Friday 15 August 2014

Masa Lalu

Aku terdiam, hingga lupa untuk mengedipkan bola mata. Kupandangi sosok wanita yang sedang menangis itu beberapa saat setelah terlepas dari dekapan seorang lelaki, di area sebuah stasiun. Mereka sempat berpelukan sesaat lalu sang lelaki membisikkan sesuatu yang membuat si wanita menangis. Adegan dramatis dan romatis itu sempat menarik perhatian beberapa orang yang melintas. Sepertinya mereka tidak lagi memerhatikan orang-orang sekitar, seakan berada dalam dunianya sendiri.

Si wanita berlinang air mata, sedang si lelaki berusaha menenangkannya. Tebakanku mungkin tidak salah, mereka adalah sepasang kekasih yang hendak dipisahkan oleh jarak. Hal yang biasa terjadi namun menjadi tidak biasa ketika adegan sebuah perpisahan yang romantis menjadi pemandangan nyata dan bisa dilihat banyak orang. Aku tertegun.

“Apa yang sedang Anda lihat, Bu?” tanya temanku. Aku hampir lupa bahwa aku sedang bersama rekan kerjaku. Kami sedang menjemput salah seorang rekanan yang datang dari luar kota. Aku masih tertegun dan kelihatan seperti orang melamun walaupun kedua sejoli yang sempat menjadi perhatian tersebut sudah tak nampak lagi. Aku hanya tersenyum. “Saya jadi ingat masa lalu, Bu,” jawabku. Teman kerjaku itu nampak tak paham, namun sepertinya ia tak ingin mempertanyakan lebih jauh lagi karena beberapa saat kemudian kereta yang kami nantikan telah datang.

Kamipun tiba di kantor sedikit terlambat karena harus menjamu tamu Boss untuk makan siang di luar. Baru saja akan melanjutkan pekerjaan di depan laptop, tiba-tiba dari ruang sebelah terdengar suara orang yang sedang berdebat. Pak Boss dan tamu yang baru kami jemput di stasiun tadi sedang berdebat. Mereka membuat kami semua yang berada di ruang kerja sebelah panik. Perseteruan mereka tidak dapat kami dengar jelas. Namun meski samar, kata terakhir yang keras terdengar adalah, “B*ngs*t kau!”

Jantungku berdetak cepat, tak habis pikir mengapa bisa mereka berseteru hebat. Tiba-tiba terdengar suara pintu yang dibanting. Tamu rekanan tadi keluar dari ruangan Si Boss sambil setengah berlari menenteng koper yang lumayan berat. Mukanya merah padam, keringatnya bercucuran dan jas yang dipakainya tampak kusut. Tanpa menoleh pada siapapun ia berlalu meninggalkan kantor kami.

Astaghfirullah. Aku tak dapat berbuat apa-apa. Lemas rasanya raga ini, otakku tak mampu berpikir jernih alias shock. Beberapa teman kerjaku tampak berbisik-bisik tanpa ada yang berani masuk atau menanyakan ke dalam ruangan si Boss, atau sekedar melihat keadaannya saat ini. Sedang aku duduk terpaku di depan laptop yang sedang menyala. Ingatanku mengembara dan berkelana ke beberapa tahun silam. Masa lalu, masa lalu dan masa lalu.

Dulu, aku juga begitu, sosok wanita yang tak mampu mengendalikan emosi, selalu berteriak lantang dengan kata-kata kotor di kala murka. Astaghfirullah, sangat merasa berdosa dengan masa lalu walaupun itu sudah bertahun-tahun yang lalu.

Semoga saja aku bisa terus berbenah, bisa terus memperbaiki segala sikap dan lisanku, terutama dalam menghadapi situasi yang menyulut emosi. Amin.

(Rd)
*seperti yang pernah dituturkan oleh salah seorang sahabat

12 comments:

  1. Syukurlah kalau tabiat itu sudah menjadi masa lalunya...

    ReplyDelete
  2. mari,menyelami masa lalu kemudian menutupnya dan mengambil hikmah...

    ReplyDelete
    Replies
    1. iyaa, masa lalu diambil hikmahnya aja sebagai acuan dalam melangkah ke depan..

      Delete
  3. dan aku pun turut mengambil hikmah dari tulisan ini
    semoga kita semua tak mudah tersulut emosi.

    ReplyDelete
  4. Wah ada kata B*****sat juga hiheiheiheiiee
    Sereeeeeeeeeeem

    ReplyDelete
  5. pengalaman masa lalu dijadikan cermin untuk kita belajar ya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mak, barangkali ada yg mau mengambil hikmah dari pengalaman ini makanya saya tulis..

      Delete
  6. hari ini harus lebih baik dari kemarin, dan besok harus lebih baik dari hari ini, thanks for share mak :)

    ReplyDelete

Senang sekali Anda sudah mau berkunjung. Jika berkenan meninggalkan komentar di sini tempatnya... terima kasih.