Sunday 27 June 2010

Senjata Makan Tuan

Meja Bangku BaruImage by solidaritas KEBERSAMAAN via Flickr

Namaku Tina. Aku hanyalah seorang gadis belia berusia 9 tahun. Saat ini duduk di sekolah dasar kelas 3. Teman-temanku banyak, aku tak tahu apa yang membuat mereka suka padaku, padahal aku seorang yang pendiam dan tak suka beramah tamah. Walaupun demikian aku tak ambil pusing ketika setiap pagi mereka selalu berebut menyalin jawaban PR ku sebelum lonceng tanda masuk berbunyi. Begitulah yang mereka lakukan setiap pagi. Tak jarang juga mereka selalu mendatangiku malam sebelum ujian berlangsung, untuk belajar bersama denganku, begitu alasan mereka.


Aku seorang gadis biasa yang tidak begitu cantik dan belum akil baliq, jadi belum mengenal apa arti cinta. Teman-teman selalu menjodohkanku dengan teman lelaki. Hari ini dengan si Bram, besok dengan si Rizki, begitu seterusnya. Apa maksud mereka, ah aku tak begitu peduli. Yang kutahu setiap hari aku harus belajar dan belajar. Membaca memang hobiku, dan belajar adalah kewajibanku. Setiap jam istirahat berlangsung, mereka sering mentraktirku. Makanan apa saja yang aku inginkan, mereka bersedia bayar. Ah, aku yang berasal dari keluarga bersahaja tak menolak jajanan apa yang mereka suguhkan padaku. Maklum, aku jarang makan enak di rumah. Ayah bekerja sebagai buruh bangunan dan ibu berjualan kue sehari-harinya untuk menyambung hidup.


Suatu ketika, aku kebagian piket pagi membersihkan kelas. Sekolah masih sepi saat aku memasuki kelas. Sebelum mengambil sapu seperti biasa aku meletakkan tas terlebih dulu ke dalam laci di bawah mejaku. Namun saat aku memasukkan tanganku, ada cairan lengket mengotori tas dan jemariku.


“Aaaaaaaaarrrgggg….!!!” Spontan aku berteriak. Rupanya cairan itu berasal dari plastik hitam yang disembunyikan di bawah mejaku. Setelah kurogoh plastik itu dan kubuka, bulu kudukku langsung berdiri. Sekumpulan cacing tanah yang saling melilit satu sama lain berjalan merambat. Kulihat lendir menetes melewati jemariku. Secepat kilat langsung kulempar jauh-jauh bungkusan itu ke halaman sekolah.


Siapa yang tega berbuat ini padaku? adakah seseorang yang membenciku hingga ingin membuatku ketakutan setengah mati. Untung tak ada seorangpun yang mendengar teriakanku, jika tidak aku bisa malu. Kalaupun ada yang tahu pasti orang itulah pelakunya dan secara diam-diam memperhatikanku dari kejauhan.


Bel masuk kelas telah berbunyi. Akupun bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Baru berjalan sekitar 15 menit ketika pak guru menerangkan di kelas, tiba-tiba Rina yang duduk di sebelahku berteriak. Ada seekor cacing tanah mirip seperti yang kutemukan tadi pagi sedang melilit di sepatu Rina, ia pun pingsan. Pak guru langsung menghampiri bangku kami. Semua mata tertuju pada tubuh Rina yang lunglai dan bersandar lemas di pundakku.


“Siapa yang menaruh cacing di sepatu Rina?” Tanya pak guru pada semua murid di kelas ini. Semuanya diam tak ada yang angkat bicara.


“Apa kau tahu darimana binatang ini berasal Tina?” Tanya pak guru sambil memicingkan mata ke arahku. Kacamatanya yang sedikit melorot dan sorot matanya yang tajam membuatku gemetaran.


“Tidak pak… mungkin… mungkin…” tiba-tiba saja kalimatku jadi terbata-bata. Antara takut menghadapi pak guru dan juga takut dengan kemunculan cacing tanah itu, pikiranku jadi tidak karuan.


“Saya tahu pak! Tina pelakunya!” teriak seseorang dari bangku belakang. Jantungku semakin berdegup kencang. Siapa yang berani menuduhku?! Aku langsung mengangkat muka. Kami semua menoleh ke arahnya. Jasmine , murid tercantik di kelas ini, sedang angkat bicara. Ia telah menuduh akulah pelakunya.


“Tadi pagi saya melihatnya membuang sesuatu keluar kelas. Ketika saya periksa ternyata ia membuang sebuah bungkusan dalam plastik hitam berisi cacing tanah,” sambungnya sambil menuding ke arahku.

“Benar semua itu Tina?” Tanya pak guru sekali lagi sambil memicingkan mata ke arahku. Kacamatanya yang semakin melorot membuatku semakin tidak bisa berucap, cahaya yang memantul dari kacamatanya membuat mataku silau.


“Sa… sa… saya memang membuang bungkusan berisi cacing itu pak, tapi bukan saya yang membawanya masuk ke dalam kelas ini,” jawabku membela diri.


“Bohong! Lalu mengapa kamu datang pagi-pagi sekali hari ini?! Ini semua bagian dari rencanamu kan? Supaya tidak ada yang tahu bahwa kamu pelakunya!” bentak Jasmine di depan teman-teman sekelas.


“Huuuu….!” Teman-teman menyoraki perkataan Jasmine. Sementara itu Rina segera dibawa ke ruang UKS oleh teman-teman, sedangkan aku dihukum berdiri di depan kelas sampai bel pulang sekolah berbunyi. Selama terpaku di depan kelas, aku hanya bisa menangis dan menundukkan kepala.


Keesokan harinya, aku berjalan tertunduk memasuki kelas. Masih teringat dengan kejadian kemarin, ditambah dengan rasa malu akibat tuduhan Jasmine yang dilemparkan padaku. Tanpa sepatah katapun aku berusaha menghadapi hari itu di sekolah dengan penuh ketegaran.


“Anak-anak, teman kalian Jasmine hari ini tidak masuk karena sedang sakit. Siapa yang akan menjenguk sepulang sekolah nanti?” kata pak guru di depan semua murid. Dalam hati aku bertanya-tanya, mengapa tiba-tiba Jasmine jatuh sakit. Walaupun dalam hati aku menyimpan rasa marah terhadapnya, namun aku juga penasaran dengan sakit yang dideritanya.


“Kau baik-baik saja Tina?” tanya Rina yang sedari tadi memperhatikan sikapku.

“Ah Rin… seharusnya aku yang bertanya padamu, apa kau sudah baikan setelah pingsan kemarin? Percayalah bukan aku pelakunya…” jelasku pada Rina teman sebangkuku, tatkala ia memandangi wajahku.


“Aku percaya bukan kau pelakunya Tin… kau tahu tidak Jasmine sekarang sedang sakit apa?” tanya Rina padaku.

“Tentu saja tidak… bukannya dia kemarin terlihat baik-baik saja?” tanyaku balik padanya.


“Iya… tapi kabar yang kudengar, tadi pagi Jasmine muntah, dan dalam muntahannya ditemukan cacing. Setelah diperiksakan ke dokter rupanya Jasmine terkena cacingan,” jawab Rina dengan muka serius sambil memicingkan matanya padaku.


“Apa?!” tanyaku tidak percaya.

“Jadi semua pasti tahu pelakunya adalah Jasmine sendiri. Mungkin ia iri dengan segala keberhasilanmu di kelas ini Tin, sampai ia tega menuduhmu.”


Aku hanya bisa menarik nafas dan menggeleng-gelengkan kepala mendengar berita itu. Rupanya senjata sudah makan tuan. Siapa menanam, dia pula yang akan menuai hasilnya.
Enhanced by Zemanta

2 comments:

  1. tulisan nya hebat dan suka banget gaya tulisan nya, walaupun panjang...
    selamat malam...

    ReplyDelete
  2. wah...thanks...jadi tersanjung...^^

    ReplyDelete

Senang sekali Anda sudah mau berkunjung. Jika berkenan meninggalkan komentar di sini tempatnya... terima kasih.