Tuesday 23 March 2010

terjebak dalam remang

Dalam diammu aku tak sanggup mengumbar kata-kata walau sekecap. Diammu adalah gundahku. Lebih baik kutelan ucapanmu dalam-dalam, agar dirimu tenang. Buanglah segala keluh kesahmu, agar jiwamu tak sengsara. Biar semuanya tertampung dalam ruang hampa di benak ini. Setelah masuk dalam diriku, maka semuanya akan menjadi beku dan membatu. Saat itulah diriku semakin lama menjadi semakin kebal dengan segala ucapan yang menyengsarakan. Karena setiap yang kaumuntahkan, akan kutelan mentah-mentah dan kukunci rapat hingga semuanya tak terasa lagi.

Diri ini hanyalah seorang perempuan yang tidak memiliki kuasa untuk sekedar berkata tidak. Segala yang kaukatakan tidak atau iya, aku ikut saja. Kemanapun kau pergi aku turut. Apapun yang kau ingin, aku amini.

“Pergilah dengan Frans malam ini, daripada kamu di rumah terus. Ia ingin mengajakmu jalan-jalan keliling kota ini,” kata Rio di suatu sore, ketika aku duduk bersebelahan dengannya di teras rumah, sambil memandang jauh bunga-bunga yang sedang bermekaran di halaman depan.

Suasana sore yang sangat menyejukkan, sesejuk hatiku yang kala itu sedang kasmaran terhadap suamiku sendiri, Rio. Kami baru menikah 3 bulan yang lalu. Aku diboyongnya ke Jakarta sehari setelah pesta pernikahan kami yang diadakan sederhana di kampungku. Namun aku masih tak mengerti dengan maksud perkataannya yang menyuruhku pergi dengan Frans, sahabat karibnya yang baru dikenalkannya padaku kemarin sore.

“Kau ikut juga kan mas?” tanyaku manja sambil bergelanyut ke lengan Rio.

“Tidak sayang… aku di rumah saja menyelesaikan tugas-tugas ini untuk meeting besok pagi,” jawabnya sambil mengecup mesra keningku.

Malam itu Rio memilihkan gaun yang akan kukenakan jalan-jalan dengan Frans. Walaupun lelaki, namun Rio sangat pandai dalam memilihkan segala pernak-pernik perempuan seperti gaun pink mini yang kukenakan ini, ditambah dengan kalung dan anting sebagai pemanis yang telah dipasangkannya padaku. Bagiku yang hanya seorang perempuan desa, hal itu sangat menyenangkan. Didandani menjadi perempuan cantik seperti ini menjadi suatu hal yang baru dan sekaligus menyenangkan. Aku berputar-putar di depan cermin.

“Benar kau tak ikut sayang?” aku memastikan sekali lagi.

“Tidak, aku sudah cukup lelah hari ini,” jawabnya singkat dengan senyum simpul kecil.

Tidak lama kemudian bel pintu depan berbunyi. Rio segera membukakan pintu. Sekilas terlihat mereka sedang berbisik. Setelah itu Rio berjalan ke arahku dengan senyum manisnya, diikuti Frans di belakangnya yang saat itu mengenakan kemeja hitam. Wangi aroma tubuh Frans tercium menyengat saat ia dan aku berjalan beriringan memasuki sedan hitam miliknya.

Entah kemana tujuan kami malam itu, yang jelas aku sudah membayangkan tempat-tempat indah yang akan kami kunjungi. Gemerlap kota Jakarta di malam hari sangat menakjubkan dan membuatku semakin ingin berlama-lama dengan Frans di malam itu.

Frans tipe lelaki yang tak banyak bicara, akupun juga begitu. Namun kebaikan Frans mengajakku berkeliling kota besar ini tak membuatku berpikir macam-macam tentang gelagat Frans yang sebenarnya, sampai pada akhirnya ia memaksaku bermalam satu kamar dengannya di sebuah hotel.

Ya… aku sudah terjebak dengan seorang lelaki hidung belang. Malam itu aku tak kuasa
menolak segala keinginan Frans untuk bersetubuh denganku. Entah apa yang ada dipikiranku saat itu. Antara berontak dan bingung, mengapa Rio suamiku sendiri menyerahkan kehormatanku pada lelaki busuk ini?!

4 comments:

  1. suami macam apa yang tega menjual istrinya sendiri! sangat menyedihkan!!!

    ReplyDelete
  2. @albertus : suami yg tega seperti itu pastinya tidak cinta terhadap istri, dan mempermainkan sebuah pernikahan...

    @mlatenmania's blog : ^_^

    @wawan : peace...

    ReplyDelete

Senang sekali Anda sudah mau berkunjung. Jika berkenan meninggalkan komentar di sini tempatnya... terima kasih.