Wednesday 11 December 2013

Di Atas Loteng

Seiring berjalannya waktu, penglihatanku semakin kabur, dan pendengaranku tak seperti dulu lagi. Aku tak tahu, apakah harus diobati atau diminimalisir dengan mendatangi dokter, ataukah mendiamkannya saja karena hal-hal seperti ini selalu dialami setiap manusia.

Satu persatu kuangkat lembar pakaian ke atas kawat yang dikaitkan masing-masing ujungnya dengan paku ke permukaan tembok. Tembok tua yang sebagian besar ditumbuhi lumut dan jamur hingga tampak berwarna putih kusam bercampur kehijauan dan sedikit kehitaman, karena setiap saat terguyur hujan dari atap langit, lalu berganti dengan sorotan sinar mentari yang berarti sebuah kesempatan untuk mengeringkan semua cucian. Di sini, di atas loteng dengan bangunan yang tidak sepenuhnya tertutup, selalu kudapatkan kesunyian yang membebaskanku dari hiruk pikuk rutinitas.

Belum selesai menjemur semua pakaian, ada suara gaduh di bawah sana, tepatnya di anak tangga loteng. Kudongakkan kepalaku ke bawah, tak dapat kulihat jelas karena penglihatanku yang kabur ditambah minimnya pencahayaan, apalagi silau setelah berada di bawah terik mentari, yang ada justru semuanya tampak gelap.

Kukerjabkan kedua mataku untuk memastikan benda apa yang terjatuh di bawah sana, dan ketika berusaha membuka kelopak mata selebar-lebarnya, yang terlihat adalah sebuah wajah yang samar dengan bibir merah menyala sedang tersenyum. Wajah siapakah itu? Aku memilih untuk memejamkan mata saja sambil berpegangan pada daun pintu, sementara jantungku berdegup seperti bedug. Saat ini, tidak ada orang lain di rumah ini selain aku dan bayiku. Berapa lama lagi aku harus bertahan dengan memejamkan mata seperti ini, sementara aku tak tahu apakah wajah itu masih terus mengawasiku.

Sayup-sayup kudengar suara tangis bayiku dari lantai bawah. Aku baru menyadari bahwa sudah cukup lama aku berdiam diri di atas loteng ini dipenuhi dengan pikiran-pikiran konyol. Pasti karena aku telah berhalusinasi. Segera aku terobos apapun yang ada di depanku, entah itu bayangan hantu atau penampakan wajah dengan bibir merah. Yang jelas aku harus turun sekarang juga, bayiku sedang mencari. (RD)

Thursday 5 December 2013

Saat Malas Mendera

Ia berusaha melawan rasa malas dan lesu yang merasuk ke persendian tulang. Bahkan desir-desir dalam pembuluh darahnya sudah tak berasa lagi. "Seluruh tubuh yang susah digerakkan semakin lama akan membatu," pikirnya. Lalu ia turun dari ranjang yang selama ini menjadi singgasana. Ia tak ingat kapan terakhir kali turun dari ranjang, apakah tadi pagi, kemaren, kemaren dulu, entahlah. Kecuali untuk urusan buang hajat yang hanya berjarak satu meter dengan pintu toilet, lalu setelah selesai ia hanya akan melangkah satu kali untuk kemudian kembali naik ke atas ranjang.
Mungkin inilah yang dirasakan oleh para pemalas, yang tak pernah melakukan apapun dalam kehidupannya, dalam detik-detik waktu yang dimilikinya, bahkan mereka tak mengisi otakknya dengan ilmu. Mengapa? Karena berpikir adalah pekerjaan yang berat, jauh lebih berat dari pada menonton televisi.
Ups, ia tak dapat berdiri tegak karena pinggangnya sakit. Sudah berapa lama ia tak menggerakkan badan, bahkan untuk melakukan sujud di atas sajadah ia lalai. Pikirannya terlalu ruwet, penuh dengan masalah, seakan-akan hanya dirinyalah orang yang paling patut dikasihani di dunia ini. Sayang sekali, semua orang di sekitarnya sibuk dengan urusan masing-masing. Mereka sibuk memikirkan cara bagaimana untuk survive, dan bekerja keras tanpa banyak mengeluh. Mengeluh? Ya, mengeluh, menangis, menyesali nasib, tanpa action apa-apa. Lalu memandang ke kanan kiri, ia melihat teman-teman dan keluarganya lebih bahagia dari dirinya. "Rumput tetangga selalu tampak lebih hijau," begitu pikirnya. Lalu timbul iri, cemburu dan berburuk sangka.

Suara Tapak Kaki

Begitu suara-suara itu mengganggu tidurku, mataku sudah terbelalak lebar. Tak ada lagi rasa kantuk yang tersisa, setelah suara hentakan kaki itu merasuk dalam mimpiku. Dug..dug..dug.. Tapak kaki sebesar apa yang mampu menghasilkan suara seperti itu. Mungkinkah ada makhluk raksasa yang juga menghuni rumah ini tanpa sepengetahuanku? Bola mataku masih melotot keluar dengan mulut ternganga serta tubuh membatu. Ada sesuatu yang membuatku tak dapat bergerak. Sihir! Ada seseorang atau sesuatu yang telah menyihirku hingga tak dapat bergerak sama sekali, atau mungkin aku hanya berhalusinasi. Mataku masih dapat berkedip, jadi aku memerintahkan ragaku untuk bergerak. Ayo maju! Begitu teriakku dalam hati.
Aku berhasil menggerakkan tubuhku. Dalam sekejab aku berhasil melompat. Buk! Pantatku sakit. Kuelus-elus bagian yang sakit ini akibat terjatuh dari ranjang. Samar-samar kudengar adzan shubuh berkumandang. Rupanya suara bedug sempat masuk dalam alam tidurku dan menjelma menjadi suara tapak kaki. (RD)

Kristal Cinta

Ia membuang muka, lagi. Saat kuceritakan hal yang menarik, setidaknya bagiku. Cerita menarik, yang baginya bukan apa-apa, telah kususun rapi dalam ingatanku, beberapa saat sebelumnya. Kalimat-kalimat yang keluar dari bibirku, adalah hasil perasan otakku, lalu sarinya kutuang dalam cawan istimewa.
Namun ia tak mau menadahnya, dan membiarkan sari pati itu tumpah di dekat tapak kakinya. Aku bersimpuh di dekatnya, menjilat cairan itu agar kembali lagi ke dalam tubuhku.
"Apa yang kau jilat?" tanyamu dengan muka membeku. Sesaat aku terperangah, tak mengerti dengan apa yang kau tanyakan. Sekaligus tak mengerti dengan ketidakmengertianmu.
Kuberanjak menjauh, memecahkan kristal cinta, hingga meluber dalam derasnya air mata.(RD)

Thursday 21 November 2013

Senja yang Dingin

Aku melihat seorang anak gadis melintasi taman kota yang sedang sepi seorang diri. Suasana yang tidak seperti biasanya. Senja yang dingin, dan sedikit lembab. Bangku taman yang basah sehabis diguyur hujan, begitu pula jalanan aspal yang licin dan bunga-bunga serta dedaunan yang penuh titik-titik air. Usianya mungkin sekitar 7 atau 8 tahun. Sore itu ia terlihat lesu dengan muka ditekuk. Berjalan sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaket coklat yang tebal. Rambut pendeknya dikepang dua, dengan pita merah di kanan kiri.

Mengapa kau tampak sedih?" tanyaku menghampiri. Tak ada jawaban. Aku sedang duduk di bangku taman yang panjang, melamunkan sesuatu yang tak pasti. Mungkin sama seperti gadis itu, ia sedang dirundung kesedihan. Yang pasti tidak seberat beban yang sedang kupikul. Beban orang dewasa, tak bisa dibandingkan dengan beban seorang gadis kecil. Tergelitik hati untuk menanyakan sesuatu padanya. Mukanya yang ayu, sekaligus imut, mengingatkanku pada putriku yang saat ini sedang tidur terlelap di rumah. Rumahku hanya seratus meter dari sini, dan aku menyelinap keluar sejenak sekedar untuk menjernihkan pikiran.

Ia menoleh sejenak padaku, lalu membuang muka, dan mendekat pada tepi kolam yang dikelilingi oleh bunga-bunga. Sungguh segar air di kolam itu, jernih dan yang pasti sangat dingin. Aku menggigil saat angin sepoi-sepoi menerpa, hingga tak menyadari ada bulir-bulir bening jatuh di atas permukaan air yang berasal dari kedua matanya. Tik, tik, tik, mirip air hujan. Kuhampiri ia, lalu kuperhatikan mukanya sebelum akhirnya ia menutup kepalanya dengan topi yang menempel di jaketnya. Rupanya ia mulai terusik dengan keberadaanku, lalu berlari menjauh dariku.

Aku terperanjat, dan hanya mampu memandang sosoknya dari kejauhan. Lama kuberdiri mematung, menyesali sikapku yang terlalu ingin tahu. Seharusnya kubiarkan saja ia menyendiri, untuk mengendapkan segala rasa yang menyesakkan, sama seperti yang tengah kulakukan saat ini.

Tiba-tiba aku merindukan putriku, pasti ia sedang mencariku saat ini. Kedua kakiku melangkah dan menjauh dari taman itu, bergegas menuju rumah yang penuh kehangatan. Inilah saatnya menghadapi realita. (RD)

Wednesday 23 October 2013

Bimo si Pemalas

Alkisah, seorang anak pemalas bernama Bimo. Usianya 10 tahun, duduk di bangku Sekolah Dasar kelas IV. Suatu hari ia mimpi bertemu malaikat yang sedang membawa cambuk panjang. Bimo sangat ketakutan, lalu bertekuk lutut di hadapan makhluk serba putih itu sebelum tahu kesalahannya.

"Apa salahku, wahai malaikat?"
"Kau terlalu malas."
"Aku tahu itu, semua orang juga bilang begitu. Kumohon ampuni aku."

Dengan lutut gemetar, Bimo memohon.
"Please...?"
"Oke lah kalau begitu. Asalkan kau mau memukul pantatmu dengan cambuk ajaib ini, setiap kali kamu malas," jawab malaikat sambil menyerahkan cambuk dalam genggamannya

Beberapa saat kemudian Bimo membuka mata, dilihatnya jam dinding sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Ia terlambat sekolah lagi, namun masih mematung dalam balutan selimut kumal, bau dan penuh corak pulau-pulau.

Emak membuka pintu kamar, mendongakkan kepalanya sambil berteriak, "Bimo! Ayo lekas mandi!"

Telinga Bimo terusik, seakan menerima sinyal-sinyal mengganggu. "Maaak, tolong pukul pantat Bimo, Maaak.."

Emak mengernyitkan dahi, "Apa? Apa maksudmu?"
"Iya, Mak. Sesuai perintah malaikat, pukul pakai cambuk ajaib itu." Bimo menunjuk sebuah ikat pinggang yang tergantung di dinding kamarnya. Penglihatannya agak kabur, belum on 100% alias ngantuk berat.

"Ooh, ini maksudmu?" tanya emak keheranan sambil menyodorkan ikat pinggang tersebut, sekedar memastikan bahwa benda yang ada di genggamannya tidak salah.

Bimo mengangguk pelan tanpa membuka mata sedikitpun. Emak tersenyum lebar, dengan penuh semangat disingkapnya selimut pembungkus itu, ditarik hingga bocah itu terlempar dari kepompongnya, dan lalu... Buk! Buk! Buk!

"Ampun, Emaaaaaak..!!"

*Efek ngelindur. Don't try this at home

(Rd)

Sunday 6 October 2013

Ranti dan Rizki

"Rasanya seperti terbakar," desis Ranti. Ia duduk di atas kursi malas milik ayahnya.

 "Maksudmu apa?"sahut Rizki tanpa menoleh sedikitpun pada gadis berambut pendek itu, ia asyik membaca majalah otomotif milik Ayah Ranti.

Ada jeda panjang, tiba-tiba sunyi. Keduanya asyik tenggelam dalam dunia masing-masing. Ranti sibuk menerawangkan pandangan pada tembok putih di depannya, sedangkan Rizki tak bergerak sedikitpun kecuali mulutnya yang komat-kamit menghabiskan setoples kacang.

 "Hey, kau makan semua?!"sentak Ranti menyadari camilannya lenyap. Ia ambil toples yang hanya tersisa seperempatnya itu dengan sebal lalu menyalakan televisi. Rizki berhenti mengunyah, bibirnya cemberut dan segera bangkit dari duduknya. "Yah, aku pulang saja," cowok itu melirik arloji di pergelangan tangan kanannya. Sudah hampir pukul 4 sore.

 "Rantiii... Kecilin dikit volumenya..! teriak ibu Ranti dari dalam dapur.

 "Iya, Bu..!"sahutnya. Ia mengambil remot tv dan mengatur volume, tak memperhatikan temannya berjalan menuju pintu keluar. Saat mendengar suara pintu, ia menoleh dan terperanjat, gadis itu bergegas menuju kamarnya untuk mengambil sesuatu, lalu menghampiri temannya.

 "Nih, buat kamu,"Ranti menyodorkan sebungkus besar kacang yang masih bersegel. Rizki tersenyum lebar, matanya mendadak berubah hijau melihat sebungkus kacang berukuran jumbo, segera ia mengambil bungkusan itu dari genggaman Ranti, tiba-tiba gadis itu menepis tangannya, "eiit, ada syaratnya." Rizki mengernyitkan dahi, senyumnya kembali pudar.

 "Apaan?!

 "Dengerin aku dulu donk,"sahut Ranti sambil melempar bungkusan itu ke dada Rizki, cowok itu menangkap dengan sigap.

 Ranti kembali duduk di atas kursi malas, sedangkan Rizki duduk di lantai sambil mengunyah camilannya, di sekitarnya masih berserakan majalah-majalah otomotif. Ada suara berisik yang keluar dari mulut cowok yang sedang mengunyah. "Berisik tauuu...! Jangan makan mulu donk," teriak Ranti.

 Rizki terdiam, mematung, tak berani bergerak, walau untuk menelan sekalipun, kwatir cewek itu akan mengambil kembali makanannya. Ia berusaha menjadi pendengar yang baik.

 "Terbakar cemburu..?"tiba-tiba Rizki nyeletuk, ternyata ia mendengar semua curhatnya. Ranti terperanjat, ia telah salah sangka, lalu menghela nafas panjang sambil duduk dan tertunduk lesu,"Iyaaaa... Aku tak rela ia bersama gadis itu."

 Rizki terkikik. Ranti merasa tersinggung lalu melempar sebuah majalah ke arahnya,"Ga lucu ah. Ini seriuuuusss."

 Cowok itu terdiam, lalu memasang tampang serius,"Gimana mau noleh sama kamu, kamunya tomboy gitu..." Cowok itu kembali mengunyah.

 Ranti tersadar, ia ingin menentang pernyataan Rizki namun hanya terdiam. Hati kecilnya membenarkan,"Benarkah...?" Kali ini suaranya melemah.

 "Iya, galak lagi.."Sahut Rizki.

 Gadis itu terperanjat, namun tak mampu berkata apa-apa lagi. "Lagi-lagi Rizki benar," batinnya. Hatinya berkecamuk, berusaha melawan rasa kecewa, diiringi lantunan lagu Geisha di televisi,"Lumpuhkanlah ingatankuuuu...uuuu."
 (RD)

Friday 4 October 2013

Monster Kecil

"Oh, tidak, tidak," bathinku saat melihat apa yang digenggam bocah batita itu. "Oh, no, no,"pekikku kembali dalam hati. Bibirku terkunci, tak mampu berekspresi. Kedua bola mataku sibuk mengamati sebuah ruang kerja yang berantakan, dan aku berdiri di tengah-tengahnya.

Satu persatu barang-barang milik kantor melayang kesana kemari. Aku hanya mampu terdiam menyaksikannya, sambil menahan nafas dan memekik tertahan, lalu kembali mengumbar senyum saat istri si big bos melongok ke dalam ruanganku untuk memastikan bahwa putranya baik-baik saja. Sementara anak kecil itu melempar setiap barang yang ada didekatnya.

"Jangaaan..!!" Akhirnya suaraku berontak keluar dari bibirku yang beku. Tampak olehku sebuah botol lotion yang terbuat dari kaca seukuran kepalan tangan melayang dengan indahnya melewatiku. Lotion milik siapakah itu? "Oh milikku!" Aku memekik. Tak habis pikir bagaimana caranya ia bisa mengeluarkan benda itu dari dalam tasku. Terperangah diriku, dan dalam sekejab spontan tangan kananku menangkap benda itu sebelum dalam hitungan detik menciderai layar monitor di depanku. Wusss, dalam adegan lambat dapat kutelaah kembali dengan detail bagaimana aksi pahlawanku itu. Sepertinya layak diikutkan dalam adegan sebuah film kungfu.

Oh, sepertinya aku butuh penyegar ruangan untuk kuhirup dalam-dalam. Atau bau melati untuk menenangkan hati. Tolong, di sini ada monster kecil... (RD)

Gina oh Gina

"Perfect." Begitu yang terlintas dalam benaknya. Gadis berpostur tinggi itu sedang mengamati bayangan diri sendiri di pantulan cermin. Suasana yang ramai di sebuah pusat perbelanjaan membuat Gina gerah dan tak percaya diri. Keringat bercucuran menetes sedikit demi sedikit di bagian punggung dan pelipis. Sudah yang keberapa tangga eskalator telah ia lewati, entahlah. Yang ada dibenaknya saat itu bahwa dalam sekejab ia harus menemui sang kekasih di food court lantai atas.

Siang yang penat, siang yang kacau. Gina tak dapat memejamkan mata sejak semalam, berbaring di atas ranjang memikirkan sesuatu yang tak kunjung mendapatkan penyelesaian. Malam itu Gina begadang, dan berakhir ketika tanpa sengaja matanya terpejam. Ia tertidur. Mungkin satu atau dua jam, mungkin juga lebih. Terakhir melihat arloji beberapa saat yang lalu, saat sinar mentari menerobos kaca jendela kamarnya di siang bolong. Ia terhentak, dan segera berganti pakaian tanpa mandi atau mencuci muka sekalipun.

Beberapa saat kemudian telah sampailah ia di salah satu mall, tempat ia dan kekasihnya akan bertemu untuk makan siang. Hati yang gamang kembali menghentikan langkah Gina. Sesekali ia menatap cermin yang terpantul di dinding counter-counter fashion. Semakin mendekati lantai atas, semakin ia tak percaya diri. Sesampainya di lantai paling atas, hatinya semakin berdebar. Sang kekasih tampak melambai-lambaikan tangan dari kejauhan, Gina tersenyum lebar. Seketika langkahnya terhenti oleh sebuah cermin jumbo yang baru dilewatinya. Oh My God.. Gina lupa memakai gigi palsu, beberapa deret giginya terlihat ompong. Belum sikat gigi pula. Secepat kilat Gina berlari pulang saat sang kekasih berusaha menghampiri dirinya. (RD)______

Thursday 3 October 2013

Gedhe Rumongso

Belajar dari sebuah istilah "Ge Er= Gedhe Rumongso", bahwa kadang ekspresi seseorang yang kita tunggu ternyata tidak sesuai dengan bayangan atau keinginan kita, disitulah timbul rasa kecewa. 

*** 
     Ani menyeka keringat. Ia mengambil tissue kertas dari dalam tasnya, lalu menyeka seluruh mukanya. Aku memperhatikan dari jauh lalu mendekat. Oh... ternyata ia sedang menangis, berkali-kali menyeka air mata, namun pipinya tetap basah karena tak bisa berhenti menangis. "Aku kecewa dengan orang tuaku," katanya sambil tetap mengusap mata, dan berkali-kali pula ia mengambil lembaran tissue.
     Tak perlu kubertanya apa sebab ia menangis, karena dengan sukarela ia mencurahkan isi hatinya. "Aku tak pernah minta bantuan siapapun, termasuk mama papa, tapi mengapa saat aku benar-benar membutuhkan bantuan, sikap mereka mengecewakan?"protes Ani kepadaku, seolah-olah aku memiliki jawabannya. "Bantuan seperti apa yang kauharapkan?"tanyaku perlahan, namun semakin deras saja air matanya mengalir. "Sebetulnya aku bisa melakukannya sendiri, namun kali ini aku ingin melibatkan mereka. Aku ingin berbagi beban, tidak banyak," Ani mulai tenang, namun matanya sembab dan merah. "Aku hanya ingin ditemaniii...! Aku ingin pergi kesana dengan mama papa, agar ia mengerti bagaimana keseharianku selama ini!"lanjutnya, kali ini dengan nada meninggi. Emosi kembali menghinggapinya. "Sabar Ani, mungkin mereka sangat sibuk,"hiburku. "Tidak, mereka menganggapku mampu dan mandiri, karena selama ini aku tak pernah melibatkan mereka. Tak pernah.." Suara Ani melemah, diiringi nafas panjang saat angin sepoi-sepoi berhembus di sela-sela dedaunan pohon rindang tempat kami berteduh saat ini. 

 *** 
Note : Maka, untuk memetik pelajaran dari yang pernah dialami, tidaklah pantas menggantungkan kebahagiaan pada orang lain. Diri kita berhak bahagia tanpa menunggu ekspresi baik orang lain yang kita dambakan. Sudah.. Sudah.. Gantungkanlah harapan pada yang maha kuasa saja... Supaya diri menjadi tenang. (RD)

Wednesday 2 October 2013

Oh, Kueku

"Tiba-tiba gelap, aku berteriak kencang dari dalam kamar mandi, "Siapa yang mematikan lampu?!" Lalu seseorang menyahut dari kejauhan, "Memang mati listriknya," Oh itu suara Ayah. Waduh, tiba-tiba aku teringat kueku yang masih terpanggang dalam oven. "Kueku..!" masih setengah matang dalam oven. Bagaimana nasibnya kini.

"Kenapa juga peralatan listrik lainnya belum dimatikan?!" Ibu bertanya pada seisi rumah. Aku langsung merasa bersalah, karena lupa mematikan AC, TV dan pompa air. Tegangan listrik di rumah kami memang tidak terlalu besar, maka dari itu harus mematikan beberapa peralatan listrik lainnya saat menyalakan oven listrik. Beberapa saat kemudian setelah listrik berhasil dinyalakn kembali, aku lihat bagaimana keadaan kueku yang masih nangkring dalam oven. Alhamdulillah sudah matang. Kupikir kali ini akan gagal lagi. (RD)

Saturday 28 September 2013

Ikan Milik Nana


Pagi itu Nana bangun lebih pagi dari biasanya. Kebetulan sekolah Nana libur, jadi ia bisa lebih santai. Gadis berusia empat tahun itu menghabiskan sarapannya tanpa tergesa-gesa dan bisa mandi lebih siang dari biasanya.
“Ikuuuut… Nana mau ikut Nenek,”teriaknya beberapa saat setelah keluar dari kamar mandi. Dalam keadaan masih berbalut handuk, Nana melesat keluar menghampiri Sang Nenek yang bersiap-siap hendak pergi ke pasar. “Wah, wah, Cucu Nenek kok belum pakai baju…” wanita paruh baya itu tersenyum geli melihatnya. Segera ia menggiring masuk Nana ke dalam kamar untuk memakaikan baju. Lalu mereka berdua pergi ke pasar.
Sesampai di pasar, keduanya tampak larut dalam hiruk pikuk pasar. Sang Nenek sibuk menawar dan membeli beberapa bahan untuk dimasak hari itu. Sementara Nana tampak tidak nyaman dengan suasana yang ramai dan merengek minta pulang, “Nana mau pulang, Nenek… Nana mau pulang.”
“Sabar ya, Sayang. Sebentar lagi kita pulang,” wanita itu berusaha menghibur cucunya. Tampak ia sedikit kerepotan dengan barang belanjaan, ditambah lagi dengan rasa panik akibat cucunya yang mulai rewel di tengah keramaian. Tiba-tiba Nana menghilang, ia tidak ada di samping Nenek. Wanita itu semakin panik dan memanggil nama Nana dengan suara keras. Tampaknya Nana tidak mendengar, ia sedang asyik menikmati kecantikan warna mas yang terpancar dari tubuh mungil ikan-ikan. Ada penjual ikan mas di sana.
Nenek bergegas menghampiri cucunya dengan tergopoh-gopoh. Ia segera memeluk dan menggendongnya. Rupanya Nana tidak menyadari kepanikan Nenek, ia justru merengek kembali, “Ikan Nek… Nana mau ikan…” Nenek menghela nafas, merasa lega cucunya dapat diketemukan. Beberapa saat kemudian keduanya berlalu meninggalkan kerumunan di pasar menuju rumah.
Sesampai di rumah, Nana memamerkan ikan-ikan mas yang ia bawa dalam sebuah plastik berisi air itu pada seisi rumah. Ia memperlihatkan hasil buruannya dari pasar kepada Sang Adik, Bunda dan Kakek. Mereka tampak gembira.
Malam harinya dalam kamar, Nana terpaku menatap ikan-ikan mas dalam sebuah toples transparan di atas meja. Ia duduk di atas kasur dan bersandar pada tembok, dalam balutan selimut ia memperhatikan ikan-ikannya berenang dari kejauhan. Sayup-sayup terdengar suara Nana yang sedang mengajak bicara peliharaan barunya. Beberapa saat kemudian suara itu tak terdengar lagi. Bunda membuka pintu kamar, tampak Nana sudah terlelap dalam tidurnya. Mungkin Nana sedang memimpikan ikan-ikan itu. (RD)

Penantian Icha

   Malam ini Icha belum dapat memejamkan mata, walaupun waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. "Icha mau menunggu Ayah pulang, Bundaaaa..."sambil merengek Icha memegang pergelangan tanganku. Ia sudah bersiap untuk tidur, selimut sudah aku pakaikan ke seluruh tubuhnya. Ia sudah berbaring di sebelahku. Aku menghela nafas,"Ayah tidak pulang malam ini, Icha. Ayah masih kerja," aku berusaha menjelaskan perihal ketidakpulangan ayahnya yang sedang bertugas keluar kota. "

"Ayah kerjanya seperti apa,Bunda?" tanyanya menyidik. Sejenak aku tertegun, lalu berpikir,"Seperti Bunda, Sayang. Ayah kerja di depan laptop seperti Bunda." "Ooh... Ngetik ya?" tanya Icha. Aku mengangguk perlahan. "Ooh... Kalau gitu siapa nanti yang tidur di situ, Bunda?"Icha menunjuk tepi ranjang yang biasa ditiduri oleh ayahnya. Aku tertegun lagi, "Ooh iya..yaa... Nanti yang tidur di situ Bunda dan Icha saja." Sementara waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Icha belum bisa tidur juga...(RD)

Friday 27 September 2013

Dina dan Perpustakaan



 Dina tiba di perpustakaan sekitar pukul sembilan pagi. Hal asing yang sangat jarang ia lakukan adalah mengunjungi perpustakaan. Mulai saat ini ia harus membiasakan diri berkutat di dalamnya untuk kepentingan pembuatan skripsi.
Para mahasiswa sudah mulai berdatangan satu per satu memasuki pintu utama. Dina tampak ragu saat hendak memasukinya. Semua mahasiswa tampak percaya diri seolah-olah ini adalah rumah yang nyaman bagi mereka. Namun bagi Dina, tempat ini adalah bangunan asing yang menakutkan.
Kecemasan lebih banyak dirasakannya saat ia tidak mengetahui di bagian rak buku mana tempat diletakkan buku-buku yang sesuai dengan minatnya. Ia bingung mencari ke sana ke mari karena ini adalah kali pertama ia masuk perpustakaan. “Ah, apalah asyiknya tempat seperti ini, bukunya berdebu, tak ada yang baru dan kondisinya seperti buku loakan. “ Dina bergumam dalam hati. Namun diambilnya juga salah satu buku dan ia memilih bangku di sudut ruangan untuk membacanya.
Sebelum membuka lembaran buku, ia menyebarkan pandangan ke seluruh ruangan. Tampak mahasiswa dan mahasiswi tengah asyik dengan bacaan masing-masing. Mereka seperti  menenggelamkan hidung  ke dalam lembaran buku. “Ya ampun, apa pula asyiknya berada dalam tempat suram seperti ini. Mana panas lagi.” Sekali lagi Dina mengeluh dalam hati. Apalagi seluruh tubuhnya bercucuran keringat akibat terkena pancaran sinar matahari dari balik kaca jendela.
Akhirnya ia tak tahan dan segera bangkit mengambil beberapa buku lagi untuk ia pinjam dan baca di rumah. Buku yang sekiranya berkaitan dengan judul skripsi yang ia pilih. Walaupun buku itu menjijikkan baginya, namun ia bertekad untuk mengalahkan egonya.
Sesampai di rumah hari sudah siang. Dina memilih untuk melepas penat dengan menonton televisi dalam kamar. Lalu sekitar pukul empat sore, Dina pergi ke dapur untuk membuat secangkir teh hangat untuk dirinya sendiri. Setelah itu ia naik ke atas loteng, tempat di mana ia biasa menghabiskan waktu di sore hari sambil menikmati sinar mentari yang hendak turun ke peraduan, tempat favorit Dina yang beratapkan langit walaupun ada beberapa lembar jemuran kering yang melambai-lambai oleh tiupan angin.
Ia meletakkan teh hangat dalam cangkir cantik itu ke atas meja. Dan ia juga meletakkan beberapa buku yang berasal dari perpustakaan tadi pagi. Sejenak mata Dina menerawang dan mengatur irama nafasnya sambil menikmati pemandangan langit di sore hati. Beberapa saat kemudian ia teguk minuman itu. Dan sejurus kemudian, ia mengambil salah satu buku untuk ditaklukkan. Dina geram, akibat suasana yang kurang nyaman tadi pagi di pepustakaan, maka ia tak dapat berkonsentrasi pada isi bacaan. Kini ia berhaap, dengan suasana tenang yang ia pilih di rumahnya sendiri, maka esensi bacaan itu akan mudah didapatkan.
“Uh, apa ini?!” Dina menepok jidatnya. “Aaaiittsshuuu…!!” diiringi bersin setelahnya. Buku itupun terlempar beberapa meter. Dina tiba-tiba bersin pada saat pertama kali membuka cover bukunya, dan Dina merasakan gatal di sekitar mukanya. Segera ia pungut kembali buku itu, tampak sebuah buku tua yang sudah berwarna kuning kertasnya, dan bau ngengat di tiap lembarnya. Apakah banyak kuman bersarang di dalamya sehingga kuman itu menempel di mukanya dan menimbulkan rasa gatal.
Dina menghempaskan diri duduk di kursi kembali. Pandangannya kembali menerawang jauh menikmati cakrawala. Dan beberapa saat kemudian langit menjadi gelap, adzan magrib berkumandang, Dina memutuskan masuk kembali ke dalam rumah walau belum berhasil membaca satu buku pun.(RD)
               

Monday 23 September 2013

Terjebak

"Ayo, lekas tekan tombol keluar!" Prita memberi aba-aba pada Laura, adiknya.

"Tidak bisa, Kak! Susah sekali!" Laura merasa putus asa karena sudah mencoba berkali-kali.

"Apa maksudmu? Cepat lakukan. Jika tidak, kita semua akan mati!" Pekik Prita panik. Mereka terjebak dalam ruang bawah tanah. Ruang yang tidak mereka ketahui sebelumnya. Di bawah rumah tua itu, ternyata bersemayam benda-benda tua bersejarah yang menyimpan magis. Mereka berdua nekad menerobos masuk pintu terlarang itu.

"Ini semua salahmu, Kak! Kau yang telah menggiring kita ke sini." Laura semakin putus asa karena belum berhasil menekan tombol keluar itu.

"Apa maksudmu? Bukankah kau yang telah memaksaku menerobos pintu masuk itu!" Suara Prita meninggi.

Walaupun sudah mencoba berkali-kali, namun tangan Laura tetap tak dapat bergerak. Tiba-tiba saja tubuhnya diam seperti patung. Seakan ada yang mencoba menghalangi dengan sihir magic nya, tubuh Laura membatu. Semakin lama susah untuk digerakkan.

Sedangkan kaki Prita terjerat tali, yang entah darimana datangnya telah mengikat kuat kedua kaki Laura saat hendak menyelamatkan diri.

Kedua kakak beradik itu terjebak dalam ruang bawah tanah rumahnya sendiri. Setelah belasan tahun Kakek dan Nenek berhasil menjauhkan orang-orang terdekatnya dengan membuat pengaman pintu berlapis baja, namun kali ini berhasil ditembus oleh kedua gadis itu. Mereka baru berusia belasan tahun, namun telah berhasil memecahkan misteri rumah tua itu.

Sementara itu suara gemuruh semakin menggelegar. Semua yang ada di sekitarnya berguncang keras. Seakan bangunan yang ada di atasnya mau roboh dan menembus lapisan bawah tanah. Goncangan itu semakin keras dan bertambah paniklah kedua gadis itu.

"Gempa! Gempa! Cepat lakukan sesuatu Laura! Teriak Prita yang tak dapat berbuat apa-apa. Ia masih beberapa meter jauhnya dari pintu keluar. Sedangkan Laura hanya berjarak beberapa inchi dari pintu keluar. Sayang sekali tombol itu tak dapat diraihnya. Tubuhnya masih membatu.

Laura menangis, berteriak dan mengerang. "Toloooong! Toloooong! Adakan seseorang di luar sana?! Tolong bantu kami keluaaaar." Laura terisak putus asa. Air matanya meleleh, tubuhnya semakin mengeras. Ia akhirnya pasrah, kedua bibirnya menjadi kaku dan tak dapat digerakkan. Laura tak dapat lagi berteriak minta pertolongan.

Tiba-tiba terdengar suara dari balik pintu. Sesorang atau mungkin lebih berusaha mendobrak paksa pintu itu. Suaranya terdengar jelas sekali walaupun saling bersahutan dengan suara gemuruh dan benda-benda berjatuhan. Gempa itu langsung lenyap bersamaan dengan jebolnya pintu oleh sebuah buldozer yang dikemudikan oleh seseorang.

Suasana mendadak sunyi, hanya tersisa suara dari sebuah mesin yang dikemudikan oleh lelaki berambut putih. "Kakek! Kakek!" Teriak Laura penuh rasa haru. Air matanya tumpah ruah sambil berlari untuk memeluk Kakek. Lelaki tua itu tersenyum, sementara seseorang menyusul masuk ke dalam. Perempuan cantik yang juga berambut putih itu memeluk dan mengguncang-guncangkan bahu Laura. "Bangun Laura. Bangun Laura," suara Nenek membuat mata Laura terbuka.

"Nenek, Kakek. Kaliankah itu?" Laura membuka kelopak matanya. Tak ada siapa-siapa di sekitarnya. Suasana sunyi senyap. Terik mentari menyembul dari balik tirai yang tersingkap. Laura terjaga dari tidur siangnya. Ia bangkit dari tempat tidur dan berlari keluar kamar mencari Prita kakaknya.

"Kakaaak," tangis Laura meledak sambil memeluk Prita yang sedang menyiapkan makan siang di dapur.

"Kenapa? Mimpi buruk lagi?" Prita tersenyum.
"Kakek... Nenek..." Laura menangis sesenggukan. Beberapa hari ini Laura selalu memimpikan Kakek dan Nenek. Prita menyadari hal itu dan memeluk erat sang adik sambil berkata,"Mari kita berdo'a bersama-sama, agar arwah Kakek dan Nenek dilindungi oleh Allah di akhirat sana."
(RD)

Hari Pertama

Ia melirik perlahan, penuh keraguan. Berjalan tanpa ada senyuman, sambil menggenggam erat tangan seorang wanita. Sedetik kemudian air matanya tak tertahankan, meleleh sedikit tanpa ada seorangpun yang menyadari. Dan ketika genggaman itu terlepas, tiba-tiba tangisnya meledak. Seisi ruangan terhentak, dan semua orang tak ingin melewatkan saat-saat mendebarkan perpisahan mereka.

“Mamaaa…! Mamaaa…! Didin takuuuut…. Huuuu…uuuu…,” teriak lelaki mungil itu sambil berusaha menarik kembali tangan mamanya.

 “Didin harus berani. Didin harus sekolah ya nak…” bujuk sang mama saat hendak melepas buah hatinya masuk kelas.

 “Takut mamaaaa…. Didin minta pulang ajaaa…. Huuuu…uuuu,” tangisnya makin meronta.

Wanita itu tak kuasa melepas begitu saja lelaki yang sangat dicintainya itu. “Baiklah, mama akan temani Didin dalam kelas,” sang mama berusaha menenangkan buah hatinya di hari pertama masuk sekolah playgroup. (RD)

Semut yang Baik Hati


 "Kenapa kamu bersedih?" Tanya seekor semut pada manusia di hadapannya. Ia memperhatikan sosok gadis mungil yang sedang duduk di balik pintu kamarnya. Tentu saja ia tak dapat mendengar sapaan semut, karena ia seorang manusia. Namun rasa iba yang begitu mendalam telah membuatnya enggan untuk beranjak. Ia pandangi terus gadis itu sambil menunggu reaksi selanjutnya. Tiba-tiba ada sebongkah air jatuh mendarat tepat beberapa inchi darinya, sehingga semut berteriak, "Hujan! Hujan!" 

 Semut lari tunggang langgang sambil berteriak mencari pertolongan, namun ia mendengar suara isak tangis. Semut menoleh, dan melihat bulir-bulir air mata berjatuhan ke lantai. Seketika langkahnya terhenti, dan berbalik mendekati gadis itu.

 Semut memberanikan diri mendekatinya dan bertanya, "Hai teman, kenapa kau bersedih?" Gadis itu tak bereaksi, karena tentu saja tak dapat mendengar suara semut. Menyadari bahwa suaranya tak dapat didengar, maka semut memberikan serpihan roti yang baru ia temukan di sudut kamar.

 "Apakah kau lapar?" Tanya semut sambil menyodorkan serpihan roti hasil buruannya. Ia mengamati gadis itu. Perlahan sang gadis melihat ke bawah dan tiba-tiba terperanjat.

 "Aaaarrrgg...! Mamaaa! Mamaaa ada semut jahat, aku takuuut...!" Gadis kecil berlalu meninggalkan semut yang kebingungan. (RD)

Friday 7 June 2013

Rumah Pohon untuk John

Dora memungut satu persatu kulit pisang yang berserakan di halaman rumahnya. Pasti ini ulah John, si monyet nakal sekaligus menggemaskan. Sejak diasuh Dora beberapa hari yang lalu, John kerap kali membuat ulah. Di dalam maupun di luar rumah selalu penuh dengan sampah kulit pisang bekas makannya. Beruntung Dora tidak pernah marah, karena ia sangat menyayanginya. Di sisi lain, mama Dora tidak terlalu suka dengan hewan piaraan baru putrinya. Sebab di antara hewan-hewan lain yang pernah tinggal di dalam rumah, hanya John lah yang terlalu sering membuat seisi rumah jadi berantakan.

“Dora, kenapa tidak kamu buatkan saja rumah pohon untuk monyet itu. mama tidak suka ia tinggal di rumah ini,” tegur sang mama suatu hari. Dora tersenyum, ia maklum dengan ucapan mama. Usul mama bagus juga, pikir Dora. Untuk sementara John lebih baik tinggal di rumah pohon daripada membuat penghuni rumah yang lain merasa tidak nyaman. “Baik Ma, akan kucoba membuat rumah pohon,” jawab Dora.

Hari itu juga Dora pergi menemui Diego, teman sepermainan Dora yang pandai membuat rumah pohon. Ia meminta tolong Diego untuk mengajarkan bagaimana cara membuat rumah pohon. Lalu mereka berdua pergi ke halaman rumah Dora yang luas. Merekapun mengumpulkan kayu-kayu yang sudah tidak terpakai dari dalam gudang untuk dijadikan rumah pohon. Sementara John bebas berkeliaran di sana sini sambil memakan pisang.

Beberapa jam kemudian rumah pohon sudah selesai. Dora dan Diego senang, hasil kerja mereka kelihatan bagus. John kelihatan sangat menyukai rumah pohonnya yang baru, ia melompat ke sana ke mari sambil bertepuk tangan lalu masuk ke dalamnya.
(Rd)

Monday 7 January 2013

Biarkan Mengalir Bagai Air

Seberapa jauh kau menghindar, kalau sudah menjadi takdir maka kau tak akan dapat menghindar. Sesuatu yang telah diusahakan agar tidak menjadi seperti yang kita takutkan tapi toh pada akhirnya terjadi juga, itu yang namanya takdir. Serahkan saja semuanya pada yang maha kuasa.

Seperti kematian, sejauh apapun kau berusaha melupakan dan mengalihkan perhatian agar tak merasakan pedih perihnya kematian, tetap saja hal itu akan menghantuimu. Maka jalan yang lebih tepat mungkin dengan menghadapinya. Menghadapi kematian dengan mempersiapkan datangnya kematian itu sendiri mungkin akan meminimalisir rasa takut. Mengatasi rasa takut adalah dengan menghadapi apa yang ditakutkan itu sendiri. Biarkan saja semua megalir bagai air, biarkan… biarkan… biarkan. Relakan semuanya terjadi tentang segala hal yang tak mampu kau mengendalikannya lagi.

(Rd)