Tuesday 20 July 2010

Suara Hati (repost )

Melepuh…oh kulitku mulai melepuh,” teriakku dengan mata terbelalak di muka cermin, di pagi hari saat baru terbangun dari tidur. Mimpiku semalam menjadi seorang wanita cantik dan diperlakukan bak seorang putri cantik telah luluh bersama cita dan harapanku. Ternyata masa-masa indah beberapa saat yang lalu hanyalah sebuah mimpi. Di umurku yang tidak muda lagi aku mulai dilanda ketakutan akan menjadi tua, berbadan bungkuk memakai tongkat dan rambut beruban.

Oh Tuhan, siapa yang ‘kan mencintai dan memujaku jika kulit di dahi ini sudah menampakkan kerut-kerut yang menakutkan. Siapa yang ‘kan meneriakkan dan mengelu-elukan namaku di lubuk sanubari jika rambut putih mulai menguasai kulit kepala ini.

“Siapa kamu? Mengapa kau sangat mirip denganku?” tanyaku pada sesosok bayangan di dalam cermin, lalu bayangan itu menatapku.

“Aku adalah dirimu dua puluh tahun mendatang. Lihatlah aku dengan seksama,” jawab bayangan itu dengan senyuman. Rambutnya putih beruban, sedang kulit mukanya keriput. Mirip denganku, hanya wajahnya kelihatan sedih dan lesu. “Apa yang sedang kaurisaukan?” tanya bayangan itu.

Sejenak kukesampingkan, segala yang mencegahku bersuka cita. Hanya diam dan mencegah rasa ini keluar dari hati yang beku, yang ‘kan akibatkan hati di luar sana bergejolak tak tentram. Jikalau tidak, ia akan menerbangkan gelas kaca hingga hancur lebur di tempat kaki ini berpijak. Hingga pada saat aku melewati keping-keping kaca itu, pikiran yang lalai mengijinkan serpihannya menyobek mata kakiku dan mengucurlah tetesan darah bekuku.

“Aku ingin dicintai sepenuh hati,” jawabku dengan berlinang air mata.

Selalu terulang dan terulang lagi datangnya rasa seperti saat sedang terancam dan dipaksa melakukan sesuatu sedangkan kita tak mau. Ingin rasanya mengemas diri ini menjadi seorang putri yang cantik jelita, hingga semua orang memperlakukanku bagai gelas-gelas kaca. Selalu disayang dan diberi perhatian penuh serta dimanja. Dijaga luar dalam agar tak retak hatinya, dan agar selalu tampak indah luarnya.

“Kalau begitu mulailah dengan mencintai terlebih dulu,” jawab bayangan di cermin itu. Kemudian ia tersenyum dan melanjutkan,”Apabila karena perkataan atau perbuatan yang berasal dari dirimu menyebabkan gelas kaca terbang dan jatuh luluh lantah jadi berkeping-keping, maka tutuplah kupingmu agar tak pecah gendang telingamu, namun jangan kau tutup mata hatimu, karena dengan menutup mata hati sama saja dengan membunuh dirimu sendiri.”

“Aku juga ingin dinomersatukan,” timpalku dengan nada protes.

Sakit yang tertahan hanyalah sekelumit sakit biasa dibanding sikap acuh yang dipamerkan dan sikap menganggapku hanyalah sekedar bayangan yang melintasi hari-harinya.

Lalu bayangan itu kembali tersenyum dan berkata, “Jikalau saat ini kau sedang berada di bawah, maka bersabarlah. Karena roda dunia ini berputar dan tunggulah hingga saatnya tiba, kau berada di atas segala kepentingan yang saat ini sedang memaksamu untuk menunggu.”

Akupun semakin keras menangis, “Mengapa aku harus menunggu? Aku sudah lama menunggu!”

“Jikalau kau tidak menuruti perkataanku ini, maka lihatlah dirimu dua puluh tahun mendatang akan tetap berwajah kusut dan tak bahagia seperti diriku. Lihatlah dirimu sendiri di hadapanmu kali ini. Aku pun tak pernah dapat merasa bahagia jika dirimu tidak bahagia. Maka tolonglah aku, ubahlah dirimu agar menjadi bahagia, saat ini juga…”