Thursday 30 April 2015

#BeraniLebih Berbeda dari Hal yang Dianggap Umum

Kehidupan normal yang dianggap wajar oleh sebagian orang, sempat menjadi tujuan hidup saya. Lulus kuliah lalu bekerja, setelah itu menikah dan memiliki anak. Sama sekali tidak terpikirkan untuk meninggalkan karir yang sudah dirintis susah payah mulai nol dengan kemampuan diri sendiri. Tidak memakai bantuan orang dalam meskipun saya memiliki koneksi dalam suatu instansi ternama yang tidak lain adalah saudara sendiri.

Berbekal rasa percaya diri dan semangat menggebu-gebu, saya merangkak sekuat tenaga hingga mendapatkan penghasilan sendiri. Sejak tidak bergantung pada orangtua saya merasa sangat lega. Siapa yang menyangka jika setelah menikah dan melahirkan dua orang putri, saya justru lebih nyaman untuk selalu berada di dekat anak-anak. Rencana untuk kembali bekerja setelah anak-anak lahir pun kandas. Di saat kedua adik saya melejit dengan karirnya masing-masing, saya sebagai anak tertua justru melepas karir yang cemerlang.

Sedikitpun tak ada rasa takut untuk terpuruk meski sempat dijuluki sebagai anak yang paling gagal dari tiga bersaudara. Sedih, sakit hati dan kecewa sempat terlintas namun tetap saja bisa kembali fokus pada apa yang paling penting di hadapan saya saat ini, yaitu anak-anak. Berani menjadi berbeda dengan saudara-saudara saya merupakan langkah awal untuk tidak selalu mengikuti pemikiran orang lain yang dianggap wajar namun bertolak belakang dengan kata hati saya.

Setelah anak-anak mulai memasuki usia sekolah, saya mulai mendaftarkannya pada sebuah kelompok bermain. Awalnya hanya agar si anak belajar bersosialisasi namun pada kenyataannya karena sesuatu hal anak-anak saya sempat tidak mau sekolah. Tidak terbersitpun pemikiran untuk memaksa mereka masuk kelas saat mereka merasa tidak nyaman. Mungkin karena pergaulan yang dirasa masih sulit untuk mereka masuki, atau karena tekanan dari suasana sekolah yang asing, anak saya menjadi tidak mau sekolah. Meski pihak guru menegur saya karena dianggap menyerah pada kemauan anak, saya tetap bersikukuh untuk tidak memaksa si anak sekolah. Saya sungguh tidak tega melihat anak saya menangis dalam kelas hingga ia meraung-raung dan mengulurkan tangannya pada saya yang terpisah oleh tabir kaca.

Saya juga tidak terlalu menurut pada saat pihak guru tidak memperbolehkan orangtua menunggui putra-putrinya di sekolah. Saya merasa ini adalah hak saya sebagai orangtua, menunggu si buah hati di luar kelas hingga selesai jam kelasnya. Kapan lagi saya bisa sedekat ini dengan anak jika tidak sekarang. Selagi sempat, saya akan memberikan waktu untuk anak-anak saya. Usia manusia tidak ada yang bisa menerka.

Di sekolah taman kanak-kanak itu, di saat teman-teman anak saya sibuk mendapatkan pelajaran tambahan sepulang sekolah, saya justru membiarkan anak-anak saya bebas setelah jam pelajaran usai. Tidak ada les pelajaran untuk kedua putri saya yang masih duduk di PAUD. Sayalah yang akan memberi mereka pelajaran tambahan, itupun melihat situasi hati mereka. Saya tidak mau latah seperti orangtua lain yang cemas jika putra-putrinya tidak bisa calistung meski masih duduk di bangku TK. #BeraniLebih berbeda dari orang lain sepanjang yakin bahwa langkah saya tepat, akan selalu saya lakukan.

FB : Rosita Dani
Twitter : @rositazh

Tulisan ini diikutsertakan dalam Kompetisi Tulisan Pendek #BeraniLebih Komunitas @Light of Woman

1 comment:

  1. Saya juga gak lesin anak Mbak, juga gak masukin anak ke TPA, semuanya saya yang ajarkan di rumah. Untuk sosialisasi, saya berikan jatah main ke luar bersama teman-temannya tiap sore...

    ReplyDelete

Senang sekali Anda sudah mau berkunjung. Jika berkenan meninggalkan komentar di sini tempatnya... terima kasih.