisiNya. 

(Rd)

Enhanced by Zemanta

Friday 7 February 2014

Coklat Manis

Kadang kala yang kita butuhkan hanyalah segelas coklat, yang kental dan manis. Perubah suasana hati yang tadinya bete dan memuat emosi yang luar biasa menjadi semanis dan se-cool coklat. Kadangkala hanya dengan mensugesti diri sendiri suatu masalah dapat dengan lebih mudah dihadapi. Akan dibiarkan saja sesuatu hal itu karena ia berjalan di luar kendali kita, ataukah akan kita ubah dan pecahkan problematika di depan kita… semuanya tergantung dari seperti apa suasana hati kita.

Sejak detik-detik menjelang kita tidur malam, kita sudah membentuk sketsa bagaimana suasana hati kita setelah bangun pagi keesokan harinya. Bahkan setelah bangun pagi pun jika kita tidak pandai menjaga suasana hati karena mengijinkan hal buruk menyulut emosi dan pikiran, maka bad mood itu biasanya akan terbawa sampai sepanjang hari yang kita miliki.

Oleh karena itu, biar bisa fokus beraktivitas hari ini... yuk diseruput coklat manisnya mak… :)
(Rd)

Sunday 2 February 2014

Kopi di Pagi Hari


Bahagia itu, jika bisa bangun pagi lalu mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga dengan cekatan dan selesai tepat waktu. Disambung dengan secangkir kopi susu panas hingga asapnya mengepul dari cangkirmu, dan aromanya menyebar ke seluruh ruangan.

Ketika akan meminumnya, kopinya terlalu panas jadi kau membiarkannya sejenak di atas meja. Sementara menunggu menjadi hangat, kau sibuk berkutat dengan buku-buku bacaan yang disusun rapi vertikal ke atas seolah-olah kau sanggup menghabiskan semua bacaan itu.

Terlalu asyiknya larut dalam alur novel hingga berjam-jam, kau lupa ada secangkir kafein yang sudah dingin sejak beberapa jam yang lalu. Ketika kau mengangkat cangkir itu, berpuluh-puluh pasukan semut hitam telah meluber di permukaan cairan hitam itu.

#Gagal minum kopi
(Rd)

Friday 31 January 2014

Tidak Sekedar Copy Paste

Salah satu hal yang saya suka setelah menulis adalah kepuasan batin. Kupu-kupu yang beterbangan dalam dada ini serasa bebas lepas terbang liar ke alam terbuka. Sketsa benang yang masih menjadi simpul dalam otak seakan terurai panjang dan menemukan tempatnya di luar sana. Sungguh, balasan setimpal atas usaha untuk merajut kata dalam kalimat, dan merajut kalimat dalam sebuah cerita.

Lalu apa yang dirasakan oleh mereka yang kerap kali melakukan copy paste hasil karya orang lain dan menyajikannya kembali ke hadapan publik tanpa mencantumkan dari mana sumbernya, atau bahkan menyatakan bahwa tulisan tersebut adalah hasil karyanya. Apakah ada kepuasan batin yang didapat, yang ada malah rasa horor yang terus meneror selagi tulisan hasil jiplakannya menyebar luas.
(Rd)

Foto : seharusnya yang menyalin menyertakan sumbernya

Wednesday 29 January 2014

Tidak Sekedar Ikut-ikutan


Memiliki pendirian itu penting. Berlatih agar tidak tertular sifat latah, akan berpengaruh pada pembentukan pribadi seseorang. Sejak masih kecil perlu dibiasakan untuk berekspresi sesuai jalur kesopanan dan agama, tidak terlalu mengekang kebebasan anak dalam berpendapat dan berperilaku. Dengan demikian si anak akan memiliki rasa percaya diri yang tumbuh alami seiring bertambahnya usia. Tidak tergerus oleh pengaruh luar yang menyesatkan. Awalnya mungkin hanya ikut-ikutan, namun hal seperti itu akan menjadi kebiasaan. Apabila tidak sama dan menjadi berbeda dengan teman sebaya, akan turun rasa percaya dirinya. Hal itu akan mendorong sifat meniru dan mematikan kreativitas, malas berpikir, dan malu menjadi berbeda dibanding teman-temannya, walaupun berbeda itu artinya menjadi lebih baik di mata orang-orang bijak dan menjadi ketinggalan jaman dari kacamata teman sebaya.

Ada kekhawatiran dalam diri ini sebagai orang tua memperhatikan perkembangan remaja jaman sekarang, walaupun remaja yang jauh lebih baik lebih banyak jumlahnya. Namun yang tampak heboh di mata saya karena selalu terekspos oleh media televisi, yaitu remaja-remaja yang kerap kali menjadi penonton bayaran acara live beberapa acara di stasiun televisi. Mereka bersorak-sorai meramaikan suasana, menari, menyanyi dan menirukan gaya sesuai arahan sutradara. Demi menaikkan rating, pihak stasiun tv memberdayakan sejumlah remaja untuk diposisikan sebagai penonton yang selalu ramai dengan tepuk tangannya, teriakan-teriakan histeris saat sang idola naik di atas panggung, dan sesekali ikut menari bersama sang artist sebagai penari latar.

Dari sisi mana sikap mereka yang layak dikatakan sebagai calon pemimpin bangsa, jika disuruh kesana kemari mereka ikut, disuruh begitu begini mereka menurut. Apakah sebagian dari generasi muda sudah terkena wabah membeo? Semoga saja tidak, semoga saja hanya sebagian kecil dari mereka yang seperti itu. Saya yakin di luar sana masih banyak pemuda pemudi yang tidak sekedar ikut-ikutan, bertahan dengan hasil karya mereka sendiri, bertumbuh dengan pemikiran-pemikiran inovatif dan tak lepas dari benteng iman.
(Rd)

Tuesday 28 January 2014

Masa Lalu


Wanita itu terdiam, kedua bola matanya tak berkedip. Ia memandang sosok gadis yang sedang menangis setelah terlepas dari dekapan seorang lelaki di dekat area sebuah stasiun. Mereka sempat berpelukan dan sang lelaki membisikkan kata-kata yang membuat sang gadis menangis. Adegan dramatis itu sempat menarik perhatian beberapa orang yang melintas. Rupanya mereka sepasang kekasih yang hendak dipisahkan oleh jarak. “Apa yang sedang Anda lihat, Bu?” tanya rekan sejawatnya, karena kedua sosok yang sempat menjadi perhatian tersebut sudah tak nampak lagi. Wanita itu tersenyum. “Sebuah masa lalu,” jawabnya.

Rekan sejawat itu sedikit tak paham, namun tak ingin mempertanyakan lebih dalam lagi. Ia memilih untuk diam dan membiarkannya hanyut dalam sebuah pemikiran. Keduanya berjalan beriringan memasuki sebuah kantor yang tak jauh dari stasiun, tempat dimana mereka bekerja.

Baru saja menginjakkan kaki ke dalam ruang kantor, tiba-tiba dari ruang sebelah terdengar suara orang yang sedang berdebat. Meski samar, namun kata terakhir sempat terdengar jelas terbawa angin. “B*ngs*t kau!” Kedua rekan kerja yang sedang berselisih paham dan gagal mengendalikan emosi membuatnya kembali tercengang. “Apa lagi yang sedang Anda pikirkan, Bu?” tanya rekan sejawat yang sedari tadi selalu memperhatikan sikapnya. Lagi-lagi wanita itu hanya tersenyum sambil menjawab, “Masa lalu.”

Bagi wanita itu, mengumbar emosi di depan banyak orang adalah sebuah masa lalu. Menangis di depan umum dan mengumbar kemesraan bersama kekasih hingga mendramatisir seperti adegan sinetron adalah sebuah sifat kekanak-kanakan. Lalu gagal mengendalikan emosi hingga terlontar kata-kata kotor yang sudah pasti tidak senonoh adalah sebuah sifat kekanak-kanakan pula. Ia bersyukur sudah melewati masa-masa labil yang penuh ketidakdewasaan dan mulai memperbaiki diri.

Begitu berharganya sebuah perjalanan hidup. Bergitu berharga waktu yang sudah dihabiskan menuju sebuah kedewasaan. Pengalaman hidup, telah membuatnya berubah, menjadi lebih bijaksana.
(Rd)